Hari itu hari pertama Ramadan sebelas tahun lalu. Mama diam seribu bahasa. Matanya sembab karena menangis hampir setiap malam. Bibirnya tidak lagi berkata-kata. Mama lebih banyak diam, bahkan aku merasa saat itu mama mulai menjadi perempuan yang bisu.Â
Berkata hanya jika aku menanyakan sesuatu, itu pun jawabannya sangat singkat. Mamaku yang cantik dan selalu ceria tiba-tiba berubah menjadi perempuan yang aneh dan misterius.
Satu waktu, aku pernah melihat mama dengan sebilah pisau di tangannya. Mama berdiri di dapur dengan adegan yang mengerikan. Aku berteriak, "Mama?" dengan penuh tanya. Aku begitu takut jika mama menghunuskan pisau tajam itu ke perutnya.
Melihat kedatanganku, mama tersenyum dengan bibir yang bergetar.
"Hai, kamu sudah pulang, Nak?"
"Apa yang mama lakukan di sini?" tanyaku.
Mama mendekati lemari es, dan mengambil beberapa buah wortel. Tanganya sibuk menyeka air mata. Lalu, "Mama mau masak sup, kamu main lagi sana!"
"Mama menangis?" tanyaku penasaran ingin mendengar jawaban mama.
Mama menggeleng.
Aku yang saat itu masih berusia 7 tahun, seharusnya masih fokus memikirkan soal sekolah dan PR yang diberikan guru, seusia itu aku harus pergi sekolah dengan perasaan khawatir tidak bertemu mama lagi saat kembali ke rumah.
Bayangan-bayangan tentang adegan menghabisi nyawa yang yang pernah aku temukan dalam film yang ditontong dengan kakak sepupu berulang kali membayangi kepalaku. Bergantian dengan adegan mengerikan mama di dapur saat itu.