Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Di Antara Dua Menara

16 Juni 2020   19:41 Diperbarui: 16 Juni 2020   19:45 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekali waktu, seburung elang melintasi dua menara
Terbang gagah di langit sepi mengabai pagi

Serapi anyaman sarang yang disisipkan di kaki-kaki menara
Menatap ke timur dan melintasi biru

"Aku masih belum melewati pintu kaca sewarna es" katamu dalam waktu yang tidak menentu
Juga sambil mengabai pagi dan angin yang kencang bertiup

Pada waktu yang lain, bulan melintas di antara dua menara
Lembut mengguyurkan sinar melintasi malam
Menyisip ke antara anyaman rumput-rumput kering yang terpungut dari sela-sela deru knalpot

"Kita mungkin tidak melewati lagi dentang lonceng angelus yang memantul sampai pucuk-pucuk menara," katamu, mengabarkan tentang angin yang berubah arah di permulaan musim kemarau

Aku mengangguk
Menjeda seperti pembatas buku yang disisipkan kembali
Berhenti pada sebuah halaman, dan kembali menutup buku untuk mencerap warna-warna sampul di bawah judul buku

Banyak halaman akan dilalui
Sehal dengan banyak halaman yang terlalui
Melewati banyak musim dengan arah angin yang cepat berubah arah
Seperti mendengar retakan daun-daun jati yang terinjak jenjangmu

"Kita mungkin bertemu di lorong berpagar pohon-pohon bambu," katamu sambil menggeleng dengan mata muram, serupa bulan tertutup awan

"Atau di antara buku-buku yang menumpuk tinggi di balik pintu kaca," kataku dengan gagah, laksana burung elang merentang sayap melintasi langit sepi di atas kotamu yang riuh

"Mungkin," gelakmu sambil mengemasi sore lalu berlalu ke barat

"Aku menyukai matamu yang muram," gumanku ketika jarak sudah tidak lagi mampu membawa suaraku ke tempatmu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun