"Paling sehari bawa pulang dua puluh atau tiga puluh ribu," kata seorang supir angkutan jurusan Muntilan-Tlatar.
Muntilan adalah sebuah kota kecil antara Magelang dan Yogyakarta. Sedangkan Tlatar adalah tempat di mana kantor Kecamatan Sawangan berlokasi, ada di wilayah Kawasan Rawan Bencana (KRB)Â letusan Gunung Merapi.
Rute ke Tlatar dari Muntilan dapat ditempuh melalui Blabak lalu menyusur jalan ke arah Boyolali dari Magelang.
Hari Minggu (27/1) pagi itu ada tiga angkutan desa yang menunggu penumpang di terminal Muntilan. Satu angkutan yang hanya berisi dua penumpang memilih untuk jalan daripada menunggu penumpang setelah ngetem hampir 40 menit.
Masa kejayaan angkutan pedesaan memang sudah lama berlalu. Semenjak kendaraaan sepeda motor dipandang sebagai pilihan yang lebih ekonomis. Bisa dikendarai ke mana dan kapan saja. Dengan biaya perawatan yang masih terjangkau.
Dengan jumlah penumpang yang terus menyusut, senjakala angkutan pedesaan praktis memang sudah hadir. Di samping persaingan memperoleh irisan pendapatan yang masih harus diperebutkan dengan angkutan lain yang sejenis.
"Pada hari sekolah ada 32 angkutan yang beroperasi. Kalau hari libur paling 7 atau 8 yang jalan," lanjutnya.
Berapa rupiah uang dapat di bawa pulang?
"Sak niki angsal setoran pun sae. Dikirangi bensin kalih maem, paling mbeta wangsul 20 utawi 30 ewu,' katanya sambil tertawa getir.
Setoran mobil angkutan berusia tua dapat sejumlah Rp 50.000 atau Rp 60.000. Sehari ia menempuh tiga perjalanan pulang pergi. Tarif terjauh atau sampai Tlatar adalah sejumlah Rp 5.000. Jumlah yang mudah dihitung dan ditelusur secara keseluruhan.
Supir biasanya mendapat penghasilan sebesar Rp 20.000 atau Rp 30.000 per hari. Sudah dikurangi bensin dan makan-minum. Sesekali beruntung kalau ada yang menyarter.