Mohon tunggu...
Diar Herdyan
Diar Herdyan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang pembelajar seumur hidup, sambil sesekali pesiar berwisata kuliner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misi Terakhir Azazil (9)

10 Desember 2014   18:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:36 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14181855041693231312

Cerita Sebelumnya : Misi Terakhir Azazil (8)

16

Jakarta sedang memberikan mimpi paling buruk bagi para penduduknya. Hujan yang meluap-luap sedari sore telah memicu kemacetan luar biasa dinyaris seluruh ruas jalan. Hujan juga mengakibatkan banyak daerah mulai tergenang. Banjir yang dianggap penyakit kambuhan Jakarta di musim hujan sudah datang menyapa.

Mobil Mercedes Benz E250 warna hitam itu tidak luput dari kejamnya kemacetan. Macet adalah contoh yang baik untuk penerapan keadilan yang egaliter. Karena tidak peduli kaya-miskin, mobil mewah atau angkot, semuanya pasti tidak dapat mengelak dari macet, apalagi disaat hujan seperti ini. Maka Mercedes itu pun terdiam pasrah, terjepit diantara kopaja dikiri dan bajaj BBG dikanan.

Bambang Jatmika dalam hati merutuki macet kali ini. Sebetulnya bukan hanya sekarang jalanan Jakarta macet separah ini, cuma memang ingatan manusia sangat mudah lupa. Mestinya tadi pakai Voorijder ! Keluhnya dalam hati.

Hari ini adalah hari buruk. Ciong, seperti kata kolega Tionghoanya, artinya kurang lebih sama dengan apes. Hari sial ini dimulai dari sebuah broadcast bbm yang mengabarkan meninggalnya Ridwan Suhendra, si sahabat lama. Cara meninggalnya itu yang membuat bulu kuduknya meremang; ditembak dalam rumahnya sendiri.

Sedikit banyak hatinya ngeper juga. Sudah jadi rahasia publik bahwa mereka adalah the dynamic duo, duet maut atau ungkapan apa pun yang menggambarkan kerapatan mereka. Sekarang satu dari the dynamic duo telah tumbang, dan ia merasa tidak sanggup menjadi the dynamic single. Dalam keseharian Ridwan lebih bertindak sebagai penentu arah, pencetus gagasan, sementara dia adalah pemulus jalan. Maka jika pencetus ide tiada, bagaimana pemulus jalan bisa dapat proyek ?

Polisi masih belum berbuat banyak, mungkin juga karena peristiwa itu belum lagi 24 jam. Hatinya jadi lebih tenang saat diketahui ada kemungkinan motif perampokan karena diduga ada perhiasan keluarga yang hilang. Paling tidak itu menghilangkan perasaan bahwa ia adalah target berikutnya. Terlalu berlebihan, ia pun mengomentari rasa takutnya hari itu.

“Maaf, pak ?” terdengar suara ajudannya yang duduk di bangku sebelah depan. Mobilnya masih belum bergerak dari tempatnya sejak lima belas menit lalu.

Ia tergeragap sejenak, “ya, Kenapa ?”

“Ada yang menelpon bapak sedari tadi sejak bapak masih di rumah duka.” Jawab si ajudan sambil menyerahkan handphone.

Di call history terdapat sebuah nomor yang berusaha menghubunginya sebanyak tiga belas kali. Siapa, ya ? Wartawan ?

Tiba-tiba nomor itu menghubungi lagi. Ia ragu sesaat, namun akhirnya diterima juga telpon itu.

“Halo ?”

Hening sekitar dua detik, kemudian terdengar suara seseorang dari seberang, “Apakah saya berbicara dengan bapak Bambang Jatmika ?”

“Siapa ini ?” Kewaspadaan mulai merayapi segenap syarafnya.

“Saya dari Kepolisian Metro. Inspektur Dua Gunawan Wibisana.”

Kecemasan itu pun menghilang, “Ya, ini saya sendiri.”

“Maaf mengganggu, pak. Dalam rangka penyelidikan kasus penembakan Ridwan Suhendra, kami meminta kesediaan bapak untuk menjawab beberapa pertanyaan terkait dengan kasus tersebut.”

“Oohhh..Baik, baik. Kapan anda mau datang ?” Kalau bisa jangan cuma tanya, kawal aku sekalian, pak !

“Hari ini bisa, pak ? Mungkin nanti malam ?”

“Bisa, baiklah kalau begitu. Saya tunggu dirumah nanti malam.” Ada kelegaan terdengar dari suaranya. Mungkin nanti ia bisa meminta sebuah pengawalan untuk beberapa hari kedepan. Ah, kenapa aku jadi paranoid begini ?

“Terimakasih atas kerjasamanya, pak.” Sambungan pun terputus.

Bambang Jatmika menghembuskan napas sekilas, kemudian berbicara pada ajudannya, “Nanti ada Polisi akan datang kerumah, tolong kamu urus segala sesuatunya.”

Ajudan yang duduk dimuka itu menjawab lugas, “Siap, pak !”

Mercedes itu masih merayapi kemacetan di kawasan itu, bersaing dengan mobil lain, motor, bus, angkot bahkan bajaj. Hujan terasa mulai reda. Curahan air nya mulai menunjukan tanda penurunan.

Sementara itu, berjarak dua mobil dibelakang Mercedes, sebuah mobil mini SUV tampak antri dalam antrian yang sama. Pengemudinya seorang wanita yang tersembunyi samar dibelakang kaca anti UV mobil tersebut. Perjalanan masih lah panjang.

17

Ipda Gunawan menganggukkan kepala pada Iptu Ajisaka, “Oke, nanti malam.”

Iptu Ajisaka menghembuskan napas panjang, “Akhirnya, kesambung juga…” Ia menoleh pada Agustian “Bagaimana, kamu tetap pada pemikiran mu ?”

Agustian mengangguk samar, “Untuk saat ini yang paling penting adalah meletakan pijakan ditempat yang benar. Bambang Jatmika adalah sebuah alasan logis untuk menjadi pijakan awal.”

“Kenapa kamu berkeras bahwa Bambang Jatmika bakal jadi korban berikutnya ?” Terdengar suara Ipda Gunawan. Meski hati kecilnya tetap menolak kehadiran Agustian, Ipda Gunawan mulai dapat menerima kehadiran orang sipil itu dalam tim penyidik. Lagi pula ia tidak punya pilihan banyak.

Agustian memandang Ipda Gunawan sekilas, “Aku rasa engkau pun berpikiran sama. Kasus ini lebih bersifat politis ketimbang kriminal biasa. Penting untuk menelusuri jejak panjang Ridwan Suhendra sebagai politikus, dan Bambang Jatmika adalah mata rantai penting dalam karir politik Ridwan.”

Ipda Gunawan mengangguk-angguk, “Meski demikian kita tidak boleh menyampingkan motif lain. Laporan DNA dari bagian forensik akan datang besok, mestinya kita akan mendapatkan banyak hal dari laporan itu. Mungkin saja kasus ini tidak seberat sangkaan kita”

“Betul, Aku setuju.” Timpal Iptu Ajisaka, kemudian ia menoleh pada Agustian, “Agustian, sori, bukan tidak percaya padamu. Tapi ini soal prinsip, aku tidak bisa menaruh kepercayaan pada seseorang jika orang itu bersikap tertutup. Komjen Harun berkata bahwa pagi tadi kau menelpon dia dan bilang kalau kasus ini berhubungan dengan masa lalu mu, betul ?”

Agak berat untuk Agustian sebelum ia akhirnya menjawab, “Iya, benar.”

“Massa lalu seperti apa itu ?” Kejar Iptu Ajisaka.

Agustian menghela napas panjang, kemudian mengeluarkan lipatan secarik kertas dari saku celananya, “Tampaknya aku tidak punya pilihan lain.” Ujarnya pendek. Diserahkannya kertas itu pada Iptu Ajisaka.

“Apa ini ?”

“Alasan kehadiranku disini.” Jawab Agustian pendek.

Iptu Ajisaka cepat membuka lipatan kertas itu. Ternyata isinya adalah kopi dari sebuah email.

Subject : Reuni

Hi Azazil,

Kemasi barangmu, waktunya reuni. Ivan berangkat duluan, sekarang dirumahmu. Jangan tidur seminggu kedepan, pasang mata di -6.224158 dan 106.836265, Ivan bakal mengetukmu sebelum tengah malam.

Don’t miss it !

PS : Aku rindu dengan Nancy :-)

(Bersambung)

Sumber gambar : http://data.tribunnews.com/foto/bank/images/20131225_074403_ilustrasi-mati-lampu-blackout.jpg

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun