Iriana adalah istri Joko Widodo. Happy Farida adalah istri Djarot Saiful Hidayat. Dan Veronica Tan adalah mantan istri Basuki Tjahaja Purnama.
Tiga perempuan yang hampir tidak terlacak memberikan komen yang tidak perlu atau tidak relevan di tengah hiruk pikuk media sosial. Di antara mereka, Veronica Tan adalah perempuan pemain cello. Satu hal yang keren.
Ketiganya adalah seorang ibu dari tiga buah hati. Iriana dengan satu perempuan dan dua lelaki. Happy dengan tiga orang anak perempuan. Dan Veronica dengan satu perempuan dan dua lelaki, sama dengan Iriana meski berbeda urutan jenis kelamin dari sisi sisi usia.
Ketiganya adalah perempuan yang lebih banyak berbicara dengan gesture. Dengan bahasa tubuh. Dengan senyum yang sederhana, make-up secukupnya dan hemat kata-kata.
Era media sosial yang bergegas menyerobot ketidaktepatan hampir tidak mendapat porsi dari ketiga perempuan itu. Veronica Tan bahkan tidak bergeming dengan gesturenya ketika banyak hal berat mengepungnya. Termasuk pada fase perceraiannya dengan Ahok dengan isu tentang orang ketiga dalam relasi mereka. Setelah sebelumnya dihajar dengan kasus yang menjerat Ahok terkait persoalan mengutip ayat yang dipolitisasi sedemikian rupa. Bahkan ketika Ahok sibuk membela diri, Veronica hanya berbicara dengan senyumnya. Entah kebenaran menjadi milik siapa.
Angin di ketinggian selalu bertiup lebih kencang, demikian peribahasa menyebut.
Happy juga demikian. Pada situasi politik yang dicampuradukan dengan agama, Djarot ditolak masuk ke masjid-masjid tertentu. Posisi di ujung jarum dalam waktu yang pendek tetapi pasti terasa sangat panjang. Hajaran masih berlanjut dengan situasi pilkada yang serem. Isu-isu sara dimainkan sedemikian rupa. Politik yang tidak berpihak pada keadilan sosial tetapi kepada permainan isu-isu. Ketidakadaan Wakil Gubernur di DKI Jakarta sampai saat ini adalah penegasan ketidakberpihakan pada keadilan sosial, tetapi pada tarik-menarik kepentingan.
Iriana adalah batu karang di sisi Joko Widodo. Kehidupan pribadi yang dicecar habis tidak kuasa menghilangkan sisi humor keluarganya. Secara hebat, Joko Widodo bahkan mengundang para komedian ke Istana Negara ketika anggota DPR riuh-rendah dengan dua ikon yang licin waktu itu: Fachri Hamzah dan Fadli Zon. Joko Widodo membawa situasi pada sisi yang lain: "menang tanpa ngasorake". Menang tanpa sedikipun merendahkan. Kutipan Jawa yang banyak dikutip untuk menutupi ketidaksesuaian.
Demokrasi yang digadang-gadang membawa pada kesejahteraan sosial pada faktanya masih jauh panggang dari api. Politik semakin tidak menampakkan ujung jalannya yang lempang dan bercahaya terang. Carut-marut terus melintang-silang. Kegaduhan terus beranak-pinak. Berkurangnya pejabat negara yang ditangkap KPK bukan karena ada perbaikan standar etika pelayanan, tetapi karena KPK dilemahkan.
Negeri ini sepertinya akan masih terus tertatih mengemban demokrasi ala Barat dan Amerika yang bukan merupakan akarnya. Almarhum Prof. Damardjati Supadjar menggarisbawahi bahwa demokrasi akar kita adalah "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" dan bukan "one man, one vote". Demokrasi ala Barat dan Amerika mensyaratkan pemahaman politik yang cukup, daya analisa yang memadai dan ketidakmudahan untuk dipengaruhi dalam berkeputusan. Tiga hal yang masih terasa sulit ketika politik uang adalah sebuah rahasia umum.
Dalam keriuhan dan teriakan di media sosial, gesture ketiga perempuan itu adalah oase. Bukan karena tidak ada masalah, tetapi justru karena runtutan dan deraan masalah silih berganti. Mengalun seperti ombak, dan menganak-sungai seperti keringat yang terus membanjir dalam polusi yang terus memekat.