Mohon tunggu...
Diar Herdyan
Diar Herdyan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang pembelajar seumur hidup, sambil sesekali pesiar berwisata kuliner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misi Terakhir Azazil (8)

4 Desember 2014   20:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:03 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14176728181330470352

Cerita Sebelumnya : Misi Terakhir Azazil (7)

15

“Aku sudah tahu apa yang terjadi. Tenang aja, aku bukan mau marahin kalian. Kalian kan bukan anak buah ku lagi.” Komjen Harun membuka kata. Wajah-wajah tegang Iptu Ajisaka dan Ipda Gunawan otomatis terpasang kala ia masuk diruangan itu. Ada perasaan bersalah karena telah menyia-nyiakan rekomendasi sang jendral.

“Maaf Jendral, kami terpaksa melakukan hal ini karena….” Iptu Ajisaka terdiam ketika Komjen Harun mengibaskan tangannya, “Aku tidak tanya apa yang kalian lakukan pada Agustian. Aku juga yang salah, mestinya aku menemani dia datang menemui kalian.”

Komjen Harun duduk di kursi sambil menghela napas sesaat, kemudian diam sesaat seolah menikmati empuknya kursi yang ia duduki itu. “Sudah terlalu lama rasanya aku duduk manis di Trunojoyo. Kangen juga masa-masa dilapangan dulu,” Ujar sang Komjen seperti bicara pada diri sendiri, sementara kedua penyidik Kepolisian itu masih berdiri mematung didepannya. Hening untuk beberapa saat.

“Kalian berdua, duduk.” Terdengar suara Komjen Harun. Pendek dan tegas layaknya perintah. Kedua orang itu patuh, segera ambil posisi duduk dalam diamnya.

“Apa yang kalian lakukan, adalah normal. Seorang tak dikenal, sipil, tahu-tahu dikenalkan oleh seorang Jendral bintang tiga sepuh macam aku ini. Apa sih hebatnya orang ini ? Sejago apa sih dia ? Memangnya kita sendiri nggak mampu, apa ? Normal….sangat normal…” Komjen Harun berbicara dengan santai tapi matanya menelusuri sudut wajah Iptu Ajisaka dan Ipda Gunawan silih berganti, bagaikan sebuah pemindai yang memeriksa sudut psikologis kedua Polisi muda tersebut.

“Aku bertemu dia waktu di Kepulauan Riau. Kebakaran hutan, perambahan hutan illegal, perang melawan bandar narkoba, itu yang mesti aku hadapi dulu. Semuanya ruwet, memusingkan. Tapi yang paling berat adalah yang terakhir, perang dengan para bandar.” Nada suara sang Komjen memberat dibagian akhir.

“Banyak anggota yang disuap, jadi beking mereka. Banyak operasi rahasia kita yang bocor ditengah jalan. Lawan dan kawan sulit dibedakan. Aku butuh seseorang yang asing, tidak dikenal lawan tapi tangguh dan seorang patriot. Tapi siapa ? Bandar-bandar itu kenal wajah para Polisi.” Tidak ada sedikit pun interupsi dari kedua Polisi muda itu. Keduanya diam menyimak kisah sekaligus “ceramah” Jendral Polisi berbintang tiga itu.

“Kemudian datanglah dia, si Agustian itu…” Komjen Harun menudingkan tangannya kearah tembok tempat Agustian sedang duduk diruangan sebelah. “Berantakan, gondrong, tindikan dihidung. Aku pikir tadinya dia pecandu yang coba-coba cari tambahan uang buat beli narkoba.” Iptu Ajisaka tersenyum sekilas mendengarnya, jadi dirinya tidak salah jika tidak menyukai tampilan Agustian barusan.

