Mohon tunggu...
Diar Herdyan
Diar Herdyan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang pembelajar seumur hidup, sambil sesekali pesiar berwisata kuliner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Misi Terakhir Azazil (1)

30 Oktober 2014   19:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:08 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1

Iring-iringan kendaraan itu menerobos padatnya lalu lintas dengan angkuh.  Di bagian depan sebuah motor besar milik kepolisian bergerak zig-zag secara serampangan, memaksa barisan motor-motor harus merepet ditepian jalan dan berhenti disertai keluhan dan umpatan dari pengendaranya.

Dibelakang motor polisi yang bergerak zig-zag sebuah sedan Audi A6 melaju tanpa peduli diikuti oleh pandangan sebal pengendara motor dan mobil. Di negara ini para pejabat adalah raja jalanan. Untuk mereka jalanan adalah sebuah lajur mulus beraspal tanpa hambatan. Dan ditengah kemacetan setelah hujan seperti sekarang, doktrin itu benar-benar telah menjadi sebuah provokasi bagi seseorang untuk melompat dan memukuli mobil itu hingga hancur.

Ridwan Suhendra duduk kelelahan dan menggigil didalam Audi. Udara selepas hujan membuat dirinya merasa kedinginan apalagi ditambah hembusan hawa dingin yang berasal dari AC mobil. Bagi orang Indonesia hawa dingin dari AC adalah perlambang kehidupan borjuis, kaya dan berduit. Ridwan pun termasuk yang berpendapat demikian, makanya dibiarkannya AC itu menyala meski dinginnya telah mengigit tulangnya.

Hari ini berlalu lebih berat dari biasanya. Pertarungan di parlemen nyaris berkembang menjadi aksi baku hantam antar anggota dewan. Ridwan termasuk salah satu yang nyaris melepaskan bogem mentah kerekannya. Di forum itu, sering kali diskusi berkembang menjadi aksi adu tinju yang tidak menarik. Konsekuensi dari semakin mengerucutnya kekuatan menjadi dua kubu.

Toh Ridwan tetap bisa bernapas lega, karena draft dari undang-undang yang didukung olehnya beserta anggota partai dalam koalisinya akhirnya disepakati menjadi sebuah undang-undang. Baginya ini adalah prestasi, sebuah kisah bersejarah dalam karir politiknya yang telah ia rintis bertahun lamanya. Dalam arena politik seperti saat ini, memilih teman yang tepat adalah kunci dari segala kemenangan, dan saat ini Ridwan adalah sang pemenang.

Dibantu dengan bantuan seorang aparat kepolisian yang bekerja sangat baik dalam membuka jalan, ia pun tiba dirumahnya dalam waktu lima belas menit saja. Dalam kondisi yang sama namun tanpa voorrijder seseorang akan membutuhkan empat puluh lima menit untuk menempuh jarak yang sama. Inilah salah satu priviledge yang dimiliki anggota dewan seperti dirinya, dan Ridwan bangga akan hal itu.

Ridwan bergegas memasuki rumah dinasnya yang besar bagaikan istana gading itu. Hawa dingin membuatnya ingin segera menuju kamar mandi untuk berendam air didalam Jacuzzi. Itulah yang ia butuhkan saat ini, kehangatan dan ketenangan.

Setengah jam yang sungguh membuat rileks. Untunglah fasilitas bagi anggota dewan di negeri ini begitu lengkap dan memanjakan. Ridwan tidak bisa membayangkan jika tidak ada Jacuzzi di rumahnya. Bisa-bisa dirinya terpaksa ijin tidak masuk esok hari karena masih pegal-pegal. Dan tentu saja media akan mencemooh dirinya sebagai anggota dewan yang hobinya cuma bolos dan hanya bisa berfoya-foya menghabiskan uang negara.

Ooooh...tidak, dia tidak seperti itu.

Dibalut kimono Ridwan keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang masih sedikit beruap. Penerangan kamarnya terasa sangat gelap karena tidak satupun lampu yang menyala. Hanya cahaya dari lampu mercuri jalan yang menerobos masuk lewat jendela yang tersingkap gordennya.

Aneh, rasanya tadi lampu aku nyalakan...

Ridwan bergerak menuju tombol lampu.

"Selamat malam, bapak Ridwan Suhendra."

Ridwan terlonjak saat sebuah suara menyapanya. Suara itu lirih dan sedikit serak, seperti muncul dari dasar sumur yang dalam. Terlihat olehnya sebuah bayangan siluet tubuh didepan jendela yang tersingkap tadi. Cahaya dari lampu jalan telah sedikit menerangi sosok itu.

Ridwan membeku dalam ketakutan, "siapa kau !??!"

