Buat apa susah susah bikin skripsi sendiri
Sebab ijazah bagai lampu kristal yang mewah
Ada di ruang tamu hiasan lambang gengsi
Tinggal membeli tenang sajalah.... (Teman Kawanku Punya Teman/Iwan Fals)
Skripsi/Tugas Akhir (TA) mungkin atau pasti menjadi momok di sebagian besar mahasiswa di perguruan tinggi. Betapa tidak, semua kemampuan dikerahkan. Mulai kemampuan finansial, pemikiran, networking, dan ketekunan difokuskan untuk menghasilkan karya ilmiah yang tentunya menjadi syarat kelulusan untuk mendapatkan gelar sarjana. Tak jarang kondisi ini membuat beberapa pihak harus mengalami pra syndrom skripsi. Dalam kondisi itu, biasanya banyak mahasiswa yang galau, uring-uringan dan terkadang rela memutuskan silaturahmi dengan orang-orang terdekat.
Kondisi yang saya sebut di atas, seringkali ketika mahasiswa berpatokan pada keberhasilan teman-temannya menyelesaikan skripsi. Emosian mungkin karena temannya sudah bisa duluan wisuda. Memang kondisi ini tidak terjadi pada semua mahasiswa. Ada juga mahasiswa yang serius tapi santai. Tak terburu-buru sembari meniatkan kualitas skripisi yang mumpuni. Ada juga mahasiswa yang menganggap skripsi hanyalah simbol kelulusan. Tak ada yang menyalahkan pandangan seperti itu. Toh kita sendiri yang merasakan apakah ilmu dalam jenjang S1 bisa kita kuasai dan dipraktikkan demi kebaikan hidup pribadi dan sesama.
Seperti yang diungkapkan Iwan Fals, jikalau ijazah hanyalah lambang gengsi di ruang tamu buat apa kita harus heboh sembari merugikan diri sendiri dan orang lain untuk memikirkan skripsi? Sekali lagi buat apa? Lebih baik datang pada Joki Skripsi yang siap membantu. Seperti ditayangkan acara Mata Najwa di Metro TV, Rabu,7 Maret 2012. Harga untuk sebuah skripsi tak terlalu mahal, berkisan 1,5 - 3 juta rupiah. Memang harga itu terlalu mahal untuk pajangan di ruang tamu, tapi tak apalah demi sebuah gengsi. Dalam rentang waktu tiga bulan, sahabat-sahabat di dunia perjokian akan setia membantu untuk merumuskan masalah, mencari data, mengolah data hingga menarik kesimpulan. Harga 3 juta itu mungkin tak sebanding dengan tetes peluh keringat dan perasan otak ketika kita melakukan pembuatan skripsi sendiri sembari dibantu dosen pembimbing.
Namun, bagi siapa pun yang tidak berfikir hingga ruang tamu saja, bersiaplah untuk berkeringat, berjuang dan meraih kepuasaan penuh ketika mengenakkan toga di saat wisuda. Mungkin dari beberapa alumni dan senior kita bisa berbagi cerita betapa sulitnya membuat skripsi. Untuk mencari topik terkadang bisa berbulan-bulan. Ada yang ditolak beberapa kali ide pemikirannya. Ada yang harus berdebat dengan pemikiran dosen. Terlebih ketika mencari literatur, informan atau responden. Memang sulit terlebih dengan kondisi pendidikan di negeri ini yang minim dorongan untuk menulis. Jangankan menulis, tradisi membaca bangsa Indonesia sangatlah rendah.
Memang skripsi bukan lampu kristal mewah yang hanya mampu menerangi ruang tamu. Skripsi bisa jadi bagaikan sinar matahari yang mampu menerangi jagat raya. Berbagai macam penelitian di perguruan tinggi yang bermanfaat untuk kehidupan masyarakat. Begitu banyak pula skripsi yang mampu menjadi dasar penelitian selanjutnya. Oleh karenanya, membuat skripsi bukanlah ajang balapan untuk saling mendahului, tapi merupakan ajang untuk membuktikan diri bahwa kita adalah mahasiswa. Bagian civitas akademika yang mampu berbakti pada bangsa melalui ilmu yang ia peroleh dan penelitian yang dihasilkan.
Jurnal Ilmiah: Solusi untuk siapa?
Baru-baru ini pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengularkan surat edaran mengenai kewajiban untuk menulis dan mempulikasikan jurnal ilmiah bagi mahasiswa S1, S2 dan S3. Kebijakan ini menurut Menteri Nuh berguna meningkatkan perkembangan publikasi ilmiah di Indonesia. Memang jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Cina dan India, Indonesia jelas jauh tertinggal.