OLEH: DIAZ HENDROPRIYONO
Pada sekitar bulan November 2011, Presiden Amerika Serikat mengumumkan rencananya untuk membangun pangkalan militer AS di luar kota Darwin, Australia. Penempatan pasukan akan dilakukan secara bertahap dan dengan rotasi per enam bulan. Pada tahun 2016, di targetkan akan ada sekitar 2,500 marinir AS (Marine Air-Ground Task Force) yang di tempatkan di wilayah utara Australia dengan rotasi per enam bulan, yang mana kontingen pertama dengan jumlah 200 personel telah mendarat pada April 2012. Penempatan pasukan AS di Darwin, sepertinya dapat dipahami, mengingat perkembangan China di daerah kawasan dapat diterjemahkan sebagai sebuah ancaman untuk kepentingan AS, dan juga beberapa negara sekitar.
Sebagai contoh, beberapa saat lalu China membeli kapal induk multi fungsi (multi-role aircraft carrier) Varyag bekas Uni Soviet seharga $20 juta, yang dibeli oleh satu pihak yang mengaku sebagai “travel agent” untuk dijadikan sebagai casino di perairan Macau. Namun diketahui bahwa pada akhirnya carrier tersebut digunakan oleh the People’s Liberation Army untuk pelatihan dan untuk dijadikan model pengembangan kapal-kapal masa depan China.
Tentu saja, maneuver tersebut menimbulkan kekhawatiran regional. Jepang, yang mempunyai konflik teritorial dengan China di pulau Senkaku/Diaoyu yang berada di barat Okinawa, mengungkapkan kekhawatirannya. Apa lagi setelah adanya insiden kapal penjaga pantai Jepang yang mengalami insiden dengan kapal penangkap ikan China, yang berujung pada penangkapan kapten Kapal China.
Paling tidak sudah dua kali dalam 2 tahun terakhir dimana kapal survey geologi Petro-Vietnam, Binh Minh 2, dari perusahaan energy yang dikelola pemerintah Vietnam, di dekati oleh kapal China dan memotong kabel seismic kapal tersebut di perairan Vietnam.
Untuk melawan China, Taiwan menunjukkan Hsiungfeng 3 kepada publik, atau sebuah misil “anti-China”yang dapat digunakan untuk menghancurkan Varyag. Bahkan pada misil tersebut terdapat gambar Varyag yang tengah diserang oleh Hsiungfeng 3. Seperti Negara-negara tersebut, AS juga telah merespon berkembangnya kekuatan China di Asia Tenggara dengan berbagai cara, termasuk membantu pembangunan seaports di Birma, Srilanka, dan Pakistan dan juga menempatkan pasukan AS di Darwin tahun lalu.
Beberapa pihak di Indonesia sempat khawatir akan penempatan pasukan AS di Darwin, karena berjarak hanya 280 km dari Indonesia dan dinilai mengancam kedaulatan Indonesia, apalagi dengan dikaitkannya hal tersebut dengan issue berpisahnya Papua yang diduga di dukung oleh AS karena ada kepentingannya di Freeport. Namun penempatan pasukan AS di Darwin itu sendiri sebenarnya bukan merupakan ancaman jika dilihat dalam konteks terpisah. Yang membuat kekhawatiran adalah penempatan pasukan AS di Darwin yang disertakan dengan ancaman penempatan pasukan AS di daerah sekitarnya, termasuk di Kepulauan Cocos. Dengan pandangan holistik seperti ini, baru kita bisa melihat ancaman untuk Indonesia yang sebenarnya.
Kepulauan Cocos/Keeling, sebuah teritori Australia sejak 1955, terletak sekitar 1200 km barat daya dari Jakarta. Dari total populasi sebanyak 800 orang, dimana 80% pemeluk Islam Sunni, 500 diantaranya keturunan Jawa. Beberapa saat lalu ada pembicaraan antara pihak AS dan Australia untuk membangun military base AS dan menempatkan drones AS (termasuk high-altitude Global Hawk Unarmed Aerial Vehicles, atau saat ini yang termasuk pesawat surveillance tercanggih) di kepulauan tersebut, yang mana drones tersebut dapat digunakan untuk melakukan spy flights ke kepulauan Spratly, sebuah wilayah sengketa yang di klaim oleh China, Malaysia, Brunei, Taiwan, dan Filipina. Pembangunan pangkalan militer AS ini, yang akan memakan biaya $75 juta, sudah mendapatkan lampu hijau dari pemerintah koalisi dan oposisi Australia, walaupun belum ada timetablenya.
Pada sisi barat kepulauan Cocos terletak kepulauan yang bernama Diego Garcia, sebuah teritori Inggris yang disewakan ke AS sebagai pangkalan militer rahasia AS sejak puluhan tahun lalu, dimana pembangunannya cukup kontroversial karena melibatkan pengusiran penduduk lokal, orang chago atau iloi, dan memindahkannya dengan paksa ke Mauritius dan Seychelles pada akhir tahun 1960an.
Saat ini AS telah menempatkan sekitar 1700 personel militer, ratusan kontraktor sipil, dan membangun hangar yang dapat memuat enam buah pesawat pengebom B2. Dari Diego Garcia—dimana terletak penjara rahasia CIA yang digunakan untuk menginterogasi teroris 9/11—AS dapat akses yang mudah untuk ke Afrika Timur, India, Australia, dan Indonesia. Pada sisi timur laut Darwin terletak Guam, teritori AS dengan pangkalan udaranya (Andersen AFB). dua pangkalan laut, dan 10,000 personel AS, dengan penambahan 5000 personel dalam waktu dekat. Karena adanya ancaman dari Korea Utara baru-baru ini, Guam menerima THAAD (Terminal High Altitude Area Defense System), sebuah system anti-missile yang dapat men-track missile dan menembaknya sebelum missile mencapai sasaran.
Penempatan pasukan AS tersebut akan menimbulkan kekhawatiran untuk kepentingan Indonesia. Jika basis militer AS di plot dalam sebuah peta, dan ditarik garis lurus dari Dari Diego Garcia, Kepulauan Cocos, Darwin, dan Guam, maka akan terbentuk sebuah “mangkuk” yang akan mewadahi seluruh kepulauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Hal ini tentunya merupakan ancaman tersendiri karena seluruh pergerakan Indonesia akan selalu termonitor oleh militer AS. Hal tersebut juga akan menimbulkan konflik baru, khususnya karena adanya drones yang terbang di atas dirgantara Indonesia. Perlu diketahui bahwa AS belum meratifikasi UNCLOS 1982, karena memandang bahwa UNCLOS akan menghambat efektifitas dan pergerakan militer AS dalam menjalankan tugasnya. Hal ini tentunya akan berpotensi mengakibatkan konflik kedaulatan di perairan Indonesia.
Darwin adalah lokasi yang strategis untuk AS. Darwin mempunyai akses ke Samudra Pasifik, Samudra India, dan laut Timor Timur. Penempatan pasukan AS bukan hanya untuk mempererat hubungan AS-Australia yang sudah terjalin baik sejak 60an tahun yang lalu, tapi juga untuk memastikan bahwa jalur dagang di Asia tetap stabil dan terbuka, khususnya pada saat bencana alam dan masalah politik atau ekonomi lainnya. Namun, walau ditentang oleh sebagian orang di Australia, seperti Senator Scott Ludlam yang khawatir akan adanya kasus-kasus pemerkosaan yg dilakukan tentara AS seperti yang terjadi di Okinawa, akibat adanya penempatan pasukan AS di Jepang, AS telah memulai penempatan pasukannya. Jumlah militer AS akan bertambah menjadi 1100 pada April 2014 sebelum mencapai full-strength pada dua tahun berikutnya.
Penempatan pasukan AS di Darwin sebenarnya tidak terlalu mengkhawatirkan jika dilihat seraca terisolasi. Alasannya yaitu pertama, tidak ada military base AS di Darwin, yang ada hanya penempatan pasukan yang diberikan akses untuk menggunakan fasilitas tentara Australia untuk kepentingan pelatihan dalam hal ground combat, logistik, dan penerbangan. Pasukan AS di Robertson Barrack, Darwin, juga tidak diikuti dengan pengiriman alat-alat berat AS seperti vehicles atau aircraft karena sensitifnya kondisi politik saat ini. Jikapun di ikutsertakan, penggunaannya akan sangat minimal. Namun demikian, yang menjadi kekhawatiran bukanlah penempatan pasukan AS di Darwin. Tetapi bahwasanya penempatan pasukan tersebut akan diikuti dengan penempatan pasukan AS di daerah sekitar, dalam hal ini Kepulauan Cocos. Apalagi jika dilihat secara keseluruhan dengan Diego Garcia, Guam, dan Darwin, yang mana kepentingan Indonesia akan terancam.
Berdasarkan pemikiran di atas, disarankan bahwa penempatan pasukan AS di Darwin tidak perlu di ributkan, selain memang karena memang sudah terlanjur. Tetapi rencana penempatan pasukan AS di Cocos Islands, beserta drones nya harus di intervensi. Australia sebagai pemilik Kepulauan Cocos harus di ajak bicara oleh Kemenlu RI agar tidak menyewakan pulau tersebut kepada AS. Dalam hal Diego Garcia, Indonesia harus juga meng-approach Inggris agar sewa kepulauan tersebut kepada AS yang habis pada 2016 tidak di perpanjang. Dengan demikian, secara geografis pesawat-pesawat pengebom B2 (yang berada di Diego Garcia) dan drones (yang akan berada di Kepulauan Cocos) milik AS tidak akan berada di sekitar kepulauan NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H