Mohon tunggu...
Diar Herdyan
Diar Herdyan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang pembelajar seumur hidup, sambil sesekali pesiar berwisata kuliner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rapopo Ndasmu...

23 Oktober 2014   16:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:01 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14140302411332052230

Dicinta dan mencintai adalah episode biasa dalam hidup manusia. Terlalu biasa sehingga orang pun sering tidak menyadari bagaimana awal kisah-kisah tersebut terjadi.

Coba kau tanya mereka yang telah lama larut dalam dunia percintaan, biasanya bila ditanya bagaimana awal kisah mereka bertemu mereka akan menjawab “Gimana ya ? Kalo ga salah waktu itu pas ada pameran mobil ya beb ?.....”

Blablabla…

Mereka tidak ingat dengan bagaimana awal cinta merasuk jiwa atau bagaimana dia terlihat cantik menarik dimata. Lupa sudah. Episode awal cinta dan mencintai memang terlalu cepat untuk diingat.

Tapi tidak untuk Arifin, atau yang biasa dipanggil Ripin. Dua puluh dua tahun sudah ia hadir didunia, belum pernah sekalipun episode dicintai ini mampir dalam hidupnya. Mencintai sering, namun selalu bertepuk sebelah tangan. Hingga akhirnya teman-teman menjuluki dirinya dengan sebutan Jones (Jomblo Ngenes).

Jadi bisa dibayangkan bagaimana heboh reaksi Ripin saat  disinyalir ada seorang dara yang menaruh hati pada dirinya. Kabar itu tiba pada suatu pagi saat Ripin bersiap menyeruput kopi di warung kopi dekat tempat kerjanya.

“Yang bener, ndes ? Ojo ngapusi1, lho !” Sentak Ripin saat si pembawa berita, kawannya Pujo, menyampaikan berita layaknya penyiar breaking news pukul 8 pagi.

“Suwer tak kewer-kewer, pin ! Aku denger langsung dari orangnya !” Pujo, yang sering dipanggil gondes alias gondrong ndeso, meresponnya berapi-api.

Ripin pun terpana, setengah tidak percaya.

“Hey, ada apa kau ribut-ribut, Jo !” Tagor kawan dari batak yang senasib sepenanggungan tiba-tiba merangsek mendekat.

“Ini gor, saya dapat info. Ternyata ada cewek yang naksir si Ripin ini !”

“Wah, berita baru ini. Ini baru berita !” Sebat Tagor langsung merapat kearah Ripin dan Pujo.

“Coba kamu ceritakan dengan singkat dan padat, jo ! Bu, tolong kopi susu satu ya !” Masih sempat Tagor memesan kopi susu untuk dirinya. Benar-benar pria multitasking !

“Kamu tahu tiga anak magang yang baru dikantor itu ?”

“Tahu lah ! Tiga cewek imut itu kan ? Lalu yang mana yang naksir bos kita ini ?”

“Nah, ternyata yang namanya Bunga itu diduga kuat naksir Ripin !”

“Weh, sebentar….sebentar….kok kamu bisa-bisanya bilang gitu ? Apa buktinya ?” Sela Ripin setengah tidak percaya setengah sok cool.

“Tadi pas aku baru datang, tahu-tahu dia ngajak ngobrol. Ternyata dia tanya-tanya nomor telpon mu, pin !”

“Ah, yang boneng kau, jo !” Sentak Tagor dengan mata terbelalak. Reaksinya memang lebay.

“Lho, boneng ! Eh, bener, gor !”

“Lalu gimana?” Desak Ripin tidak sabar.

“Ya aku bilang saja, ‘coba aja minta langsung keorangnya. Jinak kok.’ ”

Ndasmu !”

“Eh, dianya malah ketawa-ketiwi salting begitu. Itu kan tandanya dia ada rasa padamu, pin.”

Ripin tidak menjawab, namun dirasanya hawa sejuk menyusup dadanya dan menjalar keseluruh badannya. Perlahan terdengarlah alunan musik cinta yang manis memenuhi langit, diikuti hujan bunga warna-warni. Tampak pula beberapa bidadari memainkan harpanya dengan melodi merdu dari surga.

Sayang melodi surgawi itu sirna tergusur oleh suara Tagor yang menggeledek layaknya kenek kopaja jurusan Blok M – Manggarai.

“Mantaaappp bung Ripin ! Agaknya ada titik terang dalam kisah percintaanmu kali ini, heh ?” sedetik kemudian tangan berat Tagor yang seperti batang pohon mangga itu menggebuk punggung Ripin kuat-kuat.

Ripin masih belum berkata apa-apa. Tapi dari binar matanya tampak jelas bahwa ada kegembiraan level 10 sedang melanda kalbunya.

Katresnan, akhire kowe teko dina iki2… lirih hati Ripin berbisik.

“Eh, tapi apa betul bunga itu nama cewek itu yang sebenarnya, jo ?”

“Hah, maksud kamu, gor ?”

“Iya, kan sering di Koran itu ditulis, Bunga – bukan nama sebenarnya”

“Oalah, gooor. Kamu tuh keseringan baca Lampu Merah !”

*****

“Maaf, mas Arifin ?”

Suara halus itu mengalun masuk telinga Ripin. Merdunya seperti suara Nawang Wulan kepada Joko Tarub.

“Eh, iya ?” Ripin pun menjawab setelah berhasil menata dentuman detak jantungnya.

“Kenapa, Bunga ?”

Dihadapan Ripin berdiri seorang gadis berwajah cetar membahana dengan rambut poninya yang lurus sebahu. Si gadis tampak agak ragu-ragu sedikit sebelum akhirnya berkata, “Bisa tolong ajarin cara fotokopi di mesin yang baru ? Dulu mas pernah pakai itu, kan ?”

“Ooohhh…iya. Boleh, dong. Ayo !”

Masa-masa mengajari Bunga memakai mesin fotokopi mungkin adalah masa-masa terindah sepanjang hidup Ripin. Suara halus Bunga dan tawanya mengalun manja di telinganya. Mata bundar Bunga yang bergerak lincah, serta wajah imutnya yang terkadang tersipu jika beradu tatap dengan Ripin yang terkadang mencuri pandang. Semuanya terbingkai dalam sebuah memori yang baru saja tercipta dalam benak Ripin.

“Mmm…sori, Bunga ?”

“Eh, iya. Kenapa mas ?

“Mmmm…boleh minta nomor telpon kamu ?”

“Boleh aja. Buat apa, mas ?” Terlihat semburat merah jambu samar di pipi Bunga.

“Yaaa…siapa tahu kamu masih mau tanya-tanya soal fotokopi. Kan aku bisa kasih tahu lewat bbm.”

Bunga terkikik mendengarnya.

Mata Ripin berbinar cerah memandang nomor telepon Bunga yang telah tersimpan. Dadanya meluap, menabuhkan irama genderang bertalu bagaikan irama perang Sparta versus Persia. Ripin merasa seperti  terbang dan ringan.

Selamat Datang Cinta !

Malam sesudahnya adalah malam membahagiakan bagi Ripin saat tengah berbalas kata via chatting. Tanpa terasa bibirnya selalu menyunggingkan senyum selama chatting itu. Setiap kalimat yang ia ketik selalu dibalas oleh Bunga dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Oalah, jebule jatuh cinta itu memang indah sekali yaa….

Pujo dan Tagor yang secara militan menggodanya tidak dihiraukan. Tagor, yang merasa memiliki bakat menyanyi, sedari tadi menggenjreng gitarnya dengan nada yang semi absurd. Ditambah dengan suaranya maka lagu itu menjadi absurd total.

“Kao begeto sempuurrrrnaahhh…Dimatako kao begeto endaaahhh….” Lagu “Sempurna” versi Tagor memporak porandakan setiap nuansa romantis yang susah payah dibangun oleh Ripin, membuatnya terbanting kembali ke bumi.

“Woey ! Berisik tahu !”

Malangnya Tagor selalu fokus pada saat bernyanyi, sehingga setiap usaha Ripin menyuruh dia diam gagal total. Tagor tetap bernyanyi dengan full penjiwaan.

“Karena separuh akoooohhh…..Dirrrriiiimmmuuuu….” Tanpa aba-aba tiba-tiba Tagor lantang meneriakan “Separuh aku” milik Noah. Anehnya kunci lagu yang ia mainkan tetap sama seperti lagu sebelumnya.

Ripin cuma bisa memandangi aksi Tagor dengan gemas, apalagi saat dilihatnya Tagor sesekali menyeringai lebar kearahnya.

Mungkin bagi Tagor aksinya seperti seorang pengayuh gondola di Venesia yang kerap menyanyikan lagu romantis bagi pasangan kekasih yang menaiki gondolanya. Sayangnya Tagor menyanyikannya secara hardcore.

Akhirnya Ripin Pasrah. Dibiarkannya Tagor berteriak-teriak sepanjang malam. Selama handphonenya masih terus berdering tanda ada pesan masuk, tidak masalah.

Ajaibnya sepanjang chatting itu suara Tagor seolah tidak terdengar olehnya. Seperti ada sepasang peredam suara ditelinganya yang ampuh menangkal teror suara dari Tagor.

Ah, ternyata benar. Cinta dapat membuat orang lebih kuat.

*****

Senja itu langit ibukota pancarkan cahaya merah jambu dimata Ripin. Dengan sabar ia duduk diatas motor matic-nya sambil matanya terus memancarkan binar cerah.

Setelah beberapa lama berhubungan via gadget, akhirnya hari itu ia berhasil mengajak Bunga untuk makan malam diluar.

Saat jelang jam pulang, ia dengan gagahnya menolak ajakan teman-temannya untuk nongkrong di warung kopi langganan seperti biasa.

“Sori, aku nggak bisa. Ada janji sama Bunga.”

Harga diri Ripin sebagai pria sejati seolah terbang ke langit tujuh saat mengucapkan kalimat itu. Dilihatnya Pujo yang mulutnya sedikit ngowoh, dan Tagor yang, untuk kesekian kalinya, terbelalak matanya saat mendengarnya.

“Weisshh, kencan, pin ?”

“Bah, dapat pula si Bunga itu kau tipu, pin ?”

Ripin hanya mesam-mesem mendengarnya.

Detak jantung Ripin berpacu ketika dilihatnya sesosok gadis berjalan mendekati dirinya. Bunga terlihat cantik sore itu.

Ah, cinta memang membuat orang selalu terlihat cantik dimata kekasihnya. Ripin pun bersyukur bahwa ia tidak jatuh cinta pada Tagor, bisa-bisa nanti Tagor selalu terlihat cantik dimatanya (Ripin pun istighfar).

“Maaf mas, sudah lama yah nunggunya ?” Suara lembut Bunga terdengar halus di telinga Ripin.

“Oh, nggak kok. Jadi, kita jalan sekarang ?”

Bunga tidak langsung menjawab. Terlihat mendung diwajahnya.

“Eh, kenapa ? Ada masalah ?”

Berat terdengar suara Bunga, “Mas Arifin, sebelumnya aku mau minta maaf sama mas, ya…”

Walah, ono opo iki ?3

“Kenapa Bunga ?”

“Kayaknya aku nggak bisa ikut mas, deh !”

“Oohh, ya nggak apa-apa. Lain kali aja kalau begitu.”

Yaahh, gagal deh. Tapi rapopo, besok-besok kan bisa.

“Nggak, mas. Maksud aku bukan begitu.”

“Eh, maksudnya gimana ?”

Bunga tidak menjawab. Matanya justru memandang kejauhan.

“Mas Arifin lihat orang yang lagi duduk diatas motor itu, nggak ?”

“Yang motornya warna hitam itu ? Lihat, kok.”

“Dia itu mantan aku.”

Mak Jleb !

Seperti ada belati yang menikam jantung Ripin dengan telak saat Bunga mengucapkan kata-kata barusan.

“Dia tadi siang telpon aku. Katanya mau ngajak balikan, mas.”

Jleb ! Tikaman yang kedua.

“Mas, maafin aku yah. Tapi sepertinya aku masih sayang sama dia.”

Jleb ! Jleb ! Jleb !

Ripin tidak mampu berkata-kata. Matanya menatap kosong kearah speedometer motornya.

“Mas ?”

Tersadar, Ripin pun mengangkat kepalanya. Dengan susah payah ia pun berhasil bersuara, “Ya sudah Kalau begitu…” Parau suaranya terdengar.

“Serius, mas ? Mas nggak marah ?”

Ripin mengangguk sambil tersenyum. Setidaknya usaha untuk tersenyum.

“Duh, mas Arifin emang baik deh. Sekali lagi aku minta maaf ya, mas.”

“Iya, aku rapopo kok.”

“Kalau begitu, aku permisi dulu ya mas !”

Apa lagi yang bisa dilakukan Ripin selain mengangguk ?

Dilihatnya Bunga berjalan menuju kearah sosok tubuh bermotor hitam itu. Dilihatnya bibir Bunga tersenyum saat bicara dengan sosok itu. Ripin tetap memandangi saat Bunga menaiki motor dengan indahnya hingga mereka pergi dan hilang di kejauhan.

Senja memancarkan warna kelabu tua saat Ripin mengendarai motornya dengan perlahan. Sambil berkendara dikenangnya kalimat terakhir antara dirinya dan Bunga,

Serius, mas ? Mas nggak marah ?”

“Iya, aku rapopo kok.”

Rapopo ndasmu…” Lirih suara Ripin terdengar.

Keterangan :

1 : Jangan ngibul !

2 : Cinta, akhirnya kau datang juga hari ini

3 : walah, ada apa nih ?

Sumber Gambar : http://simomot.files.wordpress.com/2014/04/aku-rapopo-feat.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun