Kamu yang di sana mungkin sudah lupa. Tentang kejadian di suatu sore yang muram. Langit gelap pertanda akan turun hujan. Kau yang seharusnya mengingatkanku untuk segera pulang, malah terlihat begitu senang melihat awan yang semakin gelap. Apalagi ketika rintik air sudah mulai jatuh membasahi bumi, dedaunan, dan bahkan kacamataku. Aku begitu ingat, saat kau mentertawakanku. Ketika melihat kacamataku basah. Kau bilang seharusnya terpasang wiper seperti di kaca mobil. Ah, kau tega sekali kepadaku.Â
Kau sangat tahu jika aku menyukai gerimis dan bahagia bertemu hujan. Maka sore itu, kau tak mengingatanku untuk segera pulang karena hujan sebentar lagi akan datang. Kau tertawa riang. Seraya mengerlingkan bola mata yang menurutku kerlingan itu kerlingan mata paling indah. Senyum kamu juga rasanya terlalu manis di sore itu. Aku tahu, saat itu kamu memberi kode. Iya kode, bahwa sore itu kita berdua siap menjemput hujan.
Kau menginjak pedal gas. mengemudikan mobil ke arah awan hitam berada. Aku tertawa geli, atas kesungguhan niatmu, 'berburu hujan'.Â
Ketika hujan deras membasahi bumi, kau tertawa bahagia. kemudian menepikan mobil di pinggir jalan yang aman dari pepohonan. membiarkan cucuran air hujan menghantam bebas atap mobilmu.
"Sebentar lagi mobilku akan gelap," ujarmu senang.
Aku yang tidak sepenuhnya paham mengernyitkan dahi dan bertanya, "kenapa kau senang jika mobilmu gelap?"
Dengan menyeringai kau memberikan jawaban gila, "Orang-orang di luar tidak akan bisa melihat kita berdua di dalam sini, kacanya akan berembun," kalimat itu diselingi dengan tawa.Â
Aku sedikit takut, apa yang akan kau lakukan padaku saat itu. Sempat terlintas jika kau akan berbuat hal yang menyebalkan. Namu nternyata kegundahanku hilang seketika, saat kau memainkan telunjukmu di kaca. Melukis bentuk love dan menuliskan dua nama.Â
"Aku mencintaimu, Dina," kalimatmu lirih, tapi  cukup jelas di telingaku.Â
Dadaku berdegup kencang saat itu. Sorot matamu begitu tajam tidak melepaskan pandangan dariku. Membuatku salah tingkah. Entah berapa puluh detik retina kita bertemu. Aku bisu, kau pun begitu. Hanya suara hujan yang terdengar semakin menderu, bersaing dengan degup jantungku.Â
"Kau tidak membalas perkataanku?" tiba-tiba pertanyaan itu memecahkan sunyi di antara kita.