Mohon tunggu...
Diar Herdyan
Diar Herdyan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang pembelajar seumur hidup, sambil sesekali pesiar berwisata kuliner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gajian

14 Oktober 2014   17:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:04 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berjalan dengan langkah lebar dan cepat. Wajahku membiaskan senyum, bahkan bibirku selalu membentuk senyum sedari pagi.

Hari ini adalah hari terima upah. Gajian. Tak ada alasan untuk bersedih. Khusus hari ini aku tidak mau berdekatan dengan kesedihan, stress apalagi depresi.

Sejak turun dari mobil aku merasa seperti baterai yang di-charge semalaman. Penuh energi, performa maksimum. Bukan tanpa alasan, karena hari ini adalah gajian pertama di pekerjaan baru ku.

Pekerjaan yang sangat diidam-idamkan di negeri ini. Bukan, mungkin di dunia. Jam kerja sangat fleksibel. Kadang bisa begadang dikantor, tapi sering juga cuma 2 jam seminggu dan bisa bekerja dari rumah.

Siapa yang tidak suka ?

Di lobby kantor yang berwarna kelabu aku melewati front desk. Resepsionisnya seorang gadis belia manis yang selalu rajin menyapa.

"Selamat pagi, Pak. Wah, semangat betul hari ini."

"Pagi..pagi. Iya dong, kita harus semangat tiap hari. Biar lebih produktif !"

Ah, masa iya dia tidak ngeh kalau hari ini gajian ? Atau pura-pura tidak sadar ? Kadang komunikasi bisa dibangun lewat kepolosan yang dibuat-buat.

Senyum resepsionis manis itu masih terulas, "Soalnya bapaklah yang pertama datang dikantor ini dibanding yang lain."

Eh, masa iya ?

Langkahku jadi agak surut. Aku pandangi sekelilingku. Hanya ada dinding marmer kelabu tua dengan sedikit kesibukan di kedai kopi dan front office sebuah bank. Tidak nampak orang-orang berdasi dan mengenakan blazer atau mengenakan batik sutera.

Benar kata si resepsionis. Hari ini terlalu sepi untuk sebuah hari dimana orang-orang gajian.

Kutengok arlojiku. Sudah cukup siang. Mestinya suasana gedung ini sudah mulai semarak. Jam-jam segini biasanya Pak Sugiyono akan datang dengan busana batik solo kegemarannya. Kemudian disusul oleh bung Raymond, si bos dari Manado, yang lincah melompat keluar dari Lamborghini warna merah darahnya. Atau ibu Sisca yang dengan anggun keluar dari Velfire-nya.

"Orang-orang masih pada ngantuk kali, semalam kan kita lembur."

"Wah, meeting penting ya pak sampe malam-malam begitu ?"

Ah, kepo juga dia.

"Penting banget, Saking pentingnya aku ga boleh cerita hasilnya ke siapa-siapa,"

Gadis resepsionis itu tidak mengejar lagi. Ia sadar bahwa telah berhadapan dengan tanda "verboden" dari kata-kataku tadi. Padahal aku juga tidak tahu hasil meeting itu, wong aku tidak ikut. Cuma satu yang kudasari, setiap meeting yang terjadi di kantor ku pastilah memiliki tingkat urgensi yang tinggi. Meskipun topiknya tidak pernah aku ketahui.

Di lorong lift aku juga tidak mendapati satu orang pun yang ikut antri menunggu. Ah, mungkin benar tebakan asalku tadi. Para bos sedang jetlag kecil-kecilan setelah dipaksa rapat marathon semalam.

Sendirian dalam lift aku mengenang bagaimana aku bisa mendapatkan pekerjaan ini. Seperti yang aku bilang, ini pekerjaan terasyik namun juga paling kompetitif di dunia. Ribuan orang sangat berhasrat dengan pekerjaan ini, sebab persyaratannya tidak sulit. Cukup minimal lulusan S1, sehat dan berpikiran waras. S2 jadi nilai tambah, minimal di posisi kelak kalo lulus sesi wawancara.

Untuk mendapatkannya dibutuhkan lebih dari sekali sesi wawancara. Dan wawancara itu pun dilakukan oleh para stake holder yang tidak cuma 1 - 2 orang, tapi buanyaaakkk ! Aku sampai lupa wajah-wajah para stake holder itu. Lagipula untuk apa ingat, toh aku jarang ketemu mereka.

Pada saat wawancara itu aku dipersilakan menjabarkan pengalaman serta program yang akan aku terapkan kelak. Tentu saja penjabaran itu tidak hanya secara lisan. Supaya terlihat modern aku tampilkan bantuan visual seperti foto, slide berisi garis besar programku dan tentu saja sedikit biografi.

Para stake holder itu tidak semua fokus. Mungkin cuma 5 persen yang fokus. Selebihnya asyik main hape, berbisik-bisik, arisan, atau bahkan ngorok di kursi. Tapi entah mengapa mereka menerimaku bekerja di perusahaan mereka. Bahkan yang tadi kulihat ngorok di kursi paling antusias menyalamiku.

Sejak awal, aku rasakan betapa nikmatnya pekerjaan ini. Job desc-ku mewajibkan aku untuk memberi catatan atau komentar atas segala proses yang terjadi di kantor ini. Komentar ini nanti akan dicatat untuk dijadikan bahan evaluasi kinerja perusahaan. Cuma masalahnya yang punya job desc seperti ini bukan cuma aku, tapi banyak. Jadinya terkadang komentar itu saling bertabrakan, bertolak belakang dan sering bikin bingung karyawan. Apalagi para stake holder yang malang.

Lift terbuka di lantai tujuanku. Kulihat ada Pak Sarbini dari bagian administrasi. Hatiku terhibur. Masih ada orang yang datang di kantor hari ini.

"Selamat pagi, Pak ! Wah, mentang-mentang gajian jadi orang paling pertama yang datang," Sumringah sekali dia.

"Pagi, pak. Yang lain mana ya, kok masih sepi-sepi aja ? Padahal sudah cukup siang."

"Sebentar, pak. Saya lihat dulu daftarnya...." Dirinya tampak membaca sebuah daftar kecil ditangannya.

Daftar apa ?

"Pak Benny sedang turba, Pak Gatot katanya sedang ketemu konstituen, Ibu Rahayu masih umrah, lha Pak Sukoco ini malah belum sembuh dari vertigonya...."

Panjang juga daftar nama yang disebutkan pak Sarbini. Aku sampai heran mendengarnya.

"Lho, banyak banget yang absen. Padahal hari ini kan terima gaji ya pak, mestinya lebih rajin masuk."

Pak Sarbini memandangku sejenak.

"Bapak baru sekarang menjabat, ya ?"

Aku mengangguk.

"Bapak mesti cepat belajar sama mereka yang sudah dua kali. Yang harus diingat adalah tidak perlu sering-sering masuk kerja. Yang penting komentarnya gencar biar terlihat intelek. Kalau meeting lama dan ngantuk juga boleh tidur saat meeting. Paling cuma fotonya aja kecetak dibagian etik. Tapi itu bukan aib kok, pak. Santai aja...."

Pelan-pelan aku cerna kata-kata pak Sarbini. Dan kepalaku pun mengangguk-angguk dengan semangat saat bisa memahaminya.

"Gimana pak, paham kan ? Kalau paham silakan tanda tangan di slip gaji ini biar saya bisa pulang. Saya mau lanjutin tidur saya yang kepotong tadi. Saya memang cuma tunggu orang seperti bapak yang baru sekali menjabat. Tidak perlu ngoyo, kan ? Yang penting semua mengerti."

Lebar kulihat senyum pak Sarbini. Selebar landasan pacu pesawat bandara soetta.

Aku kembali mengangguk-angguk. Sambil menuliskan tanda tanganku diatas slip aku berpikir betapa nikmatnya bekerja di posisi ini. Makanya banyak yang tidak sudi melepasnya.

Ngomong-ngomong sudah pada paham kan apa pekerjaan ku ?

Masih belum ngerti ?

Baiklah, pekerjaan ku saat ini adalah Wakil Rakyat.

Simpel, tho ?

Tamat

Catatan : ada berita bahwa sistem gajian sekarang berubah menjadi transfer otomatis ke rekening para wakil rakyat, karena sistem yang lama berupa tanda tangan slip gaji dikhawatirkan mengganggu kinerja mereka.

YES !!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun