Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menanti Jakarta Tanpa Ahok, Menanti Masyarakat Sipil yang Lebih Kuat dan Berkarakter

3 Juli 2016   09:27 Diperbarui: 3 Juli 2016   21:47 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Ketika Ali Sadikin ditunjuk menjadi Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Soekarno dan kemudian banyak keberhasilan yang dilakukan dalam  meningkatkan kualitas kota, banyak pendapat apresiatif yang muncul atas kerja keras yang dilakukan. Ali Sadikin memiliki semua hal yang dibutuhkan untuk memimpin Jakarta : visioner, tegas, berpengalaman, berani, berbelarasa serta memiliki empati.  Ketika Ali Sadikin tidak lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta, rasanya waktu berjalan menjadi lebih lambat. Lebih membosankan. Lalu kemudian ‘muncul’ Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Mengemuka dengan sedikit pas karena berada atau bersama dengan Joko Widodo yang di depan sebagai Gubernur untuk kemudian terpilih menjadi Presiden RI. Ahok kemudian menghentak Jakarta ketika menjabat Gubernur dengan bersikap visioner, tegas, berani, berbelarasa serta berempati seperti yang dilakukan oleh Gubernur Ali Sadikin. Jakarta seperti terbangun lagi dari diam yang membosankan dengan tema lama yang selalu berulang : macet, banjir, korupsi, pejabat kota yang kurang melayani, pelanggaran tata-kota, sungai-sungai yang kotor, taman yang dibongkar-pasang dan sederet  hal lainnya yang tidak menumbuhkan imajinasi tentang kota yang ramah dan aksesibel.

Tanah Abang Yang Melegenda

Ada seorang Profesor yang memberikan gambaran tentang penyelesaian masalah adalah seperti makan sepiring  bubur ayam yang masih panas. Bahwa setelah bubur terhidang, maka harus dimakan dari bagian yang paling pinggir terlebih dahulu, dari bagian yang paling tidak panas. Setelah bagian pinggir dapat dimakan dan tidak membuat mulut kapanasan, baru kemudian ‘berjalan’ ke bagian yang lebih tengah dan seterusnya sampai semua bubur dapat dimakan. Sampai semua masalah dapat diselesaikan dengan gejolak yang minimal, tetapi memberikan manfaat yang optimal bagi kebaikan bersama. Tentu itu hanya sebuah persepsi pribadi.  Dalam situasi-kondisi tertentu yang relevan mungkin pola penyelesaian masalah yang ‘ditawarkan’ menjadi cukup rasional.

Seperti dikabarkan, Wakil Gubernur (pada waktu itu) Ahok hanya ditemani seorang ajudan berjalan kaki menuju Pasar Tanah Abang yang pada waktu itu kondisinya sedang gawat dan mencekam. Ketika pihak-pihak yang mengais manfaat di pusat grosir tersebesar di Asia Tenggara itu menolak untuk dilakukan perbaikan tatakelola pasar agar menjadi lebih baik. Konon resikonya tidak main-main. Sedikit saja dilakukan kesalahan dalam mengelola situasi, maka keselamatan Gubernur Ahok langsung terancam. Syukur bahwa peristiwa buruk tersebut tidak pernah  terjadi. Pihak-pihak yang sudah malang-melintang di Tanah Abang dapat diajak berkomunikasi sehingga perbaikan pasar dapat dilakukan. Salah satunya adalah pengaturan sirkulasi kendaraan dan angkutan umum sehingga lebih lancar dan tidak semrawut.

Pendekatan yang dikemukakan seorang Profesor di atas menjadi tidak relevan bila diterapkan oleh pejabat Gubernur di Jakarta. Rasanya model pendekatan tersebut dipakai oleh beberapa gubernur yang menjabat setelah Ali Sadikin dan sebelum Jokowi-Ahok. Sehingga kemudian timbul kesan Kota Metropolitan seperti ‘tertidur’. Rasanya pola itu hanya cukup sesuai dipakai pada institusi yang sudah mapan, banyak memiliki prosedur-tatalaksana-baku serta tidak berada dalam situasi yang ‘gawat’ untuk harus segera  menjadi lebih baik dan berada di bawah pandangan jutaan pasang mata yang membelalak-melotot-mengawasi mencari-cari kekurangan dan kesalahan serta tidak sabar untuk menunggu kotanya ditata-diperbaiki-ditingkatkan. Jutaan pasang mata yang ingin semua menjadi lebih baik dan beres dalam waktu singkat seperti menyeduh mie-instan, sebuah budaya baru yang terus berkembang di tengah masyarakat.

