* Sebuah tribute untuk RM Gregorius Djaduk Ferianto
Di panggung berwarna biru, bilah-bilah senar bas dicabik-mainkan dengan indah
Jemari menari-susuri titian-titian nada
Meninggi-merendah, merapat-merenggang
Saxophone alto meningkahi sela-sela cabikan pada bilah-bilah senar bas
Melengking tinggi, lalu meniti nada-nada rendah kemudian
Di atas daun-daun rumput yang basah, aku meletakkan diri setelah sepanjang hari yang berlalu
Mendekati nada-nada yang tercabik indah, menyusuri serak lengkingan yang terasa begitu dalam
Tetiba aku dengan mudah mengingat Leonard Cohen
Yang meniti-lantunkan nada-nada rendah dalam suara bariton yang kuat
Menyanyikan Hallelujah di malam gelap, di lereng Gunung Merapi sehabis hujan, Â di antara kabut yang pelan turun dari lereng tinggi dan bergegas menyelimuti malam
Bukankah kamu mengingatkan tentang nyanyian Hallelujah di ruang beratap tinggi sebelumnya?
Tidak ada nyanyian Hallelujah pada malam ini di panggung berwarna biru. Tidak ada
Tetapi suara saxophone alto bersuara serak terlanjur mengingatkan malam pekat dengan kabut tebal, dengan suara yang meniti nada-nada rendah dengan kuat
Dan aku lalu memilih menyusuri ingatan itu, Â di depan panggung berwarna biru
Bilah-bilah telah tercabik bersama jemari yang menari di titian nada
Dan saxophone alto seperti meneriakkan yang terpendam-tinggal di kedalaman
Kutengadahkan harapan ke langit malam  yang dipenuhi gerak awan-awan putih di kegelapan