Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengubur semua perasaan yang kupunya untukmu dan mulai membuka hati kepada yang lain. Ya, seseorang datang, kemudian menjadi suamiku.
Kau marah besar, ketika mengetahui aku menikah dengannya.
"Kamu itu ya, harusnya aku yang menjadi suamimu." katamu kala itu.
Aku tidak bisa memberikan jawaban apapun. Lidahku kelu, tetapi lagi-lagi, logikaku menolakmu. Aku tidak mau terus-menerus disiksa api cemburu.
Dua tahun kemudian kamu menikahi gadis lain, dan aku hampir gila dibuatnya. Walaupun sudah menikah, rasa itu masih ada, aku masih mencintaimu. Namun kemudian kamu masih saja selalu datang dan mengatakan bahwa kau pun tidak mampu sepenuhnye melupakanku. Perniakahnmu, dilatarbelakangi oleh  "pernikahanku." Kamu merasa tidak ada lagi yang harus diperjuangkan dariku, maka dari itu kau pun memutuskan untuk mengakhiri masa lajangmu.
Setahun yang lalu, aku berpisah dengan suamiku, dengan alasan paling prinsip. Dia kembali pada agamanya. Kami tidak bisa lagi bersatu. Saat aku kembali merindukanmu, maka senyum perempuan manis di sampingmu lah yang selalu terlintas dibenakku. Aku tidka mungkin memintamu darinya.
"Aku tidak akan pernah mengganggumu. Namun, jika kau ada waktu, bolehkan aku menikmati kembali hujan beramamu?" gumamku. Sebuah kalimat yang tidak pernah akan sampai ke telingamu.
Hujan semakin deras, ada jutaan rindu yang turun bersamaan dengan rinainya. Ku harap hujan ini turun di tempatmu juga, agar kau turut merasakan siksaan ini, merindukanmu di antara hujan-hujan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H