Menjabat atau menjadi Gubernur di Jakata dibutuhkan seorang petarung hebat. Dibutuhkan seorang memiliki daya-tempur dan daya-tahan menghadapi tekanan. Seorang yang memiliki determinasi. Seorang yang berani langsung meloncat-terjun-tanpa-bimbang-ragu ke tengah persoalan. Sekedar menyebut tiga nama : Ali Sadikin, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama adalah pribadi penyelesai persoalan. Yang secara personal memiliki visi cemerlang. Memiliki ketegasan, keberanian dan determinasi ‘tempur’.

Berbelarasa serta berempati adalah hal lain yang dimilki ke-tiga pribadi hebat itu. Ali Sadikin tidak ragu dan takut membela para guru yang diancam orang-tua dan atau murid hanya karena zona-nyaman mereka terganggu. Seperti yang diketahui bersama, Ali Sadikin bahkan berkata berdiri di belakang para guru dalam menjalankan tugas mulia. Lengkap dengan senjata bila dibutuhkan. Dengan itu semua, kenakalan remaja di Jakarta yang pada waktu itu sudah sampai tahap mengkhawatirkan dan orang-tua yang ‘lebay’ dalam mendidik anaknya dalam waktu tidak lama menurun drastis. Sangat miris karena beberapa kasus terakhir dimana guru dilaporkan ke pihak berwajib oleh orang-tua siswa dan atau siswa seperti harus bertarung sendirian. Kepala Daerah  mestinya langsung hadir seperti dicontoh-teladankan oleh Ali Sadikin. Lengkap dengan otoritas mulia yang diemban oleh pejabat publik.

Keputusan dan keberanian Ahok untuk memberangkatkan para marbot masjid pergi berhaji seperti menyentak kesadaran bersama. Bila secara umum kesadaran beragama masih pada taraf ritual dan pemakaian atribut keagamaan, Ahok bergerak cepat dan mengharukan dengan keputusannya itu. Belarasa dan empati yang menyentak kesadaran, ditengah kebiasaan ‘yang hanya’ berdiskusi dan berdebat soal agama. Sungguh.

Joko Widodo yang banyak digambarkan sebagai pribadi yang cenderung lembut dan banyak unggah-ungguh, mantap berdiri di atas kapal perang KRI Imam Bonjol di laut Kepulauan Natuna untuk menegaskan kedaulatan negara. Hal yang sudah sangat lama tidak dilakukan oleh Presiden RI. Hal yang tidak saja mengagetkan, tetapi pada saat yang sama mengharu-biru dan membangkitkan patriotisme berbangsa. Sama menyentuh-harukannya dengan kehadiran beliau di banyak kesempatan dengan membawa buku tulis dan sepeda untuk anak-anak bangsa yang harus dicintai bersama. Sama menyentuh-harukannya dengan kesederhanaan beliau yang dengan rela-hati dan ugahari antri berbuka puasa bersama anak-anak yatim.

Penanda Kota

Sebuah kota tidak dapat melapaskan dirinya dari penanda-kota atau landmark. Penanda atau identitas kota dapat berupa monumen dan atau saujana yang terawat baik. Sungai-sungai di negara-negara di  benua Eropa sangat terkenal terawat, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Sungai sebagai bagian dari saujana yang terawat tidak saja menyejuk-senangkan mata yang memandang, tetapi juga menjadi pengkomunikasi yang efektif akan kualitas etis masyarakatnya. Jakarta dibawah Gubernur Ahok bergerak cepat membenahi taman dan sungai. Sekarang sungai-sungai-sungai di Jakarta sudah menjadi jauh lebih baik. Taman-taman sudah jauh lebih baik, tidak sekedar menjadi proyek musiman untuk menghabiskan anggaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun