Di tengah beribu rasa cemas, untungnya pemerintah menenangkan publik dengan menjanjikan yang terbaik dalam penanganan wabah, dan menjamin pasokan sembako tetap aman.
Seruan agar tetap tenang dan positif juga banyak datang dari lingkaran pertemanan. Sehingga saya dan suami segera tersadar untuk tidak panik berlebihan, percaya pada pemerintah, sambil terus berdoa agar semuanya baik - baik saja.Â
Sayangnya tidak semua orang bisa tenang dalam menghadapi ketidakpastian krisis kesehatan yang ada di depan mata.Â
Buktinya, Indonesia sempat  dilanda panic buying sehingga menyebabkan kelangkaan barang yang banyak dicari pada awal pandemi seperti masker, handsanitizer dan vitamin.Â
Gara - gara panic buying ini, saya termasuk yang tak kebagian 3 produk itu. Tapi sedihnya, tenaga kesehatan yang sungguh membutuhkan juga kesulitan mendapatkannya.Â
Yang seharusnya bisa mengakses alkes dengan mudah, malah harus berebut dengan masyarakat yang panik, dan berhadapan dengan pedagang nakal yang menimbun dagangan demi keuntungan pribadi.
'Cuma' panic buying, tapi bisa berujung inflasi dan kelangkaan barang. Itu sebabnya orang awam juga ternyata perlu sedikit paham ilmu ekonomi. Agar di situasi yang penuh dengan ketidakpastian seperti ini, kita bisa cerdas berperilaku.Â
Meski keadaan relatif terkendali, pada akhirnya, pandemi Covid-19 memang berdampak pada banyak hal. Kebijakan PSBB yang diterapkan untuk menekan laju penyebaran virus, membuat lumpuh beberapa sektor bisnis dan UMKM, sehingga 3 juta karyawan terkena PHK karenanya (data Kementerian Ketenagakerjaan, Juni 2020).
Imbasnya, pertumbuhan ekonomi RI turun ke angka 2.7 % pada kuartal pertama tahun ini (data nangkring Webinar BI).Â
Pertumbuhan ekonomi yang melesu ini juga dialami negara - negara lain di dunia. Tapi untungnya kita memiliki Bank Indonesia dengan kebijakan makroprudensialnya yang akomodatif dalam menjaga Sistem Stabilitas Keuangan (SSK). Sehingga ekonomi RI tidak terjerembab begitu dalam.