"Hehehe...namaku tidak penting bagi anggota dewan terhormat seperti anda. Lagi pula kunjunganku ini bukan untuk bersilaturahmi." Suara serak itu terdengar lagi, masih terdengar lirih.

"Jangan macam-macam ! Siapa kamu ? Aku panggil pengawal, mampus kamu !" rutuk Ridwan. Harga dirinya sebagai anggota dewan mengalahkan ketakutannya.

"Hmmm...anda benar, bapak Ridwan. Memang bakal ada yang mati disini. Tapi itu bukan aku."

Terdengar tiga letupan lirih dan sekejap Ridwan merasakan sakit luar biasa menyengat dada kirinya.

"Apa yang...." Tidak mampu melanjutkan kata, Ridwan terhuyung rubuh kebelakang. Rasa nyeri luar biasa menyebar keseluruh bagian dadanya. Napasnya sesak. Sesaat kemudian pandangannya menjadi buram.

2

Iptu Ajisaka menyipitkan mata ketika cahaya lampu ruang tamu menerpa matanya. Perpindahan dari tempat yang gelap ke ruangan yang terang benderang membuat matanya mesti beradaptasi. Sambil melangkah masuk diliriknya arloji dilengan kirinya. Waktu menunjukan pukul 22.10.

Sebagai perwira bagian reskrim, dirinya selalu tidak terpengaruh pada semua kejutan ataupun panggilan tugas diwaktu-waktu spesial seperti saat ini. Namun berita yang tadi ia terima nyaris membuat seluruh syarafnya menegang.

Hampir selalu ada kejutan setelah hujan ! rutuknya saat dirinya bergegas mengenakan pakaian beserta lencana kepolisian dan langsung terbang ke mobilnya.

Laporan dari mitranya adalah sebuah kejadian yang langka. Kasus-kasus pembunuhan yang terjadi di ibukota sebagian besar disebabkan oleh desakan ekonomi dan merupakan ekses dari peristiwa yang mendahuluinya, seperti penodongan bersenjata, pencurian sepeda motor bersenjata atau pembobolan rumah. Sebagian lagi terjadi disebabkan adanya perasaan emosional dari pelakunya dan terjadi secara spontan.

Namun dari apa yang ia terima hari ini sebuah kasus pembunuhan yang sangat berbeda dan bersifat khusus. Berbeda karena pembunuhan ini seperti telah direncanakan dengan sangat matang, khusus karena korbannya adalah seorang pejabat negara.

Dalam perjalanan menuju TKP Ajisaka memikirkan kepingan-kepingan awal kejadian yang terjadi berdasarkan informasi yang terbatas dari mitranya tadi.

Pembunuhan seorang pejabat negara pastilah berhubungan dengan tugas dan jabatannya, Ajisaka mengeluh dalam hati.

Pembunuhan dengan latar belakang politik selalu menyulitkan dan ruwet, ditambah lagi kejadian seperti ini sangat diminati oleh pers. Ia sudah bisa membayangkan bagaimana ganasnya para wartawan mengerubunginya, melontarkan segala pertanyaan dengan gencar sambil terus mengikuti kemana langkahnya. Ia berharap bagian informasi dapat mem-filter berita yang baru masuk tadi sehingga penyidikan awal bisa terjadi lebih tenang.

Harapannya tidak terwujud sepenuhnya. Ia tetap mendapati beberapa mobil media terparkir tidak jauh dari TKP. Sial ! telinga wartawan memang ada dimana-mana! Sesuatu yang sebetulnya tidak terlalu mengherankan karena banyak sumber anonim yang bersedia menceritakan segalanya untuk pers.

Disibaknya kerumunan wartawan yang mulai merangsek kearah teras rumah mewah itu. Dua orang bintara yang berusaha menahan langkah para wartawan cepat ia lewati. Dilihatnya beberapa orang dari forensik sedang memeriksa ruangan dalam. Seorang dari mereka yang mengenalinya langsung menyapanya,

"Ipda Gunawan sudah ada di dalam."

Ajisaka berjalan setengah berlari menuju kamar utama. begitu melewati ambang pintu ditemuinya pemandangan yang selalu tersaji disetiap TKP. Sesosok tubuh tampak tergeletak dilantai, tidak jauh dari pintu kamar mandi. Kimononya tampak tersingkap dibeberapa bagian. Seseorang memakai jaket kulit hitam tampak dikamar tersebut sedang mencatat sesuatu.

Ipda Gunawan menoleh saat dilihatnya Ajisaka memasuki kamar. Ia segera menghampiri penyidik senior itu.

"Informasi terakhir ?" Tanya Ajisaka begitu Gunawan mendekat.

"Terkonfirmasi. Korban adalah Ridwan Suhendra ketua Komisi I DPR-RI. Korban tewas setelah terkena tiga tembakan di bagian dada. Dua diantaranya tepat mengenai jantung. Korban diperkirakan telah meninggal selama satu jam sebelum ditemukan."

"Siapa yang menemukan ?"

"Pembantu yang hendak mengambil handuk dikamar mandi. Saat masuk ia langsung melihat korban seperti saat ini. Ia juga melihat jendela yang tersingkap gordennya."

"Laporan forensik TKP ?"

Gunawan mengangkat bahu, "Belum banyak yang bisa diperoleh. Tidak ada jejak kaki. Pelaku diduga memasuki rumah melalui jendela itu." Gunawan menunjuk ke arah jendela yang terletak dihadapan Ajisaka, "Hal itu diperkuat dengan ditemukan sebuah lubang kecil dekat pengait jendela. Sepertinya ia melubangi jendela untuk membuka kuncinya."

Ajisaka bergerak menuju jendela yang dimaksud, kemudian melihat bagian dekat kuncinya. Sebuah lubang berbentuk bulat sempurna berdiameter lima belas senti jelas terlihat. Ia menoleh kearah mayat. sekitar empat meter, pikirnya.

Diperhatikannya lantai disekitar jendela. Sambil menyalakan senter kecil ia menyisir sisi lantai bagian dalam, berharap menemukan jejak kaki atau sekedar bungkilan tanah, namun saat itu tidak ada yang dapat ia temukan.

"Sidik Jari sedang dianalisa oleh bagian forensik, tapi terus terang saja aku agak pesimis atas hasilnya." Terdengar suara Ipda Gunawan.

"Mengapa ?"

"Pelaku sepertinya orang yang terampil. Dari caranya masuk kerumah tanpa terdeteksi siapa pun, caranya memasuki kamar dengan melubangi jendela menunjukan bahwa dia bukan amatiran."

Ajisaka memandang Gunawan dengan tajam, "Terampil, maksudmu profesional ? Seorang yang terbiasa menggunakan pistol dan membunuh ?"

Gunawan mengangguk, “Dan seorang perencana. Daftarnya akan panjang. Akan ada mantan tentara, mantan polisi atau bisa jadi pembunuh profesional.”

Ajisaka mendengus kesal sambil menoleh kearah hiruk pikuk rombongan wartawan di teras, "Anggota DPR, pelakunya pandai menggunakan senjata. Betul-betul hidangan yang menarik untuk mereka."

Ajisaka kembali mendekati tubuh Ridwan Suhendra. Beberapa orang paramedik telah hadir dengan tandu. Mereka hendak mengangkat tubuh itu untuk dipindahkan ke ambulance.

"Mana keluarganya ?"

"Sang istri tampaknya sedang ada kegiatan di Jawa Timur. Anaknya cuma seorang, sedang kuliah di Australia."

"Mereka sudah diberitahu ?"

"Belum."

Ajisaka memandang kearah langit-langit. Wajahnya menunjukan bahwa dirinya sedang berpikir keras. Ipda Gunawan yang telah hapal dengan gaya mitra seniornya itu hanya diam saja, menanti kata-kata pertama dari Ajisaka.

"Aku menginginkan informasi yang terbatas untuk pers. Berikan seperlunya untuk mereka. Tidak perlu sebut-sebut soal pembunuh bayaran atau jendela yang berlubang. Saksi peristiwa mesti diberitahu untuk tidak bicara banyak kepada mereka."

Ipda Gunawan mengangguk, "Siap !"

Ajisaka memandangi tubuh Ridwan Suhendra yang kini telah ditutupi kain dan telah berada dalam tandu. Sambil begitu ia melanjutkan kata-katanya, "Beritahu pusat penerangan untuk bisa menyaring informasi yang berhubungan dengan spekulasi politik. Mudah-mudahan mereka bisa meredam segala rumor yang berhubungan dengan kegiatan politik korban."

"Siap !"

Ajisaka kembali memandangi kamar itu, memeriksa segala sesuatu yang tampak mencurigakan. Namun ia tidak mendapati hal yang ia inginkan. Segala sesuatunya tampak normal saja kecuali jendela yang berlubang itu.

Pemikiran tentang pembunuh profesional sangat mengganggu pikirannya. Terus terang ia takut untuk memikirkan kemungkinan yang satu itu. Tapi fakta yang ada dalam kamar justru mendukung hipotesa tersebut. Ia masih berharap bahwa segala sesuatunya akan berubah setelah hasil forensik keluar. Pembunuh bayaran yang bergentayangan di Jakarta, entah peristiwa apa lagi yang akan mengikutinya.

Ajisaka merasa gelisah.

(Bersambung)

Sumber gambar : http://data.tribunnews.com/foto/bank/images/20131225_074403_ilustrasi-mati-lampu-blackout.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun