Sedetik ...,
Ketika kedua belah mata Rinitie hendak berpamitan kepada dia.
Lelaki tambun yang terus mendesah lirih itu mengeluarkan suara.
"Namaku cinta, ketika kita bersama. Berbagi rasa untuk selamanya
Namaku cinta, ketika kita bersama. Berbagi rasa untuk selamanya
Hingga tiba saatnya, aku pun melihat. Cintaku yang hianat, cintaku berhianat
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Aku tenggelam dalam lautan luka dalam
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Aku tanpamu butiran debu
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Aku tanpamu butiran debu
Menepi, menepilah… menjauh semua yang terjadi antara kita...."
Rinitie masih tercenung meski perlahan lirih suara lelaki itu menghilang. Sesaat tersadar, refleks, ia menyentuh bibir beku dihadapannya. Mengorek, memaksanya untuk mengulang kembali apa yang didengarnya barusan.
Keinginan Rinitie terkabulkan.
“Pembohong! Penghasut! Jangan sekali-kali kau susupkan kata-kata itu pada telinga kita! Seberat apapun derita yang kita pikul, kita tidak akan melumpuh! Kita tidak akan tenggelam dalam lautan tangis! Tak akan kubiarkan diri kita tersesat dalam kubangan arah yang membuta! Kita kuat! Kuat... KUUAAAATTT ….”