Kebanyakan rumah asli di daerah Tarutung adalah berkonstruksi setengah tembok dan setengah kayu, dengan atas seng. Atap seng, konon, dipilih karena ringan. Supaya lebih aman bila terjadi gempa bumi, begitu banyak diceritakan.
Sedikit menyeberang, rumah kuno di Nias dengan konstruksi kayu terbukti tahan terhadap terpaan gempa pada bencana besar yang lalu ketika bangunan-bangunan yang lebih baru hancur luluh.
Kondisi topografis daerah Jakarta semenjak disebut Batavia memang daerah dengan potensi banjir. Salah satu ciri yang dapat dilihat sampai sekarang adalah bentuk sungai yang berkelok-kelok seperti pada bentuk alur Sungai Ciliwung.
Konstruksi rumah asli di Tarutung dan juga rumah panggung Suku Betawi adalah kearifan lokal. Berdamai dengan lingkungan ekologis yang ada. Keduanya adalah kearifan yang sudah banyak ditinggalkan.
Diskusi tentang banjir akan sangat marak pada beberapa waktu ini. Pada musim penghujan yang ekstrim dengan intensitas curah hujan yang sangat tinggi. Dan, seperti biasa, segera ditinggalkan dan dilupakan ketika sudah memasuki musim kering.
Jakarta Smart City yang digagaskembangkan oleh Gubernur Ahok dan sudah menampakkan hasil ditinggalkan begitu saja oleh Gubermur Anies. Padahal, sedikit menyeberang ke timur, Walikota Risma yang sangat peduli lingkungan sudah memanen hasil kerja keras dengan kota yang lebih adaptif terhadap banjir dan suhu yang memiliki trend turun karena penanaman banyak pohon. Gubermur Anies hampir pasti gagal menyamai Walikota Risma dalam hal pengelolaan lingkungan.
Sayangnya, kecerdasan Gubernur Ahok dengan konsep Jakarta Smart City yang menjadikan kota semakin manusiawi dikalahkan secara politis dengan skema bau SARA yang sangat kental dan beresiko terhadap perpecahan bangsa dalam pemilihan gubernur yang akhirnya memenangkan Gubernur Anies. Dari berita yang beredar, konsep JSC sudah benar-benar ditinggalkan oleh Gunernur Anies, setidaknya sampai paruh kepemimpinannya pada saat ini.
Perilaku politis dan perilaku kapitalistik saat ini sepertinya kembali membawa Jakarta seperti pada pemerintahan Gubernur Fauzi Bowo. Menjadi kota yang semakin menjauhi konsep smart city.
Tradisi-tradisi arif bijaksana para leluhur memang telah ditinggalkan di Jakarta. Seperti pada penggunaan rumah-rumah panggung yang ramah pada kondisi Jakarta yang memang daerah banjir. Bangunan-bangunan yang menyalahi aturan dan terus merangsek ekologis sungai semakin memperburuk situasi. Ditambah saluran-saluran pembuangan yang semakin tidak terawat.
Beban kota Jakarta saat ini membuat wajah Jakarta nampak jauh lebih tua dan terlihat lelah ketimbang usia sebenarnya. Maka ibukota baru yang lebih menampilkan wajah Indonesia yang berpengharapan memang diperlukan.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H