Mohon tunggu...
Dianty Fadilla
Dianty Fadilla Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis hanya untuk mengisi waktu. Salam kenal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Intan

3 Juni 2013   21:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:34 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bibir dioles lipstik merah muda. Seluruh wajah ditaburi bedak dengan sedikit sentuhan shimer. Pipi sudah ditambah dengan blush on merah yang sedikit menggoda. Bulu mata lentik menawan dengan bantuan maskara. Ditambah eyeliner hitam yang menegaskan mata bundar yang selalu menatap tajam. Rambut sebahu dibiarkan terurai bergelombang. Poni disisir samping dengan jepitan kecil berpita sebagai pelengkapnya. Anting perak yang berpendar apabila terkena sinar lampu sudah menggelayut manis di sepasang daun telinga.

Rok hitam selutut dan kemeja putih adalah kostum wajib hari ini. Blazer pun dipakai untuk melengkapi formalitas yang kadang membuat gerah. Pump shoes hitam beraksen merah membuat cerah penampilan dan tidak membosankan. Tidak lupa tas tangan bermerek yang sudah cukup mencerminkan keanggunan sekaligus gaya hidup sang pemiliknya.

Intan melirik cermin untuk terakhir kalinya sebelum memutuskan keluar kamar dan bersiap berangkat kerja. Tidak lupa dia membawa serta handphone dan tablet. Kunci mobil pun diambil dari meja di samping pintu kamar dengan sedikit terburu. Pukul 7.00 pagi, Intan keluar dari apartemennya di bilangan Setiabudi dengan mengendarai sedan BMW seri 5 berwarna hitam metalik menuju Kelapa Gading. Di sana dia dan timnya siap mempresentasikan hasil riset dan pengembangan mereka untuk kemudian memberikan gambaran umum keuangan perusahaan yang menjadi kliennya.

Intan saat ini bekerja sebagai seorang konsultan keuangan. Kliennya adalah perusahaan-perusahaan besar yang sedang membutuhkan masukan untuk memudahkan mereka mengambil keputusan mengenai aksi korporasi seperti akuisisi, valuasi perusahaan, proyeksi keuangan, dan ekspansi bisnis. Kecerdasan dan kemampuan yang bagus dalam berkomunikasi membuat para Direktur Keuangan sering berdecak kagum. Mereka tak habis pikir bahwa di usia yang masih muda, Intan sudah memiliki kemampuan seperti seorang Senior Consultant. Riset dan rancangan keuangan yang disusunnya bersama dengan tim yang dikawalnya selalu masuk akal, mampu menjelaskan setiap sisi bisnis dalam perusahaan. Meskipun dihasilkan laporan dalam bentuk angka-angka, namun Intan selalu berhasil mentransformasi angka tersebut menjadi bahasa yang tidak hanya dimengerti oleh orang keuangan tapi juga orang bisnis.

Ketekunan dan kegigihan Intan dalam membangun karirnya hanya membutuhkan waktu dua tahun hingga dia bisa mendapat pujian sebagai seorang konsultan keuangan termuda di kantornya. Dia dipercaya oleh konsultan senior di kantornya untuk turut andil dalam urusan dengan klien-klien besar. Dia pun disukai oleh staf dalam timnya yang selalu mendukung dan menghargai dia layaknya seorang bos besar. Dan Intan pun bangga dengan segala yang telah dicapainya hingga saat ini. Semua itu berkat kerja keras dan kemandirian yang telah mendongkrak semangat hidupnya untuk lebih maju dan berwawasan luas.

Pukul 11.37 siang, sesi presentasi dengan klien di Kelapa Gading sudah tuntas dan berakhir sukses. Klien sangat puas dengan hasil riset yang sudah dilakukan Intan bersama timnya selama beberapa bulan terakhir. Intan pun merasa bangga memiliki tim yang solid dan selalu punya ide cemerlang untuk menuntaskan masalah klien.

“Mba Intan, mau ikut makan siang bareng? Si Donit mau traktir katanya,” ajak Erin, salah seorang timnya yang paling jago Excel.

“Wah, Donit dalam rangka apa nih?” seru Intan sambil terus merapikan barang-barangnya seusai presentasi.

“Donit kan habis lamaran Mba, diem-diem dan ga ngasih tau kita-kita. Jadinya harus dihukum buat nraktir kita semua,” sahut Erin sambil sumringah.

“Benarkah? Selamat yah.” Senyum Intan sembari menjabat tangan Donit.

“Yuk mba, ikutan.” Donit sedikit basa-basi mengajak bosnya.

“Ah, sayang sekali. Saya ada urusan dulu sebentar sebelum balik kantor habis makan siang. Kalian have fun yah. Yuk, saya duluan.” Dengan halus Intan menolak ajakan Donit. Yang lain pun melambaikan tangan ke Intan.

Intan mengendarai BMWnya menuju pusat kota dan berhenti di sebuah kafe kecil yang terletak di antara gedung-gedung pencakar langit Lingkar Mega Kuningan. Kafe tersebut merupakan bagian dari salah satu gedung yang berada di di area timur. Dengan suasana kafe yang nyaman dan sedikit lebih tenang daripada restoran atau kafe lain, membuat kafe ini banyak dikunjungi oleh orang-orang yang ingin menghabiskan kopi mereka sambil membaca buku, mengerjakan sesuatu di balik layar laptop, atau sekedar berkeliling di dunia maya lewat tablet di tangan mereka.

Intan berbohong pada Donit, dia sebenarnya tidak punya urusan apapun yang mendesak untuk dilakukan saat ini. Hanya saja dia juga sedang tidak ingin untuk berkumpul dan bercengkrama dengan timnya. Dia hanya ingin istirahat sejenak dan memilih untuk duduk sambil menyeruput kopi dan melihat agendanya hari ini. Selama tiga jam kedepan, Intan free alias bebas alias tidak ada kerjaan. Ya meskipun begitu, sebenarnya waktu tersebut bisa dia gunakan untuk mereview hasil riset dengan klien yang baru. Namun Intan hanya sedang ingin istirahat.

Sebenarnya tentu saja ada yang mengganggu pikiran dia sekarang. Namun apapun itu, selama lebih kurang sejak 3 tahun lalu, Intan mencoba untuk tidak terlalu ambil pusing. Hingga sekarang, di umurnya yang sudah menginjak 27 tahun, Intan sudah jera dengan pertanyaan semacam: “Kapan undangannya?” atau “Ayo jangan kerja mulu, kapan nyari calonnya?” atau “Kamu itu sempurna, udah cantik, pinter dan mapan pula. Masa sih ga ada cowo yang mau?” dan masih banyak lagi pertanyaan sejenis yang tak berhenti diterimanya.

“Hi, Intaaan.” Ada seorang lelaki berkemeja biru mengagetkan Intan.

“Hi Edo, apa kabar? Ngapain disini?”

“Gue? Di sini? Kantor gue, Ntan. Di lantai 37. Masa sih lo lupa?”

“Hahahaha, iyaa, gue beneran lupa. Sumpah.”

“Lo lupa apa kaget? Hahaha. Lagi mikirin apaan sih?”

“Haha, ga mikirin apa-apa kok. Lo lagi break ya? Tumben mampirnya ke warung kopi. Ga makan siang?”

“Engga, lagi diet gue.” Edo sumringah sedikit bercanda. Dia langsung mengambil posisi duduk semeja dengan Intan.

“Lo sendiri kok tumben ngopi disini?”

“Gue kangen aja sama kopinya. Sering kok gue mampir disini. Jarang ketemu lo sih emang kalo gue kesini. Lo sering juga minum disini?”

“Kadang-kadang. Pas lagi galau sih sering. Enak emang ngopi-ngopi disini sambil autis. Hahaha.”

“Hooo, sekarang lagi galau dong kalau gitu?” Intan menebak. Edo terjebak. Dan berlanjutlah ke acara ngobrol panjang mereka. Intan dengan seksama mendengar cerita kegalauan Edo. Ternyata Edo baru memutuskan hubungannya dengan kekasihnya yang sudah berjalan hampir dua tahun.

“Gue ga suka cewe yang terlalu mandiri, Ntan. Seolah-olah dia ga butuh gue. Soalnya dia mau ngapain juga bisa sendiri. Kadang gue menawarkan diri untuk hanya sekedar menemani, dia malah menolak dengan halus. Bilangnya takut gue kecapean lah, atau gue bosen lah. Tapi kan gue cowo. Gue pengen bisa diandalkan, biar nanti kalo misalnya gue jadi seorang suami, gue punya tanggung jawab setidaknya untuk bisa melindungi istri gue. Lah ini, boro-boro gue berpikir untuk melindungi dia, kemana-mana aja dia lebih memilih sendiri. Jadinya gue ngerasa kalau gue ga berarti apa-apa buat dia. Jadinya gue males. I am not like her man when I am with her. Intinya sih begitu.”

Intan mengangguk-angguk mengerti dengan cerita Edo. Percakapan mereka berlanjut dengan cerita-cerita Edo berikutnya yang menjadi bukti bahwa dia merasa tidak dianggap ada oleh kekasihnya. Dan waktu pun berlalu. Pukul 1 siang. Edo harus kembali bekerja. Dia meninggalkan Intan setelah mereka basa-basi berjanji untuk keep in touch.

Intan terperangah. Kejadian ini pernah terjadi setahun yang lalu, saat Intan mendengar alasan yang sama dari seorang lelaki yang baru dipacarinya selama tiga bulan. Hanya saja bedanya, waktu itu Intan masih dengan emosionalnya tidak memperdulikan alasan si lelaki. Namun sekarang, sepertinya sudah saatnya bagi Intan untuk berkaca. Apakah dia seperti mantan kekasinya Edo? Mungkin break siang ini harus berakhir dengan pertanyaan seperti itu. Intan sepertinya membutuhkan break di lain waktu untuk bisa merenunginnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun