Mohon tunggu...
Diany Khaeria Rahmi
Diany Khaeria Rahmi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Pascasarjana Magister Kriminologi FISIP UI

learning, investigating, researching, analyzing, and handling special needs for humanity in terms of security and safety

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Radikalisasi di Ujung Jari

26 Maret 2024   13:58 Diperbarui: 26 Maret 2024   15:18 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.freepik.com

Peperangan asimetris melalui jejaring (terutama internet), sesungguhnya merupakan komunikasi asimetris karena bobot utamanya ada pada media baru yang sangat efisien (bahkan efektif dalam kasus terorisme) dalam penyebarluasan (diseminasi) pesan berupa rumors, hoax, bahkan kebohongan dan fitnah yang dianggap sebagai kelemahan perintah. Dengan demikian, komunikasi asimetris adalah komunikasi peperangan yang dilakukan oleh sempalan atau kelompok atau oganisasi tertentu terhadap negara atau Pemerintah) dengan menggunakan media jejaring terutama internet dengan bahan baku sasus, rumors, hoax, bahkan kebohongan dan fitnah (Thornton, 2007: 1-2).

Berdasarkan teori aktivitas rutin Cohen dan Felson (1979) berhubungan dengan fenomena kejahatan siber, khususnya cyberterrorism yang secara aktif menyoroti peran peluang dengan fokus nyata pada bagaimana peluang kriminal 'kontak langsung' (yaitu hanya antara pelaku dan korban) muncul. Sederhananya, Cohen dan Felson berpendapat bahwa peluang muncul ketika ada konvergensi dalam ruang dan waktu (1) pelaku yang termotivasi, (2) target yang sesuai, dan (3) kurangnya perwalian yang cakap. Target bisa orang atau properti, dan target yang lebih cocok adalah yang memiliki nilai bagi pelaku, dapat berpindah, terlihat, dan dapat diakses (Felson 1998).

Meskipun beberapa ahli telah mengkritik penerapan teori aktivitas rutin ke dunia maya (misalnya, Yar 2005), yang lain berpendapat bahwa internet tergolong kondusif untuk digunakan sebagai medium konvergensi yang memotivasi pelanggar dan pemenuhan kriteria target yang sesuai tanpa adanya perwalian yang mampu (misalnya, Grabosky dan Smith 2001; Holt dan Bossler 2013). 

Yar (2005) mencatat bahwa target yang cocok adalah yang memiliki nilai, kurang tahan terhadap serangan (inersia), terlihat dan dapat diakses, tetapi nilai dan inersia tersebut sulit diterjemahkan di dunia maya. Keterampilan komputer, yang telah digunakan sebagai proxy untuk perwalian pribadi, umumnya juga ditemukan tidak terkait dengan viktimisasi pelecehan (misalnya, Holt dan Bossler 2008); namun, memiliki lebih banyak keterampilan komputer merupakan prediktor signifikan dari ukuran umum kejahatan dunia maya bagi mereka yang menjadi korban dan pelaku kejahatan dunia maya (Kranenbarg et al. 2017).

Petrus R. Golose pada bukunya yang berjudul “Invasi Terorisme Ke CyberSpace” menyebutkan 9 aktivitas terorisme yang dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi informasi atau internet. 9 aktivitas tersebut adalah propaganda, perekrutan, penyediaan logistik, pelatihan, pembentukan paramiliter secara melawan hukum, perencanaan, pelaksanaan serangan teroris, persembunyian, dan pendanaan (Golose 2015, 35-38).

Berdasarkan hasil olahan penulis berdasarkan data dari Densus 88 AT dari tahun 2017 sampai dengan 2022, beberapa aktivitas yang diorganisir oleh aktivis atau pelaku cyberterrorism diantaranya adalah merekrut melalui propaganda, menggalang dana, merencanakan suatu amaliyah (perbuatan secara nyata yang dianggap ibadah bernilai tinggi oleh teroris), pernikahan sebelum melakukan amaliyah suicide bombing hingga konsolidasi untuk bergerak di lapangan pada pelaksanaan amaliyah.

Cyberterrorism juga mendapatkan dukungan materiil yang mudah didapatkan ketika para pelaku mencari bahan baku untuk merealisasikan suatu rencana amaliyah dengan melakukan ordering via online shop yang semakin lengkap seiring pesatnya perkembangan e-commerce. Berdasarkan Lumbaca dan Gray (2011:47), internet menyediakan papan pesan dan chat room untuk rekrutmen para teroris, membeli bom, membeli tiket pesawat, mengkoordinasikan serangan dan berkumpul dalam satu tempat tanpa hadir secara fisik.

Propaganda merupakan hal yang mendasar dan dilakukan di awal oleh para pelaku kejahatan siber terorisme. Menurut Thackrah (2004), proganda adalah gagasan atau informasi yang ditujukan untuk mempengaruhi pendapat, Tindakan maupun tingkah laku dari kelompok tertentu. Penyampaian propaganda dapat secara langsung atau tidak langsung. Propaganda dilakukan teroris untuk menyampaikan pesan dengan tujuan meyakinkan, mengajak ikut untuk bergabung, atau menyebarkan rasa takut. Target penyampaian pesan itu sendiri seperti pelaku teroris lainnya, target rekrutmen atau kader, dan simpatisan.

Pada kasus cyberterrorism mengenai rencana amaliyah berupa suidicide bombing di Istana Negara Jakarta oleh DYN dan kelompoknya pada 11 Desember 2016. Bahrun Naim berhasil merencanakan aksi teror melalui bantuan internet dengan mendoktrinasi DYN diantaranya melalui perantara akun telegram dengan username “LIR-ILIR” alias HW via telegram. Dengan bantuan internet, DYN mempelajari paham agama yang mendukung keterlibatan perempuan dalam penegakkan Daulah Islamiyah. 

Internet juga memudahkan DYN untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang dapat memfasilitasinya untuk melakukan aksi bom bunuh diri atas nama jihad, salah satunya adalah MNS yang kemudian menjadi suaminya. DYN dan MNS juga mengembangkan serangkaian teknik tertentu untuk merasionalisasi keterlibatan DYN dalam terorisme, yakni denial of responsibility, denial of victim, condemnation of the condemners, appeal to higher loyalties, denial of negative intent, dan claim of relative acceptability. Tipe bunuh diri yang hendak dilakukan oleh DYN tergolong sebagai obligatory altruistic suicide (Marzio, 2020).

Pada masa perjuangannya yang diyakininya merupakan suatu bentuk jihad, Bahrun Naim fokus merekrut teman dan mahasiswa untuk melakukan serangan teroris melalui penggunaan strategis media sosial. Sejak 2015, Bahrun Naim menggunakan berbagai platform media online dan sosial seperti Facebook, Twitter, dan Google+ untuk meradikalisasi dan merekrut. Bahrun Naim memiliki banyak akun Facebook dan mereka memiliki 578 teman pada November 2015, 259 teman pada Desember 2015 dan 850 pengikut. Januari 2016 masing-masing12. Akun Facebook utama Bahrun Naim memiliki 1099 teman pada 12 Mei 2016, sementara akun Twitternya memiliki 184 pengikut pada Mei 2016 dan 258 pengikut pada Juli 201614. Saluran YouTube-nya memiliki 12 pelanggan pada Juni 2016 (Gunaratna, 2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun