Mohon tunggu...
Diaz Ayu Rengganis
Diaz Ayu Rengganis Mohon Tunggu... Mahasiswa - yayazzzz

cita-cita menjadi author au

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengulik Potensi Budaya Asli Kabupaten Pacitan

22 Februari 2022   20:43 Diperbarui: 22 Februari 2022   21:29 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kabupaten Pacitan yang menempati daerah tingkat II di Provinsi Jawa Timur, mempunyai 12 kecamatan, 5 kelurahan, dan 166 desa. Di setiap wilayah di Kabupaten Pacitan memiliki beberapa objek wisata andalan yang menarik dan layak untuk dikunjungi. Seperti yang dikenal masyarakat luas, Pacitan terkenal dengan wisata pantainya yang eksotik. Namun tidak hanya memiliki objek wisata alam, Pacitan juga memiliki objek wisata seni berupa tarian daerah. Dari wilayah Tokawi, Nawangan, lahirlah sebuah tarian yang diberi nama kethek ogleng.

Kethek Ogleng adalah seni tari budaya asli dari Kabupaten Pacitan yang berasal dari Desa Tokawi di Kecamatan Nawangan. Seni tari kethek ogleng ini diciptakan oleh penduduk asli Desa Tokawi yakni Bapak Sukiman. Bapak Sukiman warga asli Tokawi kelahiran 04 Mei 1945 yang menciptakan tarian ini. Beliau menuturkan bahwa asal-usul kethek ogkeng ini dari alami. Yang dimaksud alami adalah langsung dari kera, sebelumnya beliau merasa senang melihat gerak langkah kera setiap saat. Setelah melalui perjalanan panjang, tarian yang diciptakan pada 01 Januari 1963 itu akhirnya mendapatkan pengukuhan hak cipta pada tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI. Sebelum itu tari kethek ogleng telah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda di Indonesia pada tanggal 08 Oktober 2019 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Nama tarian kethek ogleng berasal dari bahasa Jawa "kethek" yang artinya kera. Dan karena diiringi gamelan yang suaranya "ogleng-ogleng", maka tarian yang meniru tingkah laku kera ini dinamakan kethek ogleng. Bapak Sukiman mulai menggagas tari kethek ogleng ini saat beliau masih berusia 18 tahun. Awalnya beliau terkesan dengan perilaku binatang yang memiliki sifat seperti manusia. Kemudian beliau mengamati gerakan kera tersebut dan tercetuslah gerakan-gerakan tarian kethek ogleng yang penuh makna. Di antaranya ada gerakan glangsaran, yaitu gerakan koprol dan berguling seperti terlempar dari dunia lain. Gerakan ini mencerminkan kehidupan awal manusia memasuki dunia. Duduk termenung memutar pandangan dengan gelisah ini memberi gambaran rasa kecewa dan penyesalan. Sekaligus rasa takjub dan heran memandangai alam sekitar yang terasa asing dan penuh tantangan. Gerakan ini sebagai gambaran rasa ingin tahu terhadap sifat berbagai makhluk hidup dan benda mati di sekitarnya. Kemudian ada gerakan mengejek menjahili penonton. Gerakan ini menggambarkan hidup memasuki aqil baligh. Mulut dan kedua tangan membawa lari makanan hasil rampasan atau pemberian penonton. Ini menggambarkan sikap tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diperoleh saat itu. Gerakan ini menggambarkan semangat kerja keras untuk hidup yang layak. Bercanda, bermain, dan bercengkerama dengan penonton dimaknai jika makhluk hidup memiliki pikiran, nafsu, dan rasa sosial sebagai keseimbangan dan pertimbangan untuk menentukan langkah yang akan dipilih.

Gerakan blendrong disimbolkan sebagai simbol kedewasaan. Gerakan ini dilakukan secara bersamaan dengan penari kethek ogleng lainnya. Gerakan kudangan, gerakan ini dilakukan bersama dengan penari perempuan. Penari perempuan ini kerap dijuluki Roro Tompe. Filosofi gerakan ini merupakan tingkatan manusia di mana tahapan manusia mulai memasuki fase pendewasaan dan mulai tertarik dengan lawan jenis. Untuk terus melestarikan tarian kethek ogleng ini, Pemerintah Kabupaten Pacitan seringkali menampilkan tarian ini sebagai penyambutan tamu dalam acara perayaan hari besar di Kabupaten Pacitan.

Selain seni tari kethek ogleng, di Kabupaten Pacitan juga memiliki upacara adat. Upacara adat ini dinamakan upacara adat Ceprotan. Upacara adat Ceprotan sudah menjadi tradisi Kabupaten Pacitan khususnya untuk masyarakat Desa Sekar, Kecamatan Donorojo. Desa Sekar adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Doorojo. Jarak tempuh menuju desa ini sekitar 40 km dari pusat kota dan bisa memakan waktu kurang lebih satu jam.

Ceprotan merupakan tradisi bersih desa yang diiringi upacara adat. Ceprotan dilaksanakan setiap tahun pada bulan Dzulqaidah (longkang) pada hari Senin Kliwon. Upacara adat ini dilakukan oleh sesepuh Desa Sekar dan masyarakat sekitar. Pelaksanaan Ceprotan ini dimaksudkan untuk mengenang pendiri Desa Sekar yakni Dewi Sekartaji dan Panji Asmorobangun dengan kegiatan bersih desa. Tradisi ini dilakukan juga sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur atau nenek moyang Desa sejar yang hingga saat ini diyakini sebagai danyang yang dianggap berpengaruh terhadap kehidupan warga Desa Sekar. Upacara ini diyakini dapat menjauhkan desa tersebut dari bala dan memperlancar kegiatan bertani sebagai mata pencaharian utama bagi warganya. Upacara adat ceprotan juga menjadi sarana komunikasi kepada para leluhur yang sarat akan makna. Banyak simbol-simbol yang menggambarkan makna kuat dalam setiap prosesinya. Ceprotan mengandung rangkaian-rangkaian peristiwa yang khas dan memiliki makna berarti. Hal ini membedakan dengan tradisi-tradisi lain di Pacitan dengan melibatkan tindakan-tindakan komunikasi yang dilakukan oleh partisipan upacara dalam konteks suasana sakral.

Yang menjadi patokan masyarakat kapan upacara ini pertama kali dilaksanakan adalah saat pecahnya Kerajaan Brawijaya. Karena tidak adanya narasumber pasti untuk menceritakan awal dilaksanakannya upacara ini, maka pecahnya brawijaya dijadikan sebagai patokan. Tujuan utama dari pelaksanaan tradisi ini adalah untuk menjaga keselamatan desa. Adanya tradisi tidak hanya untuk mengenang leluhur desa dan memohon keselamatam, namun juga untuk pendidikan budaya kepada generasi muda tentang asal-usul Desa Sekar.

Berdasarkan mitos yang ada di Desa Sekar, khususnya Dusun Krajan, upacara adat ceprotan ini bermula ketika Ki Godek berniat untuk membuka hutan belantara di desa tersebut yang akan ia gunakan sebagai tempat tinggal dan lahan pertanian. Dengan segala kekuatan, keberanian, dan ketabahan yang dimilikinya, Ki Godek mulai membuka hutan belantara tersebut. Ketika Ki Godek hampir selesai membuka hutan, datanglah sepasang saudara perempuan yang menghampiri Ki Godek. Akhirnya Ki Godek memutuskan untuk beristirahat sebentar sembari berbincang dengan kedua wanita itu. Ternyata dua wanitia tersebut adalah titisan dewi yaitu Dewi Sekartaji dan Dewi Sukonandi. Mereka berdua berasal dari Kediri. Keduanya tengah melewati satu perjalanan yang sangat jauh. Karena merasa cukup lelah, Dewi Sekartaji beristirahat di hutan yang dibuka oleh Ki Godek, sedangkan kakaknya, Dewi Sukonandi tetap melanjutkan perjalanan. Dewi Sekartaji merasa haus, ia meminta bantuan Ki Godek untuk mencarikan air kelapa untuk ia minum. Karena merasa iba terhadap Sekartaji, Ki Godek membantunya untuk mencarikannya air kelapa. Ki Godek mencari air kelapa di tempat yang jauh dari hutan. Ia mencarinya di tepi pantai selatan yang kini bernama Desa Kalang. Sebelum pergi, Ki Godek berpesan kepada Sekartaji untuk menunggunya di hutan itu. Ki Godek yang sakti pergi dengan masuk ke dalam tanah agar perjalanannya lebih cepat menuju tepi pantai. Tanah yang dimasuki Ki Godek kemudian berubah menjadi sumber air. Ujung dari perjalanan bawah tanah Ki Godek adalah di Desa Wiratikalak. Ujung perjalanan Ki Godek ini juga berubah menjadi kedung air yang dinamakan Kedung Timo. Ki Godek berhasil mengambil buah kelapa untuk Sekartaji, kemudian ia kembali ke tempat istirahatnya tadi dan menyuruh Sekartaji untuk segera meminum air kelapanya. Sekartaji sedikit menumpahkan air kelapanya di tempatnya istirahat. Ia juga berpesan kepada Ki Godek untuk menamai tempat itu dengan nama Desa Sekar.

Terjadinya peristiwa ini pada hari Senin Kliwon pada bulan dzulqaidah (longkang). Maka dari itu seiring perkembangan zaman, penduduk asli Desa Sekar masih melaksanakan upacara adat ceprotan setiap tahunnya. Situasi di Desa Sekar setiap tahun dalam pelaksanaan upacara adat ini sangat sakral. Setiap partisipan masyarakat sangat khidmat dalam menjalankan setiap prosesinya. Upacara adat ceprotan biasa dilaksanakan di lapangan Desa Sekar. Tata cara pelaksanaannya adalah dengan mengarak kelapa muda yang digunakan sebagai alat "ceprotan" menuju lokasi dilaksanakannya upacara. Prosesi akhir dalam upacara ini adalah proses saling melempar kelapa dan ditutup dengan pembacaan doa oleh sesepuh desa dan mengarak pemuda-pemuda pembawa kelapa dengan tari-tarian. Dalam upacara ceprotan banyak aturan-aturan yang tertata rapi dan wajib untuk dipatuhi.

Banyak pesan moral yang dapat diambil dari tradisi upacara adat ceprotan ini, di antaranya mengandung pesan bagi para pemuda dalam mencari sandang pangan untuk menggunakan akal dan daya pikirnya. Upacara adat ceprotan juga mengajarkan makna saling membantu dalam mencari rezeki. Tidak lupa juga pengajaran tentang sifat gigih, berani, dan pantang menyerah dalam mengahadapi berbagai tantangan hidup. Selain yang sudah disebutkan di atas, masih banyak nilai moral yang terkandung dalam upacara adat ceprotan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun