Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kosmos dalam Dunia Wayang

8 November 2020   06:15 Diperbarui: 8 November 2020   11:14 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seri Radio Phillips 360 - 3 Bands sepertinya dulu dibeli almarhum Bapak setelah panen duku samping rumah. Ada tiga barang mewah yang dibeli Bapak waktu itu:  radio, almari pajangan yang kami sebut bifet dan kursi berbalut bahan sintetis warna hijau berangka besi bercat putih.

Sudah terasa mewah waktu itu. Di awal tahun 70-an. Rumah kami berdinding anyaman bambu yang sudah direndam di "wangang" dusun. Wangang adalah jalur selokan tradisional yang sampai sekarang tidak tersentuh alokasi pajak yang dibayar sejak almarhum simbah buyut. Sebagian kecil bambu langit-langit ruang belum lama tidak dipakai. Anyamannya persis yang ada di SMA Kolese De Britto.

Mengapa bukan rumah tembok? Rumah tembok bukan sebuah prioritas. Bambu, pohon nangka atau pohon kelapa sebagai bahan dasar pembuatan rumah tersedia di kebun. Yang mengejutkan, ada satu bentangan utuh kayu kelapa untuk "blandar" rumah kami sepanjang 12 meter. Dengan ukuran bagus dari satu sisi ke sisi lain. Paku pabrikan tidak cukup kuat untuk menembus kekerasannya.

Rumah kami berderet memanjang. Dengan dua rumah induk berukuran inti 10 X 10 meter dan ditambah ruang dapur berukuran 4 X 10 meter. Berarsitektur Jawa Kampung. Maka lalu ada tambahan teras seluas 2,5 X 26 meter. Termasuk teras "longkangan" antarrumah. Longkangan atau sela antarrumah dipakai untuk menyimpan sebagian hasil panenan.

Tugas pagi sebelum sekolah adalah menyapu halaman depan dan jalan desa belakang rumah. Pekerjaan standar yang tidak ada celah untuk dibantah di pagi hari. Sore hari adalah membersihkan lampu-lampu minyak tanah sebagai penerangan. Listrik baru masuk ketika sudah kelas 2 SMP.

Radio Phillips 360 menjadi hiburan. Mendengarkan berita atau lagu-lagu dengan kualitas tergantung cuaca dan kecepatan angin. Belakangan ada gelombang FM yang menghasilkan suara lebih jernih.

Sepulang sekolah dan Bapak sepulang dari sawah adalah "wilayah kekuasaan" Bapak untuk mendengarkan musik keroncong atau gamelan. Yang epik adalah acara membaca cerita berbahasa Jawa di Radio Retjo Buntung Yogyakarta. Antena perlu ditarik paling panjang untuk suara berkualitas maksimal. Rasanya siaran radio adalah salah satu ruang belajar kami. Pukul 6 atau pukul 18 ada siaran dari BBC London berbahasa Indonesia atau ABC Australia. Dari gelombang SW1.

Kadang sesiang hari Bapak menjemur baterai di terik matahari. Menurut amatan Bapak, kekuatan baterai dapat lebih pulih setelah dijemur beberapa waktu.

Malam adalah ritual untuk mendengarkan dunia pewayangan. Sepanjang malam. Sedalu natas. Pukul 12 malam biasanya dimulai goro-goro. Tokoh-tokoh punakawan dihadirkan sebagai jeda dari panjang alur cerita.

Dalang adalah tokoh sentral pada waktu radio-radio masih digerakkan oleh batu baterai. Banyak lakon dibawakan dengan diselipin dialog-dialog dengan muatan banyak nilai luhur. Dalang juga perlu menjaga wawasan supaya materi yang dibawakan bermutu. Dapat diterima masyarakat luas, termasuk sebagai pendidikan nilai.

Dunia pewayangan mengemban nilai luhur sebagai oase keseharian. Menimba kembali nilai yang meneguhkan disamping realitas banyaknya intrik dan polah meperebutkan kekuasaan. Peperangan. Dan juga percintaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun