Mohon tunggu...
Diasmanto
Diasmanto Mohon Tunggu... profesional -

i'm journalist

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Waria dan Pernikahan

15 Juli 2014   01:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:19 2518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu peristiwa unik soal waria dan pernikahan. Masih ingat atau pernahkah Anda tahu heboh pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang yang sebelumnya dikira perempuan, yang baru disadari pihak laki-laki bahwa “istrinya” adalah waria di Bekasi Jawa Barat setelah pernikahan itu berjalan enam bulan pada April 2011 lalu?

Lucu? Konyol? Ataukah tragis?

Ya, terlepas dari semua penilaian itu, saya ingin menyampaikan bahwa waria juga manusia. Penegasan yang wajar soal pernikahan. Setiap laki-laki, setiap perempuan, memiliki hasrat dan fitrahnya untuk menikah.

Tujuannya, secara ideal pernikahan itu merupakan sebuah tuntunan agama. Agama apapun. Khususnya Islam. Selain itu, pernikahan diharapkan akan menghasilkan keturunan. Pernikahan bukan semata pelegalan status dan pelegalan penyaluran hasrat seksual antara dua orang.

Yang menjadikan peristiwa itu unik, yaitu bahwa salah satu yang menikah saat itu adalah waria. Tidak hanya itu, status kewariaan sang “istri” yang baru terbuka setelah enam bulan pernikahan, juga merupakan hal unik.

Inilah fitrah manusia. Hal itu berlaku pula pada seorang waria. Pernikahan, yang didasari rasa cinta antara dua orang, menjadi harapan agar bisa terwujud dalam kehidupan seorang waria.

Persoalannya, lingkungan sosial, masyarakat, agama, budaya, dan kebijakan negara, menentang hal itu; pernikahan waria.

Tentu saja, pemahaman mayarakat adalah bahwa waria itu laki-laki. Masa laki-laki menikahi laki-laki, sekalipun salah satu pasangan laki-laki itu mengubah penampilannya sebagai perempuan?

Ada fakta tentang betapa rumitnya proses dari laki-laki waria menjadi perempuan. Karena, ini soal status yang menyangkut kejelasan dan perlakuan hukum. Mau diikutkan hukum jenis mana seorang waria? Laki-laki atau perempuan?

Ke toilet, misalnya, mau masuk ke laki-laki (karena kelaminnya) atau perempuan (karena penampilannya)? Warisan, misalnya, mau dihitung perolehan pembagian waris sebagai laki-laki atau perempuan? Publik akan dibingungkan dengan persoalan ini. Dan lain sebagainya.

Vivian Rubiyanti, pernah mengalami rumitnya mengurus proses ganti kelamin dan status. Vivian, nama aslinya Iwan Rubiyanto Iskandar, melakukan operasi kelamin pada 1973.

Selain melibatkan dokter dari berbagai disiplin ilmu (bedah, patologi, kebidanan dan penyakit kandungan, kelamin, dan kejiwaan), ganti kelamin juga melibatkan pejabat; dinas sosial, catatan sipil, maupun pengacara.

Henriette Soekotjo. Nama aslinya Hendrikus Soekotjo. Waria asal Surabaya ini melakukan operasi kelamin pada tahun 1978 di RS Darmo Surabaya. Operasi ganti kelamin yang sama sekali membuat dirinya semakin perempuan (karena punya vagina). Sekalipun tetap tidak bisa hamil dan melahirkan.

Sebelumnya, ada Hajjah Siti yang lebih dulu melakukan operasi kelamin pada 1973. Sayangnya, tidak dijelaskan di mana operasi ganti kelamin dan penetapan hukum perubahan kelamin itu dilakukan (seperti ditulis Kemala Atmojo dalam Kami Bukan Lelaki, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta: 1987).

Perubahan status itu tidak lagi menjadikan seorang laki-laki berstatus waria, melainkan perempuan. Ya, untuk soal ini sudah jelas statusnya. Tidak lagi membingungkan masyarakat. Tidak ada lagi anggapan melakukan hubungan seksual sejenis karena si waria sudah berganti kelamin menjadi perempuan.

Persoalannya, tidak semua waria memiliki niat dan tekad seperti Vivian, Henriette, Hajjah Siti, atau Dorce untuk mengganti kelamin mereka. Kebanyakan waria itu malah acuh dengan statusnya.

Boleh dibilang, acuh itu seakan mereka memaksa masyarakat untuk mau memahami dan menerima kewariaan mereka.

Gawatnya lagi, waria-waria itu melacurkan diri. Seandainya mereka memahami, seperti Vivian, Henriette, Hajjah Siti, dan Dorce, setelah berganti kelamin apakah ada masyarakat yang protes?

Boleh dibilang tidak ada, sekalipun beberapa kelompok masyarakat menilai hal itu tidak sejalan dengan ajaran agama. Tapi pergantian kelamin itu memang menunjukkan nilai lebih seorang yang sebelumnya berstatus waria.

Bahwa waria itu adalah status yang tidak jelas. Mereka adalah laki-laki yang merasa dan ingin tampil diakui sebagai perempuan.

Jenis kelamin hanya ada dua; laki-laki dan perempuan. Kalau ada laki-laki yang merasa dirinya perempuan, maka wajib dia menjadikan dirinya perempuan (ganti kelamin) atau tetap menjadi laki-laki (tanpa berpakaian dan berperilaku seperti perempuan).

Apabila seorang laki-laki, ingin dirinya diakui dan diterima hadir di masyarakat sebagai perempuan, dan menjalin hubungan bahkan menikah atau dinikahi laki-laki, maka hal itu dihukumi sebagai homoseks, yaitu hubungan kelamin sejenis.

Kiranya, inilah alasan penolakan masyarakat, seperti contoh peristiwa yang terjadi di Garut awal tahun 2013 lalu.

Jadi, tidak bisa masyarakat mencegah seorang waria menikah. Karena itu fitrah manusia. Akan tetapi, si waria harus siap melepaskan statusnya sebagai laki-laki dan menjadi perempuan. Dengan demikian pernikahannya tidak dihukumi sebagai pernikahan sejenis atau homoseksual.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun