Senin 28 Oktober 2024, saya berkunjung ke Pasar Klithikan Sentir yang bersebelahan dengan pasar Beringharjo dan dekat dengan Malioboro. Pasar klithikan adalah tempat yang menjual barang bekas dan antik seperti baju, kipas angin, buku, sepatu, lampu, jam, dan aksesoris lainnya yang masih layak untuk digunakan. Para penjual menampilkan dagangannya dengan cara lesehan dan menatanya secara berjejer.Â
Tentu dengan cara berdagang seperti itu dan barang-barang yang dijual, pasar klithikan menawarkan harga murah yang cocok untuk dikunjungi oleh masyarakat kelas bawah yang kurang mampu. Namun, pada kenyataannya pengunjung pasar klithikan bukan hanya masyarakat yang kurang mampu saja, karena tempatnya yang strategis pasar klithikan ramai dikunjungi oleh warga luar jogja yang mempunyai ekonomi yang memadai.
Saya mengamati beberapa pengunjung pasar klithikan, yang pertama adalah pemuda yang sedang berkeliling bersama temannya dan ibu-ibu yang duduk diam melamun. Saya melihat anak muda itu bersama teman perempuannya (seperti sepasang kekasih), dengan berpakaian berwarna hitam modis serba vintage namun berkelas, dan sepatu pantofel yang menyempurnakan tampilannya. Mereka berkeliling mengunjungi lapak-lapak penjual aksesoris yang sepertinya dicari untuk mendukung fashionnya. Cara mereka berkomunikasi pun dengan bahasa Indonesia yang saya kira mereka bukanlah warga asli Jogja.
Kemudian, di tengah ramainya pasar klithikan yang dipenuhi oleh pengunjung bersliweran mencari kebutuhannya, saya melihat seorang ibu-ibu dengan pakaian sederhana, membawa beberapa barang yang dikantongi plastik sedang duduk di pinggir warung. Saya melihat ibu itu hanya berdiam melamun sambil merokok, sesekali berbicara dengan penjual di warung, dan minum teh yang mungkin ia beli di warung sebelahnya. Cara mereka berkomunikasi pun dengan bahasa jawa lokal, yang mungkin dia adalah warga asli jogja.
Saya melihat seorang pemuda dan temannya adalah orang yang mempunyai kesukaan dalam gaya vintage, dapat dilihat dengan cara mereka berpakaian dan transaksi yang mereka buat dengan lapak-lapak yang mereka kunjungi. Saya mendapati mereka saat membeli sebuah aksesoris gelang yang harganya cukup murah, jika dibandingkan dengan outfit-nya mungkin gelang itu tidak terlalu berharga, namun siapa sangka gelang itu dapat mempermanis tampilannya menjadi lebih modis dan elegan. Hal ini dapat menjadi alasan bahwa pemuda itu tidak peduli soal harga, melainkan barang yang dapat mensupport fashion vintagenya.
Sedangkan ibu-ibu dengan pakaian sederhana yang duduk melamun sambil merokok, terlihat seperti sedang banyak pikiran, yang mungkin ia sedang merelaksasi pikirannya di pasar klithikan. Dengan sekadar merenung atau mengamati orang-orang berjalan, menikmati suasana keramaian dengan secangkir teh dan rokok yang mungkin ia beli di warung. Sangat berbeda dengan pemuda modis itu, ibu ini terlihat lebih  pasif dalam berinteraksi.
Dari segi makna dan simbol, keduanya memiliki kecocokan namun tidak sepenuhnya dengan identitas pasar klithikan. Pemuda modis itu cocok dengan identitas pasar klithikan sebagai tempat yang menjual barang antik/vintage yang bisa mendukung gaya mereka, dan interaksinya dalam bertransaksi adalah perilaku yang sesuai dengan fungsi pasar. Tetapi disisi lain, kelas sosial pemuda itu kurang sesuai dengan pasar klithikan yang cenderung lebih cocok untuk kalangan kelas menengah kebawah.
Sementara-ibu-ibu yang berpakaian sederhana, menurut saya ada sisi yang kurang cocok dengan identitas pasar klithikan, karena pasar ini adalah tempat untuk mencari barang-barang kebutuhan, bukan tempat untuk merenung sepi. Tapi disisi lain, ibu itu juga cocok sebagai kelas sosial yang menunjukkan kesesuaian dengan pasar klithikan.