Meninggalnya siswi-siswi SMPN 1 Turi, Yogyakarta pada kegiatan susur sungai beberapa waktu lalu tentu sebuah kesedihan yang luar biasa. Tidak ada kata, kalimat, paragraf pun artikel yang dapat menggambarkan rasa kehilangan itu.Â
Adalah Kodir yang juga membantu menyelamatkan banyak nyawa dengan perjuangannya seorang diri. Pada akhirnya, jumlah kurban meninggal relatif sedikit bila dibandingkan dengan jumlah peserta yang lebih dari 200 orang. Jumlah yang meninggal diinformasikan sebanyak 10 orang.
Ada rasa "mak plenggong" atas peristiwa itu. Seperti lenyapnya hal berharga dari kehidupan keseharian kita. "Mak plenggong" adalah bahasa keseharian, semacam idiom kalau dalam Bahasa Inggris. Meski Bahasa Inggris pun memiliki keterbatasan menjelaskan ungkapan-ungkapan seperti itu.
Duka keluarga tentu masih di sekitar pelupuk mata. Di sisi dekat hati yang mengasihi siswi-siswi itu tanpa syarat. Tanpa pamrih kecuali hanya untuk mencintai. Mencintai adalah memberikan bagian terbaik yang dimiliki dan melakukan yang paling mungkin tanpa harap pada imbalan.
Melihat barang-barang para siswi yang sudah "kapundhut" itu tentu kesedihan dan keharuan para keluarga yang kehilangan. Baju, sepatu, buku-buku, tas sekolah atau mungkin boneka-boneka kesayangan mereka. Atau mungkin juga raut-raut mereka ketika berpamitan hendak ke sekolah. Atau mungkin pas mereka merajuk meminta tambahan uang saku.
Situasi mencinta adalah keseharian yang paling ugahari. Tanpa pretensi, tanpa kepuraan. Semua tumbuh dan muncul dari hati yang paling jernih-bening.
Sebagian membawa pengalaman dicintai dan mencintai itu sampai masa dewasa. Sebagian kehilangan ketika remaja. Sebagian kehilangan justru ketika sudah mendapat uang sertifikasi mengajar dalam jumlah yang besar. Ketika banyak lainnya hanya berusaha mendamba situasi itu.
Saya mencatat Kodir, yang belum pernah saya temui, sebagai pembawa cinta itu sampai usia dewasa. Memelihara ternak dengan menemukan rumput-rumput yang dianugerahkan alam. Mencari ikan-ikan yang ditempatkan di sungai. Kodir sudah membawa pengalaman mencintai dan dicintai secara keren.Â
Bahkan sejumlah uang yang diterima panjenengan sumbangkan untuk orang-orang yang tumbuh bersama di rumah besar bernama dusun, untuk masjid yang dipakai bersama untuk sujud dan merendahkan hati. Seperti juga cinta warga dusun mencari pakan untuk ternak Mas Kodir ketika berhalangan.
Kodir seperti pembawa citra keyogyakartaan yang luput dari liputan. Dan ada banyak pribadi-pribadi sederhana lain yang menjaga nilai-nilai kejawaan. Meski mungkin secara profesi mereka jauh dari kata profesional atau pengusaha.
Suwun, Mas Kodir. Saya berguru pada "panjenengan" yang mencinta tanpa kata, tanpa pamrih. Hari ini, setelah membaca tentang "panjenengan", saya seperti pulang kembali ke tempat dari mana saya berasal. Setelah kemarahan dan kesedihan atas berpulangnya para dara-dara muda itu membuat saya tidak mampu menuliskan apapun.