Mohon tunggu...
Diar Herdyan
Diar Herdyan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang pembelajar seumur hidup, sambil sesekali pesiar berwisata kuliner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Misi Terakhir Azazil (6)

20 November 2014   19:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:18 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416460134400211514

Cerita Sebelumnya : Misi Terakhir Azazil (5)

10

Seorang laki-laki duduk tengah online sambil membaca berita-berita di situs-situs berita dari notebook tipisnya. Hanya ia seorang yang berada diruangan besar berwarna putih gading itu. Sebuah jam dinding besar yang terpasang diatas ambang pintu, tegak lurus dengan meja kerjanya menunjukan waktu pukul 13.30 siang.

Tidak ada suara, hanya sesekali terdengar bunyi derit lemah saat kursi kerja berlapis kulit  bergerak-gerak mengikuti irama tubuhnya.

Ruangan itu sendiri terbilang luas. Fokus ruangan jelas terdapat pada meja kerja besar yang berwarna duko dan terbuat dari kayu jati pilihan langsung dari Jepara, bersama kursi kerja berwarna senada dan dilapis kulit. Terdapat dua kursi tamu didepan, agak bergeser ke sudut kanan terdapat sofa dan meja jati berpelitur mengkilat yang biasa digunakan untuk menerima tamu. Sebuah lemari kaca berisikan plakat-plakat, piagam-piagam penghargaan dan cenderamata dari berbagai kantor dinas terlihat di sudut kiri belakang meja kerjanya. Foto Presiden dan Wakil Presiden RI mengapit lambang Negara burung Garuda Pancasila terpampang di belakang meja kerja, menatap kearah pintu.

Pria itu masih asyik membaca berita dari berbagai situs berita. Ia membaca seperti orang melamun, sesaat membaca sesaat kemudian menggerakan mouse mengganti kanal berita kearah situs yang lain. Tak ada ekspresi diraut wajahnya.

Dibacanya berita mengenai rencana prosesi pemakaman Ridwan Suhendra yang akan dilakukan besok di San Diego Hills Cikarang. Meski sebagai seorang anggota MPR-DPR aktif ia berhak dimakamkan di Kalibata, keluarga tampaknya lebih memilih pemakaman mewah itu sebagai tempat istirahat terakhirnya.

Tidurlah dengan tenang, Ridwan. Kau akan tetap dikenang sebagai pahlawan, meskipun kau sebenarnya adalah pengkhianat busuk negeri ini ! Ujung kiri atas bibirnya sedikit berkedut kala pikiran itu melintas di benaknya. Wajahnya sedikit mengeras.

Hukuman yang pantas bagi pengkhianat adalah mati ! Ekspresi wajahnya makin membesi. Sebentuk raut tanda kekerasan hati terbentuk di wajahnya. Begitulah yang ia yakini sejak dulu saat ia masih muda hingga kini menua dengan uban putih yang sudah mendominasi rambutnya.

Pengkhianat Negara harus dihukum mati. Tidak pandang bulu. Betapa sejarah panjang perjuangan bangsa mencatat nama mereka yang dicap sebagai pengkhianat telah menemui ajalnya didepan bedil.

Muso, Amir Syarifuddin, Kartosuwiryo, Aidit adalah sedikit dari nama-nama para pengkhianat negeri yang tewas atas apa yang telah mereka lakukan. Dan hukum ini masih berlaku hingga kini, masa dimana hukuman mati dipandang bertentangan dengan hak asasi manusia. Tapi bagi pengkhianat, tidak ada hak asasi yang perlu ditegakan, karena mereka sendiri telah melecehkan hak asasi negeri ini untuk menjadi negeri yang berdaulat. Itulah yang selalu tertanam di benaknya.

Maka ketika didengarnya Ridwan Suhendra, yang ditengarai adalah anggota mafia perdagangan senjata antar negara dan berkedok sebagai pengusaha dibidang logistik naik menjadi anggota DPR, nuraninya berontak.

Dirinya kian gusar ketika serigala ini berhasil menjadi ketua komisi I dan aktif pada proses pembelian senjata demi modernisasi alutsista TNI. Betapa geramnya ia kala mengetahui proses pembelian helicopter tempur Rusia tipe Mi-28N “Night Hunter” yang dengan susah payah diusahakan negara dilakukan dengan pendekatan Government to Government dirusak oleh Ridwan yang melontarkan fitnah bahwa proses itu adalah kedok bagi segelintir orang untuk mereguk jutaan dollar komisi dari taipan Rusia.

Ridwan beserta komplotannya berhasil meyakinkan dewan untuk bekerja sama dengan Amerika dan menjanjikan kesanggupannya untuk melobi pihak AS untuk membeli helikopter tempur canggih ikon Amerika, AH-64D Apache. Semua pun terbius dengan nama Apache dan akhirnya menyetujui opsi itu, meski APBN untuk hankam akan tergerus 30% lebih dalam olehnya.

Maling teriak maling.

Apa yang telah dilakukan Ridwan sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Ia beserta komplotan mafia senjatanya mesti dibinasakan dari bumi nusantara ini. Mereka lah sejatinya tikus-tikus penggerogot dana negara yang kemudian berpesta menikmati komisi atas nama rakyat dan negara.

Sebuah tindakan harus dilakukan. Dirinya teringat sebuah embrio pasukan pemukul taktis yang pernah ia bina puluhan tahun lalu. Sebuah benih unit pasukan komando kecil yang mampu mengeksekusi siapa pun, kapan pun, dimana pun tanpa memandang batas negara atau yuridiksi. Ia masih ingat nama-nama asuhannya dan tahu bagaimana menghubungi mereka.

Cukup dengan mengaktifkan kode itu saja. Kode yang hanya ia dan mereka yang tahu.

Dan segera seminggu kemudian Ridwan Suhendra tewas dikediamannya. Walau demikian ada berita kurang baik. Satu anggota tim telah menghilang dan memilih tidak terikat lagi dengan tim ini. Namun itu semua tidak ia risaukan, ada cara lain untuk menemukan anggota yang hilang itu.

Dan kini waktunya pembalasan yang kedua. Dirinya mengambil handphone miliknya yang telah dilengkapi dengan sistem pengamanan khusus sehingga mustahil dapat disadap.

Ditulisnya sebuah pesan pendek bagi anggotanya.

Tim Alpha, bergerak…

11

Bosan.

Seharian ia hanya duduk-duduk dikamarnya disebuah hotel bintang 4 dikawasan Bulungan. Tidak ada yang dapat ia lakukan, dan ia pun gusar. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu tanpa batas waktu yang jelas.

Ivan sudah dijalan, kapan giliranku tiba ?

Dilihatnya langit siang Jakarta yang mulai berwarna kelabu. Mendung mulai berkumpul, bersiap untuk menumpahkan muatannya nanti disore hari bertepatan dengan jam pulang kantor.

Arrrrggghhh ! Aku bosaaann….! Kapan saatnya aku beraksi !!??!

Suara notifikasi dari handphonenya terdengar.

Akhirnya !

Disambarnya alat komunikasi kecil itu. Dibacanya pesan yang baru masuk.

CODE PANDORRA ON

FREYJA

SUBJECT : BAMBANG JATMIKA

APPROACH TYPE : EXTREME

TIME FRAME : 24

SI VIS PACEM PARA BELLUM !

Batinnya tersenyum riang.

Parati !

(Bersambung)

Sumber Gambar : http://data.tribunnews.com/foto/bank/images/20131225_074403_ilustrasi-mati-lampu-blackout.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun