Masyarakat dunia kemarin di hebohkan dengan kasus kudeta yang di lakukan oleh militer Turki. Tetapi kudeta tadi hanya berlangsung beberapa jam lantaran pemerintah bersama rakyat berhasil meminimalisir pergerakan para pemberontak militer tersebut.
Turunnya rakyat Turki ke jalan untuk menggagalkan kudeta militer merupakan seruan dari Perdana Mentri Turki, Recep Tayyip Erdogan. tetapi apakah seruan itu yang menginisiasi rakyat menolak kudeta militer yang terjadi? Menurut saya tidak.
Rakyat sebenarnya geram terhadap tangup kepemimpinan Erdogan. Mereka menganggap kebijakan Erdogan dalam menjalankan roda politik Turki terlalu Islamisentris kalo boleh di katakan.
Sebut saja kebijakan-kebijakan yang di tempuh oleh Turki untuk melarang kebiasaan yang mengakar menjadi budaya warga Turki dalam minum-minuman keras dan sekularisme yang hilang di Turki dengan kebijakan wajib menggunakan jilbab. Warga Turki sangat menentang kebijakan-kebijakan tersebut.
Riki, atau minuman keras khas Turki merupakan sebuah minuman yang sering di hidangkan di bar- bar Turki. Tradisi meminum raki tadi sudah aja sebelum Turki memploklamirkan diri sebagai republik sekuler di tahun 1923.
Mustafa Kemal Atatruk lah militer pertama yang membawa revolusi pertama di Turki dan merubah wajah Turki menjadi Republik Sekuler. Dirinya berhasil menggulingkan Kekaisaran Ottoman yang pada waktu itu berkuasa di Turki karena Ottoman menyerah terhadap sekutu.
Kebijakan larangan soal minuman beralkohol berbuntut panjang, karena pemerintahan Erdogan memberlalukan pajak yang tinggi untuk minuman tersebut. Larangan pendirian bar salam radius 100 meter dari sekolah dan masjid sangat membebani pemilik usaha bar.
Kewajiban menggunakan jilbab juga di berlakukan kepada para mahasiswi dan parleman Turki. Warga yang geram dengan kebijakan ini menuduh pemerintah memiliki motif agama dalam menjalankan roda politik. Tetapi pemerintah berdalih kebijakan-kebijakan ini murni untuk kesehatan dan kebaikan warganya.
Pendidikan juga menjadi fokus utama pemerintahan Erdogan. Lagi-lagi fokus yang di tingkatkan oleh pemerintahan adalah membangun sekolah berbasis Islam. Turki yang memang di ploklamirkan sebagai bangsa sekuler oleh Atatruk sudah berbeda arah menjadi negara Islam di bawah pemerintahan Erdogan.
Dengan arah politik yang bergeser dari fondasi awalnya, rakyat Turki turun ke jalan menjalankan gelombang protes. Naasnya demonstrasi damai tersebut di tanggapi dengan sikap keras dari pemerintahan Erdogan. Seperti foto kejadian wanita Turki yang menentang kebijakan memakai hijab yang di semprotkan gas air mata oleh kepolisian dan foto tersebut menjadi viral di media masa.
Perlu di ingat bahwa kudeta yang di dalangi oleh Militer telah terjadi sebanyak lima kali sampai saat ini. Kudeta militer pertama Turki terjadi pada tahun 1960.
Tepat tanggal 27 Mei 1960 militer akhirnya mengikuti keinginan masyarakat untuk menggulingkan kekuasaan Perdana Menteri Adnan Menderes. Pandangan sekuler yang saat itu sangat mengakar di kalangan masyarakat menolak Menderes untuk memberikan keleluasaan bagi Umat Islam dalam mengenakan jilbab dan memperdengarkan suara adzan dengan pengeras suara.
Tahun 1971 menjadi aksi kudeta militer jilid II. Kali ini masalah yang di hadapi oleh Turki lebih pelik yaitu kenaikan inflasi yang berujung pada lapangan pekerjaan yang semakin sulit. Perdana Menteri Suleyman Demirel dianggap tidak becus dalam mengatasi goncangan ekonomi pada saat itu.
Lanjut di tahun 1980 karena perpolitikan yang tak menentu di dalam negeri membuat sebelas kali pergantian PM antara tahun 1970-1980. Militer yang melihat kejadian ini mengambil sikap untuk mengkudeta PM Bulend Ulusu.
Kudeta militer jilid IV ketika PM Necmettin Erbakan di gulingkan dan akhirnya dia mundur tahun 1998. Erdogan pada waktu itu menjadi anggota partai islam sejahtera yang mengususng Erbakan. Lalu kemarin pada 16 Juli 2016 kudeta terakhir dilakukan militer Turki.
Lalu mengapa warga turun ke jalan padahal tak sepaham dengan kebijakan-kebijakan yang di buat oleh Erdogan? Masyarakat Turki tentusaja sudah paham betul dengan dampak dari kudeta militer.
Supremasi militer pasti akan terjadi kemudian, tidak bisa si sangkal lagi jika model otoriter akan kembali menghantui Turki seperti sebelum sebelumnya. Masyarakat Turki nyatanya telah lebih cerdas dalam menyikapi demokrasi yang mengkultuskan supremasi sipil sebagai pemegang kekuasaan.
Lantas apa pula hubungannya dengan Amerika? Ternyata jika di lihat dari kebijakan Erdogan yang terpilih pertama kali lewat pemilihan umum tahun 2002, wajah Turki dari pemaparan yang telah di uraikan sebelumnya dibawanya lebih Islami.
Amerika seperti yang kita tau bersama merupakan negara dengan tingkat islam phobia cukup tinggi. Phobia itu datang lantaran terjadinya teror di menara kembar, saat itu pesawat sipil di tabrakan oleh teroris yang membawa agama sebagai tamengnya.
Ditambah lagi dengan pemberitaan di media luar soal Islam dan teror, membuat masyarakat eropa khususnya Amerika sangat anti terhadap agama tersebut. Sehingga seperti di negara Timteng lainnya, Amerika berniat menghancurkan paham tersebut.
Kebijakan-kebijakan Erdogan membawa warna baru pula di sektor ekonomi bagi Turki. Turki dibawanya menjadi negara yang masuk keanggotaan G20, yaitu sebuah perkumpulan negara yang memiliki perekonomian terbaik di dunia.
Mungkin ini pula yang menjadi pengecualian warga Turki turut mengamini pemakzulan oleh militer terhadap PM Erdogan. Karena saat dirinya berkuasa, baru kali ini Turki mendapatkan kemajuan ekonomi bagaikan busur panah.
Ini adalah sebuah ancaman serius bagi Amerika yang merasa tersaingi, sama seperti hujatan-hujatan AS terhadap Bangsa Tiongkok yang menjadi raja baru di Asia.
Komunis adalah paham yang meniadakan kelas sosial di masyarakat. Paham ini berbeda dengan kebijakan Amerika yang cenderung kapitalis.
Sayang Negeri Paman Sam itu lupa untuk "Menguasai Jalanan" merujuk pada file CIE mengenai cara menggulingkan rezim (Soekarno) yang saya baca di catatan Julius Pour yang di bukukan berjudul Gerakan 30 September Pelaku, Pahlawan & Petualang.Menguasai jalanan maksudnya adalah aksi demonstran yang besar-besaran menentang sebuah rezim. Saat itu terjadi, barulah militer hadir untuk menggoyah parleman di suatu negara.
Jika merujuk pada pemikiran "Orang Kiri" Indonesia yaitu Tan Malaka, yang dia sebut dengan aksi masa. Aksi masa atau demonstrasi adalah sebuah cara yang tepat untuk menggulingkan sebuah rezim. Kekuatan rakyat amatlah besar dalam sebuah sistem politik, baik itu penganut sistem parlementer, demokrasi, liberal, atau Otoriter.
Demokrasi nyatanya merupakan sebuah virus yang sengaja di gembar gemborkan oleh negara pencetusnya yaitu Amerika. Karena, setiap negara seharusnya seperti yang selalu di dengungkan oleh Bapak Proklamator kita, Soekarno, haruslah menggali identitas bangsa sendiri melalui kebudayaannya serta kehidupan sosial masyarakatnya.
Pemerintah Turki sendiri menyudutkan tokoh besarnya bernama Fathullah Gulen sebagai otak dari kudeta militer ini. Tetapi perwakilan Gulen membantahnya.
Walaupun sejak lama pemerintahan Turki meminta Wosington untuk memulangkan Gulen yang sekarang bersembunyi di negaranya, nyatanya Amerika tidak menggubrisnya. Ada apa ini?
Kenapa Amerika yang berpaham demokrasi liberal mengingkari paham yang di kembangkannya sendiri untuk memberikan kebebasan negara lain menegakan demokrasi, dalam hal ini melakukan pemulangan paksa seorang buruan negara?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H