Hidup itu berawal dari sebuah perjalanan. Tidak percaya? Bayangkan, jika manusia terdahulu Adam tidak mau melalui proses perjalanan untuk menemukan Hawa, apakah kita akan terlahir di dunia? Berangkat dari keyakinan tersebut, saya kembali melangkahkan kaki keluar dari Pulau Jawa. Kali ini ke ibukota Riau, Pekanbaru. Kota yang terkenal akan kekayaan minyaknya, "Atas Minyak Bawah Minyak." [caption id="attachment_302939" align="aligncenter" width="640" caption="Jembatan Siak, salah satu ikon Pekanbaru (dianyulia)"][/caption] Atas Minyak Bawah Minyak Disebut atas minyak karena luasnya perkebunan kelapa sawit yang ada di kota bertuah ini, luasnya bisa berhektar-hektar. Berikut adalah foto yang saya ambil dari pesawat ketika akan landing. Dominasi warna hijau atas pohon kelapa sawit menyegarkan mata. [caption id="attachment_302940" align="aligncenter" width="640" caption="kebun kelapa sawit dari atas (dianyulia)"]
[/caption] Disebut bawah minyak karena hasil minyak buminya yang berlimpah, bahkan salah satu perusahaan migas asing Chevron pun sampai mendirikan dua kamp di daerah Rumbai dan Duri. Dulu yang terkenal ramai dan menyedot banyak tenaga kerja lokal adalah kamp Chevron di Rumbai sekitar 15 menit dari pusat kota. Namun kini konsentrasi kegiatan kamp mulai dipindah ke Duri. Beruntung saya berhasil memasuki kamp di Rumbai yang didalamnya lengkap sekali. Mulai dari Gelanggang Olah Raga, tempat hiburan seperti bowling, bilyard, karaoke, bioskop (dulunya ada), lapangan tennis, kolam renang, sekolah mulai dari TK sampai dengan SMA, tempat ibadah, sekolah negeri sebagai sarana CSR Chevron pun dibuat. [caption id="attachment_302941" align="aligncenter" width="640" caption="Pintu masuk kamp (dianyulia)"]
[/caption] [caption id="attachment_302942" align="aligncenter" width="640" caption="Pompa penyedot minyak bumi (dianyulia)"]
[/caption]
Kental Budaya Melayu Sebagian besar orang berpendapat, tidak ada yang spesial dari Pekanbaru untuk dijelajahi. Siapa bilang? Justru disini, saya menemukan banyak kearifan lokal yang layak diceritakan.
a) Fashion Baju kurung lengkap dengan jilbab tertutup model sederhana mendominasi gaya berpakaian wanita dewasa disana. Sebagian besar penduduk Pekanbaru memang suku Melayu yang beragama Islam. Sehingga jika datang kesini dengan bercelana pendek dan kaos oblong, penduduk sekitar pasti tahu Anda adalah turis lokal atau pendatang dan seluruh mata akan langsung tertuju kepada Anda. (^_^) Bahkan ketika saya pergi ke pasar bawah pun, pemandangan orang berbusana baju kurung adalah hal yang lumrah. Saya membatin,
emang enggak gerah ya? Padahal suhu di pasar bawah itu panas lho, padat dan sirkulasi udaranya kurang. Ya, mungkin karena mereka sudah biasa.
b) Atap Salembayung Unik bisa dikatakan, memandang hampir semua bangunan besar menggunakan atap khas Melayu. Ketika saya tanyakan pada kerabat yang asli sana, memang hal itu wajib bagi pendiri bangunan untuk membuat atap dengan ciri kayu mencuat yang bersilangan diatasnya. Salembayung sendiri mencirikan apa saya kurang tahu. Salembayung ini bahkan ada di atap Rumah Sakit swasta terkenal, kantor Dinas Pelayanan Publik, mall, gapura pinggir jalan, jembatan penyebrangan, bandara, dan bangunan-bangunan lain. [caption id="attachment_302943" align="aligncenter" width="640" caption="Salembayung di Mall (dianyulia)"]
[/caption] [caption id="attachment_302944" align="aligncenter" width="640" caption="Salembayung di Jembatan Penyebrangan (dianyulia)"]
[/caption] [caption id="attachment_302946" align="aligncenter" width="640" caption="Salah satu bangunan di kamp Chevron (dianyulia)"]
[/caption] [caption id="attachment_302947" align="aligncenter" width="480" caption="Salembayung mendominasi gaya gapura di gang-gang (dianyulia)"]
[/caption] Di tulisan Bandara Sultan Syarif Kassim di belakang kami pun ada ciri Salembayung disana. [caption id="attachment_302948" align="aligncenter" width="640" caption="Salembayung pun ada di Bandara (dianyulia)"]
[/caption]
c) Ukiran dimana-mana Disini bisa dibilang saya belajar mengenal budaya Melayu, selain dari gaya busana, atap, saya juga melihat ukiran khas di pinggir jembatan, gapura masuk Bandara dan beberapa tempat publik lainnya. Saat kota-kota lain sibuk memodernisasi supaya kotanya terlihat maju, Pekanbaru justru tidak lupa pada identitas aslinya bahwa mereka Melayu. Dan budaya itulah yang harus dilestarikan ke anak cucu. [caption id="attachment_302949" align="aligncenter" width="640" caption="Ukiran khas Melayu di pembatas jembatan (dianyulia)"]
[/caption] [caption id="attachment_302950" align="aligncenter" width="640" caption="pintu masuk bandara (dianyulia)"]
[/caption]
d) Lagu Khas Melayu Saat penduduk lokal mendengarkan
house musik arransmen nada-nada khas Melayunya pun tetap terdengar. Saya tersenyum kala melihat anak muda-mudi berjoged dengan lagu top 10 luar negeri yang di mix dengan nuansa Melayu. Tidak norak, malah terdengar unik.
e) Bahasa Melayu Lucu dan geli, kala melihat pengumuman di toilet Bandara ini. Bahasa yang digunakan mirip film upin-ipin. Hehe..
Kuliner Nah yang satu ini tidak boleh dilewatkan, agenda wajib tiap saya keluar kota adalah kuliner. Penasaran dengan sajian kuliner khas Pekanbaru. Selain Nasi Padang yang menjamur dimana-mana dan hampir setiap hari menjadi santapan saya selama 6 hari disini, saya juga mencicipi Sate Padang di Pekanbaru yang katanya beda dengan di Jakarta.
Sate padang ini, kuahnya banyak. Sate daging sapi, kerupuk ubi yang mirip opak, sebesar piring dan bisa buat kipas-kipas kalau kegerahan. Dimakan bersama dengan lontong dan air
aka. Air
aka (minang: akar), cincau hijau dengan santan, ada juga ya pakai asam. Air
aka dicampur gula aren, rasanya khas tidak terlalu manis tapi ada rasa khas tersendiri di lidah. Susah diungkapkan enaknya langsung diminum dingin-dingin seusai berbuka puasa. Saya sampai niat membungkus untuk dibawa pulang ke Jakarta, sayangnya kata penjualnya bisa basi percuma. Lontong sayur disini khas, dengan wortel dan kuah kental yang rempahnya jauh lebih nendang.
Pusat Oleh-oleh Pasar bawah adalah pusat oleh-oleh terbesar di Pekanbaru. Isinya didominasi oleh kain-kain, kebutuhan pangan seperti oleh-oleh khas kurang lebih sama dengan Padang seperti keripik balado atau rendang suwir. Ada juga pernak-pernik jilbab yang cantik, terbuat dari permata buatan dengan warna-warna cerah, bros-bros berbentuk burung, bunga. Bahannya juga ada dari batu alam. Untuk bros ukuran sedang Anda bisa merogoh kocek Rp25.000/ 2 pcs, kecil Rp5.000/pcs, untuk yang agak besar Rp50.000/3 pcs. Kain khas buatan lokal dengan corak benang emas khas Melayu dibandrol mulai kisaran harga Rp90.000 - 180.000 sudah disiapkan untuk atasan dan bawahan, masing-masing ukuran 1,5 meter. Beberapa kain pun didatangkan langsung dari Malaysia dan ternyata peminatnya pun banyak disini. Jajanan pun banyak yang didatangkan dari negeri sebelah. Kalau saya sih lebih suka kripik dan balado dengan bumbu lokalnya. Pasar bawah adalah surga belanja wanita untuk mencari oleh-oleh disini. [caption id="attachment_302954" align="aligncenter" width="640" caption="Pasar bawah, surga belanja oleh-oleh (dianyulia)"]
[/caption] Saran saya, kalau mau ke pasar bawah, ajaklah penduduk lokal dengan logat khas Melayu atau bisa bahasa lokal seperti bahasa Minang yang banyak dipakai dalam keseharian. Jaga-jaga kalau harus menawar, karena saya sudah praktekkan dan logat Melayu saya amburadul berimbas kepada "Gimana Mbak? Mbaknya orang Jawa ya?" Haiyaaa, tetep ketauan. Selain pasar bawah Pekanbaru juga khas akan kerajinan rotannya. Foto yang saya ambil kurang maksimal karena dari dalam mobil yang melaju.
Sudut dan sisi lain kota Ini hasil snap shoot saya. Iseng-iseng malam-malam ke lantai 11 dari Hotel tempat saya menginap. Agak kedinginan karena angin dan separuh gemetar karena ketinggian. Tapi demi foto bagus tak apalah. [caption id="attachment_302955" align="aligncenter" width="640" caption="Kota Pekanbaru malam hari (dianyulia)"]
[/caption] [caption id="attachment_302956" align="aligncenter" width="640" caption="Kota Pekanbaru siang hari (dianyulia)"]
[/caption] [caption id="attachment_302957" align="aligncenter" width="640" caption="View dari lantai 11 Swiss Bell Hotel, Pekanbaru (dianyulia)"]
[/caption] [caption id="attachment_302958" align="aligncenter" width="640" caption="Ada asap disana, entah lahan yang dibakar atau sekedar sampah (dianyulia)"]
[/caption] Saya juga sempat ke Masjid Agung sebelum pulang. Masjid ini ada di pusat kota Pekanbaru, ramai dikunjungi. Sayangnya tidak sempat masuk ke dalam karena harus mengejar pesawat. Tapi saya masih bisa mengabadikan momen menyambut keluarganya pulang dari tanah suci. Kebetulan habis Hari Lebaran Haji. Para keluarga ramai-ramai berhamburan ke arah bus yang baru datang.
Langit Pekanbaru saat saya datangi terlihat mendung, sebagian karena asap sisa pembakaran hutan beberapa waktu lalu, dan sisanya karena awan mendung yang memang menyebabkan hujan deras beberapa malam terakhir. Menghalangi saya untuk hunting foto di malam hari karena petirnya agak sedikit mengerikan.
Saya sempat naik Trans Pekanbaru disini, mirip di Jakarta, namun tempat menunggunya yang berbeda hanya halte biasa dengan tambahan tangga di depan. Busnya pun lebih kecil.
Dan dalam setiap perjalanan selalu ada babak berakhirnya, ibarat buku ada chapter dalam setiap bahasannya. Perjalanan saya di Pekanbaru memang tak lama, belum sempat menyusuri banyak tempat juga. Namun cukup mewakilkan bahwa Budaya Melayu amat sangat terasa disana. Bukti bahwa Indonesia memang kaya Budaya. [caption id="attachment_302968" align="aligncenter" width="640" caption="Sungai Siak dari atas (dianyulia)"]
[/caption]
*
(Semua sumber dokumentasi adalah milik pribadi)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Lihat Travel Story Selengkapnya