Mohon tunggu...
Dianty Fadilla
Dianty Fadilla Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis hanya untuk mengisi waktu. Salam kenal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu Menunggu

17 September 2013   23:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:45 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nama saya Ambar. Umur saya 37 tahun. Saya lahir di Solo, Jawa Tengah. Sebagai orang Jawa tulen, saya mewarisi wajah dan paras layaknya orang Jawa kebanyakan.

Sebagai seorang wanita karir yang sudah punya pengalaman hampir 15 tahun dengan menjabat posisi setara staf hingga Kepala Bagian, sebagai seorang wanita yang baru menikah di usia 35 tahun, sebagai seorang istri bagi seorang pria berkebangsaan non-Indonesia, dan sebagai seorang ibu bagi anak saya yang baru berumur 1 bulan, saya punya cerita untuk saya bagikan kepada wanita-wanita lainnya. Ini cerita tentang Ibu saya.

Awal mula saya memilih untuk menjadi wanita karir adalah karena saat itu saya baru lulus dari sebuah Sekolah Tinggi ternama di Jogja. Saya pikir sayang sekali apabila ilmu yang saya dapat dan titel yang saya terima dari Sekolah Tinggi ternama tidak saya manfaatkan dengan benar. Dan waktu itu menurut pemikiran saya, cara memanfaatkannya adalah dengan menjadi pegawai kantoran. Kemudian meniti jenjang karir mulai dari bawah hingga ke posisi yang pada akhirnya tidak ada lagi posisi lain yang lebih tinggi.

Pengalaman pertama saya menjadi pegawai kantoran adalah di sebuah perusahaan asing yang kantor pusatnya berada di Jakarta. Ibu sempat melarang saya untuk menerima tawaran pekerjaan tersebut. Alasannya beliau tidak ingin saya pergi jauh ke Jakarta sendiri. Karena kami juga tidak memiliki satu pun sanak keluarga di Jakarta. Tetapi saya berhasil meyakinkan Ibu bahwa saya bukan gadis kecil lagi. Saya sudah bisa mandiri sekarang. Dan saya juga sudah dewasa. Setidaknya begitulah yang saya rasakan.

Lagipula di Jakarta saya tidak akan sendiri. Banyak senior satu almamater yang akan menjadi guru sekaligus teman saya. Saya hanya perlu menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan mereka. Sehingga jika suatu saat nanti saya membutuhkan bantuan, mereka adalah orang pertama tempat saya mengadu selama di Jakarta. Akhirnya dengan penjelasan tersebut Ibu pun melepaskan saya bekerja di kota Metropolitan ini.

Waktu berlalu begitu cepat. 5 tahun kemudian saya sudah menjabat sebagai Asisten Kepala Bagian masih di perusahaan yang sama. Umur saya saat itu pun sudah 27 tahun. Tapi ternyata, karir yang terus menanjak naik, keadaan ekonomi saya yang sudah sangat baik, semua itu tidak lantas membuat Ibu berbangga hati. Kenapa? Karena saya sudah 27 tahun, tetapi masih melajang.

Ibu tidak pernah berhenti membicarakan persoalan pasangan, pernikahan dan berumah tangga. Beliau selalu mengungkit-ungkit masalah ini di sela pembicaraan kami mengenai berat badan, rumah yang baru saja saya beli dengan hasil jerih payah bekerja, kendaraan yang saat ini sudah utuh menjadi milik saya karena kreditnya sudah lunas. Ibu selalu siap sedia menyinggung soal pernikahan di setiap percakapan kami berdua.

Tiga tahun menjelang sesudahnya. Umur saya menginjak angka 30. Dan saya sudah menjadi Kepala Bagian saat itu. Saya pikir semakin tinggi jabatan maka semakin menciut pula tugas-tugas yang harus saya kerjakan. Hal tersebut sebenarnya tidak salah. Tugas-tugas yang menjadi pekerjaan saya memang berkurang karena sudah didelegasikan kepada bawahan. Namun tanggung jawab saya bertambah. Inilah yang sering membuat saya tidak punya waktu alias sibuk. Menjadi Kepala Bagian ternyata tidak semudah yang saya bayangkan.

Bagaimana dengan Ibu? Beliau belum putus asa untuk meminta saya segera menikah. Bahkan beliau sempat menjodohkan saya dengan anak tetangga kami di Solo yang bekerja sebagai pilot pesawat terbang. Ibu pernah bilang, para pria akan lebih selektif memilih wanita berumur “thirty something” ini. Atau jika saya boleh menafsirkan, Ibu mungkin merasa cemas jika nanti saya benar-benar tidak laku di mata pria.

Akhirnya di umur 32 tahun, barulah saya ‘serius’ mencari pasangan hidup. Di tengah tekanan teman-teman sebaya yang sebagian besar sudah menggendong anak. Bahkan ada yang sudah punya tiga orang anak. Ditambah lagi permohonan serius dari Ibu agar saya memikirkan masa depan saya dan berumah tangga.

Saya kemudian berkenalan dengan salah seorang kolega yang tidak lain dan tidak bukan adalah klien perusahaan saya. Karena saya seorang Kepala Bagian, maka saya berkesempatan untuk bertemu dalam rangka menjalin kerja sama bisnis dengan calon klien perusahaan. Dan bertemulah saya dengan seorang pria berkebangsaan Inggris yang saat itu menjabat sebagai Vice President di sebuah perusahaan asing yang membuka cabang di Jakarta. Namanya Adrian Smith. Usianya 35 tahun.

Bermula dari obrolan singkat, berlanjut ke acara makan malam. Kemudian kami menghadiri pesta pernikahan beberapa teman bersama-sama. Saya dan Adrian pun lantas merasa cocok satu sama lain. Tiga tahun kami saling terbuka dan belajar untuk membangun kepercayaan satu sama lain. Dan di tahun 2011 ketika umur saya genap 35 tahun, saya dilamar oleh Adrian yang saat itu berusia 38 tahun.

Pesta pernikahan saya pun dilangsungkan dengan amat meriah. Keluarga besar Adrian dari Inggris berkunjung ke Indonesia dalam rangka merayakan bersatunya saya dan Adrian. Di hari pernikahan tersebutlah saya benar-benar melihat senyum bahagia Ibu. Beliau lega dan dengan besar hati melepaskan anak gadisnya untuk dijaga oleh pria yang sudah berjanji untuk menjadi seorang suami yang baik. Meskipun sebelumnya Ibu sempat menolak pertunangan kami, lantaran Adrian bukan orang Timur, bukan orang Indonesia dan tidak berdarah Jawa. Namun entah cara pendekatan apa yang sudah dilakukan oleh Adrian, Ibu akhirnya luluh padanya. Saya pun bersyukur mendapat suami seperti dia.

Dua tahun kemudian, bayi saya yang pertama lahir. Seorang perempuan. Kami memberinya nama Renata Smith. Ibu yang memberikan nama “Renata” tersebut untuk cucu pertamanya. Namun malang nasib Renata. Belum sempat dia bercengkrama dengan omanya, dan tidak akan ada cerita saat rambut panjang Renata dikepang oleh neneknya. Ibu saya meninggal dunia karena penyakit gagal ginjal. Tepat saat Renata berusia dua minggu.

Satu hal yang saya sadari, saya tahu Ibu telah menunggu saya. Telah lama beliau menunggu pesta pernikahan saya. Telah lama beliau menunggu untuk bisa menggendong cucu. Saya merasa karena keegoisan saya lebih memilih karir, membuat Ibu terpaksa dengan sabar menunggu saya. Namun saya bersyukur, penantian beliau telah terjawab. Pesan saya kepada seluruh wanita, jangan pernah menunda kesempatan untuk membahagiakan Ibumu. Karena kamu tidak akan pernah tahu sampai kapan Ibu sanggup menunggumu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun