Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Rindu di Saku Celana

8 September 2019   16:48 Diperbarui: 8 September 2019   16:57 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Franshendrik Tambunan on Shutterstock

Dari jauh, dilihatnya perempuan berkebaya jingga. Kainnya naik melewati betisnya yang jenjang ketika melangkah. Langkahnya masih lebar dan anggun. Dan sorot mata muram yang masih selalu menggelayut sampai senja hari. Tidak ada yang berubah.

Ben masih menyimpan keterkejutan yang sama setiap kali melihatnya melintas. Entah di halaman sekolah. Entah di halaman gereja berdinding papan yang bercat putih kusam. Ada yang masih disimpan di kantong celana sebelah kanan untuk perempuan berkebaya jingga. Dulu, Ben berfikir kesempatan itu akan datang nanti. Sekarang, Ben berfikir kesempatan akan datang sebentar lagi.

"Aku duduk di bagian belakang ya," kata perempuan itu dulu. Ketika mereka bersepakat mengikuti misa pada hari Minggu sore.

Ben mengangguk pelan. Hampir tidak terlihat. Ia membiarkan perempuan itu melangkah ke barisan bangku di belakang. Ada yang istimewa dari langkah kaki perempuan itu. Yang membuat Ben baru berfikir tentang tempat duduk setelah perempuan itu mengangguk dan tersenyum di kejauhan.

"Hai," kata perempuan itu. Mengejutkan, meski suaranya lembut dan pelahan.

"Kita pulang?" lanjutnya sambil meninggalkan segaris senyum di sisi bibir. Berdiri tepat di sisi bangku tempat Ben duduk. Lagu penutup hampir tidak diingat Ben, meski coda baru saja berakhir.

"Yuk," jawab Ben seolah tidak terjadi apa-apa. Meski, jujur, Ben mengharapkan perempuan itu duduk di sisinya sepanjang misa. Ben menyukai tubuhnya yang menjulang dengan jemari yang memanjang menggengam buku pujian.

Waktu melompat begitu saja. Seperti fajar yang muncul di timur. Atau seperti senja yang datang di sebelah barat. Lalu bulan silih berganti mengarungi malam. Ben terus berjalan. Ke barat seperti diyakininya.

Entah pada belasan tahun ke berapa Ben kembali ke tempat semula. Memasuki ruangan berpintu kaca dan berpendingin udara. Buku-buku menumpuk tinggi di sebelah kanan pintu. Belasan tahun lalu, aroma-aroma kertas selalu disukainya. Setakzim Ben menelusuri banyak baris kalimat. Mengikuti jajaran kata dan paragraf yang selalu terlihat pendek.

"Hai," kata perempuan itu dengan julang yang sama anggunnya sebelum pintu kaca berhenti bergerak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun