Banyak yang mengatakan bahwa gaya hidup kaum milenial itu identik dengan hedonisme dan konsumtif. Liburan ke pantai, cekrek. Ngopi cantik, cekrek. Beli tas baru, cekrek. Yang penting eksis dan kekinian. Boros? Belum tentu. Selama mampu nggak ada yang melarang kok.Â
Barangkali sedekahnya lebih banyak. Atau siapa tau biaya yang dikeluarkan untuk menunjang gaya hidup kekiniannya hanya sekian persen dari total pendapatan, sisanya masuk tabungan atau investasi. Who knows kan?
Yang paling penting adalah, kita tau pasti kemana larinya setiap sen uang kita. Jangan sampai setiap akhir bulan meratapi dompet yang gersang dan buku tabungan yang nilainya jalan di tempat. Jadi, perencanaan keuangan itu penting.
Menabung dulu lega kemudian
Dulu, saat pertama kali menyandang status sebagai karyawan baru, saya selalu diingatkan oleh ayah untuk menyisihkan sebagian uang untuk ditabung. Saat itu sedang hangat - hangatnya konsep keuangan syariah didengungkan, dan saya pun tertarik menggunakan jasa perbankan syariah karena sesuai dengan prinsip yang saya anut.
Menurut ayah waktu itu, mengingat saya masih single dan tidak ada tanggungan cicilan atau kredit, seharusnya saya bisa menyisihkan uang untuk tabungan sebesar 40% dari total pendapatan. Rekening tabungan juga harus dibuat terpisah dan tidak dibuatkan ATM supaya saya tidak bisa bebas memanfaatkannya.
Jadi, setiap gajian turun hal pertama yang saya lakukan adalah menabung di awal. Uang yang tersisa harus dicukup - cukupkan selama sebulan untuk membayar sewa kos dan kebutuhan sehari - hari termasuk kebutuhan untuk jalan - jalan dan kulineran. Syukur - syukur jika masih tersisa, meskipun seringnya selalu habis tak bersisa..hahaha.
Menabung di awal memang menolong saya untuk membuat dana cadangan. Tapi, konsekuensinya jadi tak bisa mengikuti pergaulan gaya hidup teman - teman karena uang yang dipegang terbatas.Â
Alhasil saya sering melewatkan acara hangout bareng kawan - kawan kantor, karena dana saya tidak cukup untuk itu. Mungkin bagi teman - teman yang lain saya terlihat tidak asik, karena selalu menentang tas yang sama setiap waktu, sementara mereka bergonta ganti tas setiap hari. Atau saya lebih suka membawa bekal  untuk makan siang, sementara mereka selalu jajan di luar.
Keteguhan hati memang sangat diperlukan ketika kita memegang suatu prinsip. Dari dulu saya selalu berprinsip untuk selalu menjadi diri sendiri. Memaksakan diri untuk eksis dan gaul agar disukai malah membuat diri sendiri jadi tak nyaman.Â
Yakin saja selama yang kita lakukan benar. Toh tidak selamanya kita hidup dalam bayang -- bayang pertemanan. Yang penting berkelakuan baik dan profesional dalam bekerja. Begitulah prinsip saya.