“Dia muncul membawa info tentang sebuah aksi penyelundupan setengah ton sabu lewat laut, tidak jauh dari Nongsa. Aku pikir ‘orang gila darimana yang mau selundupkan narkoba segitu banyak lewat tempat wisata ?’ Aku tidak percaya. Aku tinggalkan dia meski dirinya berkeras atas kebenaran infonya, seperti kalian tadi. Esok paginya ada kehebohan di markas. Di lapangan apel tergeletak Klampis, seorang bandar terkenal. Di pahanya ada luka tembak, karung-karung berisi sabu bergeletakan disekitarnya. Di leher Klampis tergantung karton dengan tulisan ‘dari Agustian’”

Komjen Harun menghentikan ceritanya sesaat. Dua perwira pertama Polisi itu masih diam menyimak ceritanya. Tapi sempat terlihat kesan sedikit takjub dari Iptu Ajisaka mendengar bagian itu.

“Sejak saat itu aku percaya dia. Sejak saat itu juga bandar-bandar cecunguk itu satu-persatu kita ciduk. Mulai dari yang kelas teri sampai kakap. Aku bolak-balik bertanya apakah ia eks tentara karena kemampuan dirinya itu seperti seorang tentara berklasifikasi komando. Tapi dia tidak pernah mau cerita mengenai masa lalunya.” Komjen Harun menghela napas sesaat.

Pintu terbuka, seorang bapak-bapak masuk sambil membawa tiga cangkir kopi yang asapnya mengepul-ngepul menggugah selera untuk mencecapnya.

“Subuh tadi aku dengar berita penembakan Ridwan Suhendra. Caranya terbunuh, mengingatkan aku pada bagaimana aksi Agustian itu, walau dulu ia tidak pernah sampai membunuh orang. Tiba-tiba telponku bunyi, ternyata dia. Dia minta dikenalkan dengan penyidik kasus ini karena katanya ada kaitannya dengan masa lalu dirinya. Lalu kutelponlah kalian.” Komjen Harun mengakhiri ceritanya sambil menyeruput kopi dihadapannya.

Iptu Ajisaka dan Ipda Gunawan saling berpandangan. Tampaknya dititik ini, tidak ada gunanya untuk tidak mempercayai Agustian. Bahkan seorang Jendral senior seperti Komjen Harun ini pun bersedia menemui mereka untuk meyakinkan mereka tentang kapabilitas seorang Agustian itu.

“Kalau kalian mau mendengar permintaan seorang Jendral tua yang sebentar lagi pensiun ini, maka aku akan sangat berterima kasih. Aku minta kalian melibatkan Agustian dalam penyidikan kali ini. Kasus ini bukan kasus kacangan. Aku yakin ada motif politik didalamnya, dan politik dinegara kita ini selalu melibatkan uang dalam jumlah besar dan tentu saja, seorang yang ‘besar’” Tangan Komjen bergerak seperti tanda kutip saat menyebut kata ‘besar’.

Agustian mengangkat kepala saat didengarnya suara pintu terbuka. Ia menyeringai saat dilihatnya Komjen Harun mengintip dari ambang pintu yang terbuka lebar itu, “Lama amat ?”

“Lho, aku kan mesti beramah tamah dulu dengan para mahasiswaku ini.” Sahut Komjen Harun ringan. Ipta Ajisaka melirik kearah Ipda Gunawan yang kebetulan juga tengah memandangnya. Percakapan Agustian dengan Komjen Harun seperti dua orang teman lama, terdengar akrab dan santai.

“Sudah, aku pergi dulu. Udara dingin seperti ini nggak cocok untuk kulit tua ku.” Komjen Harun berkata sambil pura-pura kedinginan. “Aji dan Gunawan, aku titip mahluk ini. Dan kau….” Tudingnya kearah Agustian, “Jangan aneh-aneh. Jadi anak manis selama bantu mereka. Aku nggak mau harus  selalu bolak-balik Trunojoyo – Komdak Metro karena dengar kau bikin ulah !”

Iptu Ajisaka dan Ipda Gunawan segera ambil sikap sempurna dan berseru lugas, “Siap !” Sementara Agustian tersenyum-senyum mendengar kata-kata sang Komjen.

(Bersambung)

Sumber gambar : http://data.tribunnews.com/foto/bank/images/20131225_074403_ilustrasi-mati-lampu-blackout.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun