Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mbah Di, Pemilik Pohon Jeruk Bali

29 Juli 2020   17:33 Diperbarui: 29 Juli 2020   18:51 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

| Mengenang kembali Mbah Di. Tetangga sebelah rumah. Sepertinya tidak berpendidikan formal, tetapi beliau adalah guru dalam arti sebenarnya. |

Mbah Di. Kami biasa memanggilnya begitu. Nama lengkapnya Tukini. Tinggal di sebelah rumah kami, di sebuah dusun kecil hanya dengan tujuh belas rumah. Yang sampai hari ini masih tidak bertambah jumlahnya.

Di adalah sebutan dari anak lelakinya yang bernama Ramidi. Kabarnya Pak Ramidi meninggal karena terjatuh dari pohon kelapa. Jasadnya ditemukan selepas isya' di dekat kuburan dusun Kebokuning. Karena posisi jasad tergeletak di lereng tebing maka baru dapat dievakuasi paginya.

Semalaman Mbah Di menunggu jasad anaknya dengan penerangan lampu minyak di udara terbuka. Di tebing Kali Mangu. Di bawah kuburan. Mbah Di hanya membawa lampu senthir. Lampu bersumbu dengan bahan bakar mintak tanah. Supaya tidak padam oleh tiupan angin, Mbah Di melindungi dengan sobekan daun pisang.

"Aku sewengi nunggoni Likmu Di, nang pereng. Aku nganti lali hawane adem apa ora," kata Mbah Di.

Mbah Di menunggu jasad anaknya di udara terbuka sepanjang malam. Sendirian. Mbah Di sampai lupa apakah pada saat itu udara terasa dingin. Mungkin Mbah Di menatap tidak henti wajah anaknya. Sesekali mengusapnya dengan penuh cinta wajah dan tubuh yang sudah membeku. Sambil menjaga pelita supaya tidak padam.

Dusun kami terletak di antara pertemuan dua sungai yang berhulu di lereng Gunung Merbabu.

Yang istimewa dari Mbah Di adalah selalu menawarkan buah jeruk bali kepada kami anak-anak. Tidak hanya menawarkan, ia bahkan menunjukkan buah mana yang sudah cukup tua untuk dipetik. Kalau kami kesulitan memetik, ia tidak segan untuk mengambilalih dan membantu.

Mbah, nyuwun jerame nggih. Nek, minta jeruknya ya. Itu adalah bahasa spontan kami anak anak setelah lelah bermain bersama. Alih-alih menolak, beliau malah menunjukkan di mana "genter" (batang bambu berukuran tertentu yang dapat dipakai untuk membantu memetik buah atau lainnya) tersimpan dan dapat diambil.

Secara ekonomis, pilihan Mbah Di sebenarnya tidak relevan. Ia dapat saja memetik lalu menjual jeruk-jeruk bali untuk mendapatkan sejumlah uang. Menyimpan dan lalu dapat dipakai untuk menutup kebutuhan di suatu waktu.

Kalau Mbah Di sempat belajar ilmu ekonomi, mungkin ia akan bertindak berbeda. Terlebih bila ia mempelajari teori investasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun