Cerita Sebelumnya : Misi Terakhir Azazil 4
8
Dahi Iptu Ajisaka menampakan kerutan-kerutan dengan garis yang tampak jelas. Mata dan alisnya seolah hendak bertaut dan berwarna lebih gelap saat ia terdiam sambil memandangi sebuah dokumen yang diletakan oleh Ipda Gunawan di meja.
Otaknya kini sedang berusaha menemukan korelasi antara kejadian pembunuhan yang terjadi belum lagi genap dua puluh empat jam lalu, dengan informasi yang baru masuk. Dihadapannya duduk Ipda Gunawan yang menampilkan ekspresi wajah tidak kalah angkernya.
Iptu Ajisaka bergerak seolah tersadar dari sebuah tidur yang panjang,sambil melemaskan sendi-sendi tubuhnya yang kaku ia bertanya pada Ipda Gunawan, "Apa klasifikasi informasi ini ?"
"Rahasia, tapi tingkat rahasianya masih satu level dibawah informasi-informasi yang sangat sensitif. Namun ini tetap bukan konsumsi publik." Jawab Ipda Gunawan.
"Artinya wartawan-wartawan itu tidak akan bisa mengendus informasi ini dalam waktu dekat ?"
Ipda Gunawan menganggukkan kepala "Aku rasa demikian. Walaupun akan ada sebuah rumor beredar di masyarakat, tapi itu semua hanya spekulasi, info setengah matang. Paling-paling hanya akan laku di kalangan penggila teori konspirasi."
Iptu Ajisaka menghembuskan napas panjang, "Oke, kita coba susun kepingan teka-teki ini. Ridwan Suhendra adalah ketua Komisi I DPR yang memiliki latar belakang sebagai...."
"Direktur sebuah perusahaan yang bergerak dibidang jasa pengiriman logistik yaitu PT. Karya Logistik. Namun diketahui perusahaan ini turut bekerja sebagai perantara pembelian senjata." Sambung Ipda Gunawan. Matanya memandang Iptu Ajisaka dengan tajam, seolah menyilakan dia untuk menyambung informasi yang baru ia berikan tadi.
"Perantara pembelian senjata yang meliputi apa saja ?"
"Peralatan berat. Rudal anti pesawat dan tank, air to ground missile, atau ground to air missile seperti Tomahawk. Mereka juga melayani pembelian stasiun peluncur mobile rudal jarak menengah."
Iptu Ajisaka bersiul, "Mereka melakukannya dengan tidak setengah-setengah, ya ?"
"Ya, mereka mendapatkan setidaknya lima persen dari setiap unit yang terjual. Yang menjadi pelanggan adalah negara, artinya jumlah pembelian pastilah massal. Bisa dibayangkan komisi yang mereka raih dari sini."
Iptu Ajisaka memandang Ipda Gunawan dengan pandangan yang aneh, seperti tengah menaksir sebuah lampu antik dari abad 19, "Angka yang menggiurkan siapa saja, eh ? Dan tentu saja mengundang iri hati."
Ipda Gunawan menyeringai, "Pastinya. Mungkin itu juga motif Ridwan untuk ber politik praktis. Di komisi ini, ia menguasai pangkal dari sumber uangnya."
Iptu Ajisaka mengangguk-angguk, "Monopoli terselubung, dan ada pihak-pihak yang tidak menghendaki dia makin merajalela. Pihak yang mampu menyewa seorang profesional untuk menghabisi nyawa seorang Ridwan Suhendra."
Ini sudah seperti film Holywood, pikirnya lagi. Namun sejauh ini teori ini masih masuk akal.
"Dan aktifitas terakhirnya memang mendukung pemikiran ini. Pemerintah akhir-akhir ini sedang getol mencari sumber-sumber lain untuk modernisasi alutsista TNI. Intinya mereka memilih penjual dengan harga miring." Sambung Ipda Gunawan sambil bangkit dari duduknya. Kini ia bersandar pada dinding didekat unit AC. Sepertinya ia sedikit kegerahan.
Iptu Ajisaka termenung, "Apakah disini kepentingan Ridwan terganggu ?"
"Sangat mungkin. Ada dugaan mereka bekerja sama dengan salah satu raksasa manufaktur persenjataan di Amerika sana. Rejeki mereka akan menguap jika negara memilih penjual dari negara lain dengan harga lebih murah."
"Berarti ini bagian Ridwan, memainkan kartunya untuk memastikan alur pembelian tetap bertahan di jalur lama."
Ipda Gunawan mengangguk, "Betul, dan ia akan melakukannya seolah alasannya politis saja. Sehingga orang akan terkecoh dibuatnya. Namun orang-orang yang berkongsi dengan sumber-sumber baru ini tentu saja menyadari perbuatannya."
"Maka ia mesti 'diselesaikan' segera mungkin." Lanjut Iptu Ajisaka sambil memejamkan mata, otaknya sedang melakukan evaluasi terhadap segala teori yang baru saja dibuatnya bersama Ipda Gunawan itu.
"Kalau tidak salah ada ramai-ramai di komisi I akhir-akhir ini, ya ?"
Ipda Gunawan mengangkat bahu, "Ribut-ribut mengenai tender pembelian helikopter tempur. Biasalah, ribut-ribut khas DPR."
Iptu Ajisaka memandang Ipda Gunawan, "Bagian apa yang diributkan dalam tender itu ?"
"Pemerintah menginginkan pembelian dengan pendekatan G to G. Tapi ditolak keras oleh Ridwan dan kubunya, alasannya cara lama telah memberikan barang yang bagus dan terbukti transparan. Untuk apa dirubah lagi ? Kau tahu sendirilah alasan sebenarnya." Jawab Ipda Gunawan sambil menyeringai lagi.
Duit, lagi-lagi duit. Ironis sekali. Pikiran Iptu Ajisaka mendesiskan jawaban. Sebetulnya opsi pendekatan G to G lebih baik dan lebih murah sehingga biaya yang dikeluarkan dapat ditekan.
"Siapa pendukung Ridwan yang paling serius disini ?"
"Sebagian besar partai di parlemen utamanya di komisi I mendukungnya. Kalau tidak salah dukungan ini diperoleh setelah seorang kader senior bernama Bambang Jatmika melakukan lobi-lobi di luar lingkaran komisi. Belum ada bukti nyata tapi sudah jadi rahasia umum."
"Bambang Jatmika, salah satu wakil ketua komisi ?"
"Ya."
Ada sebuah gambaran terbayang dalam benak Iptu Ajisaka. Alasan pembunuhan sepertinya telah dapat ia ketahui, meski masihlah samar. Motifnya sangat mungkin adalah rebutan rejeki dalam pembelian alutsista. Sebuah motif yang amat rendah karena lagi-lagi cuma soal uang, meski uang yang beredar mencapai puluhan milyar rupiah.
"Oke, kalau begitu kita mesti mengorek keterangan dari Bambang Jatmika untuk mendapatkan info mengenai aktifitas mereka di komisi. Mungkin dari sini akan muncul satu-dua nama yang berpotensi menjadi dalang dari pembunuhan ini."
Ipda Gunawan mengangguk paham, "Bagaimana dengan pelaku pembunuhan ?"
"Aku semakin yakin kita berhadapan dengan seorang profesional. Cara dia membunuh, tidak seperti amatiran. Kau tahu kan bagaimana dia menyamar menjadi penjaga warung tadi ?"
Ipda Gunawan mengangguk lagi, dia membius penjaga warung yang asli kemudian berlagak menjadi penjaga warung sambil membawakan kopi.
"Kasihan mamang warung yang asli. Dia betul-betul tidak tahu apa-apa sampai berani sumpah pocong segala." sambungnya sambil tertawa kecil.
"Itulah, berarti ia pintar dalam penyamaran, karena penjaga rumah saja sampai tidak bisa menyadari kalau ia penjaga warung palsu. Dan Ini menunjukan kalau lawan kita bukan orang sembarangan. Sangat mungkin profesi mereka adalah pembunuh bayaran."
Ipda Gunawan mendesah, "Gila, gila ! Makin rumit kerjaan kita ini. Ternyata Negara ini juga sudah dikunjungi pembunuh pro seperti mereka."
"Yah, begitulah. Untungnya aku sepertinya mendapat sedikit info mengenai siapa mereka itu."
Ipda Gunawan memandang Iptu Ajisaka dengan agak kaget, "Kau ada info mengenai ini ?"
Iptu Ajisaka mengangguk, "Tadi aku mendapat telepon dari Komisaris Jendral Harun Ar Rasyid. Kau ingat dia, kan ?"
Ipda Gunawan melengak saat mendengar nama itu "Eh, si jahe tua itu ? Aku baru tahu kau kenal baik dengannya ?"
"Hehehe...itu saat ia masih menjadi dosen mata kuliah psikologi kriminal di PTIK dulu. Kamu juga sempat diajar dia, kan ? Kami saling bertukar nomor telepon. Tadi sekitar jam sebelas ia menelpon, katanya nanti sekitar jam satu akan ada kenalan baiknya yang datang untuk membantu penyelidikan ini."
Wajah Ipda Gunawan berubah keruh, "Seorang sipil ? ditengah penyelidikan Polisi ? Bukan ide yang baik, bro !"
"Aku tahu, aku juga tidak menyukainya. Tapi beliau mempercayai sumber ini. Katanya mereka pernah bekerja sama saat masih menjabat Kapolda Kepri dan hasilnya memuaskan."
"Dan apa fungsi kawan kita ini ?"
"Sebagai informan. Mestinya tidak lama lagi dia akan menelpon untuk mengabarkan kedatangannya."
"Siapa namanya ?" nada Ipda Gunawan terdengar tak acuh.
"Komjen Harun hanya menyebut namanya Agustian." Sahut Iptu Ajisaka pendek.
9
Sudah menjadi tabiat Polisi di negeri ini bahwa mereka sangat-sangat menghindari keikutsertaan orang sipil dalam setiap aktifitas penyidikan mereka. Alasan yang dilontarkan memang masuk akal. Orang sipil tidak memahami SOP penyidikan sehingga mereka, karena ketidak tahuannya, akan merusak TKP dengan meninggalkan sidik jari dimana-mana, merusak bukti-bukti yang sepertinya tidak penting padahal bisa menjadi bukti krusial bagi penyidikan, dan lain-lain. Orang sipil juga memberi tanggung jawab tambahan bagi para Polisi karena mereka harus memikirkan keselamatan orang-orang itu sehingga konsentrasi mereka pada pemecahan kasus menjadi tidak seratus persen.
Iptu Ajisaka pun tidak menyukai saran yang diberikan mantan dosen plus mentornya itu, saat dia menyebut nama seseorang yang turut berjasa dalam menangkap kelompok mafia pembakar lahan ilegal di Kepulauan Riau, kala dia menjabat menjadi Kapolda disana.
"Nanti kau akan tahu sendiri bagaimana aksinya. Pesan saya, jangan tertipu dengan penampilannya." Kata sang Komisaris Jendral
Dan Iptu Ajisaka memang tertipu.
Dihadapannya ada seorang laki-laki yang penampilannya lebih cocok disebut vokalis grup band. Kurus tinggi, rambut dibelah tengah ala Ariel saat masih di Peterpan, dan tentu saja sebuah piercing anting perak yang terdapat dihidungnya. Iptu Ajisaka belum pernah melihat dandanan petugas intel se ekstrim ini, jika pun ada.
Orang itu seperti tidak merasa terintimidasi dengan suasana ruang kantor kepolisian. Dirinya tenang-tenang saja sambil memandang ramah pada dua orang perwira Polisi dihadapannya. Dirinya tahu kalau kehadirannya disambut dengan kecurigaan plus penolakan. Ekspresi Ipda Gunawan yang berdiri agak dibelakang Iptu Ajisaka menyiratkan hal itu. Wajah si Polisi tampak seram memandangnya.
"Agustian ?" Terdengar suara pria yang berdiri didepan si wajah seram yang notabene adalah Iptu Ajisaka.
Orang itu mengangguk dengan wajah dingin. Ia menahan diri untuk tersenyum saat perkenalan pertama dengan Polisi. Mereka benci orang yang cengengesan, kesannya nggak serius.
"Saya Inspektur Satu Ajisaka dan ini rekan saya Inspektur Dua Gunawan. Kamilah yang bertanggung jawab atas kasus ini." Iptu Ajisaka mengulurkan tangan untuk berjabat tangan sementara Ipda Gunawan hanya mengangguk samar. Agustian menyambutnya dengan sikap formal.
"Kami mendapat informasi, bahwa anda, dengan keahlian anda, dapat membantu kami untuk menyelesaikan kasus pembunuhan kali ini." Sambung Iptu Ajisaka sambil menyilahkan dirinya duduk. Kini keduanya duduk, hanya Ipda Gunawan yang berdiri dekat ambang pintu.
Agustian memandang keduanya sejenak sebelum berkata, "Inspektur, terima kasih atas kesediaannya menerima saya dalam penyidikan ini. Sebelum kita melangkah lebih jauh, saya minta maaf sebelumnya jika harus mengatakan hal ini, saya mohon untuk diberi tahu perkembangan kasus ini..."
"Kami tidak berkewajiban untuk memberitahu mengenai hal itu. Justru sekarang, kamilah yang berkepentingan untuk mengetahui kompetensi mitra baru kami dalam penyidikan ini." potong Ipda Gunawan dengan tajam dan dingin. Matanya lekat menatap mata Agustian.
Iptu Ajisaka tidak memberi tanggapan atas reaksi partnernya itu. Dalam hatinya justru ia pun sependapat dengan Ipda Gunawan. Tunjukan siapa dirimu dan apa kau pantas bergabung dengan kami. Jika tidak, walau pun Kapolri sekalipun yang merekomendasikanmu, sori aja.
Agustian tersenyum samar saat mendengar kata-kata Ipda Gunawan. Dia balas memandang Ipda Gunawan dengan tenang, "Apa yang bapak-bapak harapkan dari saya ? Saya mungkin bisa memberi sedikit bantuan untuk lebih melancarkan penyelidikan bapak-bapak. Saya rasa bapak Komjen Harun Ar Rasyid telah menjelaskan mengenai saya dengan sangat baik."
Mata Iptu Ajisaka menyipit memandangi Agustian, "Siapa diri anda sebenarnya ?"
"Seperti yang anda lihat di KTP saya. Nama saya Agustian, umur 37 tahun. Pekerjaan Surveyor Geologi freelance."
"Saya rasa tindik di hidung sudah tidak sesuai dengan usia anda, ya ?" Iptu Ajisaka mengusap ujung hidungnya, mengisyaratkan ketidak nyamanannya dengan tindikan Agustian.
Agustian tersenyum kecil mendengarnya, "Maaf, akan saya lepas pada kunjungan berikutnya."
"Apa keahlian anda yang membuat Komjen Harun sangat menyarankan anda untuk membantu kami ?"
"Ah, saya hanya membantu beliau tempo hari di Dumai, menangkap para pembakar dan pembalak hutan."
Ekspresi kedua polisi dihadapannya tetap dingin. Agustian tahu, mereka tidak percaya pada kata-katanya.
"Saya mampu melakukan penyisiran wilayah, bantuan logistik dalam operasi." Ujarnya pendek.
"Jika hanya itu, anggota kami cukup mampu melakukannya dengan sangat baik." Terdengar suara Ipda Gunawan.
Ah, polisi-polisi sialan ! pikir Agustian. "Bapak-bapak membutuhkan bukti ? Hal itu hanya bisa dibuktikan dalam sebuah kegiatan operasi fisik. Apakah bapak-bapak mengijinkan saya untuk turut serta ke lapangan ?"
Iptu Ajisaka melirik Ipda Gunawan yang menggeleng samar padanya, "Saya pikir sebaiknya anda membantu disini, di kantor komando ini. Untuk penyidikan cukup kami saja yang melakukannya."
Agustian menggelengkan kepalanya mendengar kalimat Iptu Ajisaka tadi. Ditemuinya jalan buntu dari penekanan kata si polisi tadi. Baiklah, itu mau kalian. Aku toh tidak rugi apa-apa jika kalian frustasi menghadapi kasus ini !
"Baiklah jika bapak-bapak tidak menghendaki kehadiran saya dalam penyidikan ini." Dengan gerakan tiba-tiba Agustian bangkit dari sikap duduknya. Secara naluriah kedua polisi itu pun bergerak siaga menanggapi gerakan mendadak Agustian. Iptu Ajisaka langsung bangkit berdiri sementara Ipda Gunawan bergerak cepat mendekati Agustian mendahului Iptu Ajisaka sambil menyergah, "Saudara mau kemana ?!?!"
"Saya mau pulang."
"Saudara tetap disini. Kami akan menanyai anda mengenai keterlibatan anda dalam kasus ini !" Kini Ipda Gunawan berdiri sangat dekat didepannya. Matanya menantang mata Agustian, berusaha mengintimidasi.
"Saya tidak ada kaitan apa-apa dengan kasus ini !" Agustian mulai jengkel dengan ulah polisi-polisi ini.
"Oh ya ? Anda jelaskan saja nanti di sesi interogasi." Desis Ipda Gunawan sambil menyeringai. Aroma nafasnya dapat tercium oleh Agustian. Dirasanya tangan sang Ipda mencekal dan menggenggam tangannya dengan cengkraman besi.
Peristiwa berikutnya terasa begitu cepat untuk kedua perwira Polisi itu.
Dalam sebuah gerakan kilat, Agustian mendorong dada Ipda Gunawan dengan bahunya. Kemudian lututnya dengan cepat menekan perut si Ipda sekaligus mendorongnya. Terdengar dengusan dari Ipda Gunawan. Bersamaan dengan itu jempol Agustian menekan sebuah urat besar tepat dibawah jempol Ipda Gunawan, memberi rasa sakit luar biasa didaerah itu. Secara alamiah genggaman si Ipda agak mengendur dan hal ini dimanfaatkan oleh Agustian untuk membebaskan tangannya sembari bergerak mundur.
Iptu Ajisaka tidak sempat bereaksi atas peristiwa yang terjadi persis didepannya itu. Ketika dirinya berusaha mengambil pistol dari pinggangnya, ia merasakan tubuh Ipda Gunawan menabrak dirinya dengan kuat, membuat kedua kini terjepit ke dinding dengan saling berhimpitan.
Iptu Ajisaka memaki-maki dalam hati. Ia tidak bisa mengambil pistolnya karena terhimpit tubuh Ipda Gunawan.
Bersamaan dengan terlepasnya cengkraman Ipda Gunawan di pergelangan tangannya, Agustian mundur sambil kakinya kini menjejak perut Ipda Gunawan dengan kuat, mendorongnya kearah Iptu Ajisaka yang berusaha mengambil pistol. Kedua polisi itu terhempas ke dinding, kemudian kaki Agustian mendorong meja yang ada untuk menghimpit kedua polisi itu. Kini keduanya benar-benar tidak bisa bergerak. Saling berhimpitan di dinding terjepit meja.
Napas kedua polisi itu terdengar mendengus-dengus, wajah keduanya tampak merah padma, mata mereka melotot kearah Agustian. Keduanya berusaha membebaskan diri dari himpitan masing-masing namun kaki Agustian tetap menahan meja itu untuk terus menjepit keduanya ke dinding.
Pelototan mereka semakin membesar saat terlihat tangan Agustian telah terdapat pistol milik Ipda Gunawan. Pistol itu kini teracung kearah mereka.
"Pistol Pindad P2, pistol semi otomatis, magazin 15 peluru. Pistol produksi Pindad dengan lisensi langsung dari FN Belgia. Pistol yang handal." Terdengar suara Agustian. Wajahnya terlihat kaku. Tangannya tetap mengarahkan pistol kepada dua polisi itu.
Sesaat kemudian jempol Agustian bergerak seperti mengupas jeruk. Menekan tombol pengunci magazin, melepas kunci pengaman pistol dibagian pangkal pistol, kemudian melepas selubung metal pistol yang disertai dengan lepasnya silinder jalur peluru beserta per dan batangan besi pelontar peluru. Semua gerakan itu dilakukan Agustian dalam waktu tidak lebih dari tujuh detik dan hanya menggunakan gerakan jempolnya saja. Pistol itu beserta bagian-bagiannya kini berceceran diatas meja yang digunakan untuk menjepit kedua perwira polisi malang tersebut.
"Jika bapak-bapak tidak percaya pada saya, itu terserah bapak-bapak. Tapi jika bapak-bapak mau menyingkirkan ego sebagai seorang penyidik dan memikirkan perkataan seorang Komisaris Jendral Harun yang bapak-bapak hormati, maka saya jamin bapak-bapak tidak akan rugi."Â Suara Agustian memenuhi ruangan itu. Wajahnya terlihat datar sambil kakinya terus menahan meja.
"Terserah bapak-bapak mau percaya apa tidak, tapi satu hal. Saya tahu siapa pembunuh Ridwan Suhendra, latar belakang mereka, gerakan operasi mereka dan kemungkinan target mereka selanjutnya, karena mereka tidak pernah hanya membunuh satu target dalam operasinya. Sekarang terserah anda berdua !"
Tidak ada jawaban dari kedua polisi itu. Hanya mata keduanya yang menyala menatap Agustian.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H