"Rin, maaf aku tidak jadi mampir ke rumahmu."Â
Sebuah pesan singkat mendarat. Dari nomor yang sejak tadi aku pantengin. Menunggu chat darinya adalah hal yang sangat menggemaskan. Harap, cemas, senang, gugup, bahkan takut pun turut hadir memenuhi hati dan kepalaku. Pokoknya semua rasa hadir di sana.Â
Ada semacam kesal yang menyeruak. Mengapa ia tidak menepati janjinya. Mengambil buku rangkuman materi perkuliahan pekan lalu, saat ia terpaksa bolos ngampus. Padahal jalan menuju rumahnya, lewat di hadapan rumahku. Sepertinya sengaja, gumamku dalam hati. Kau sudah tak ingin lagi menemuiku, kau enggan, kau bosan, kau menghindar. Kalimat itu menguasaiku.
Lho, ada apa dengan pikiranku? Memangnya dia siapa? Ingat, dia hanya pendatang baru dalam kehidupanmu. Jangan baper! Otakku berkali-kali mengingatkan agar aku tetap bisa bersikap waras.Â
"Jangan marah ya...," pesan berikutnya menyusul. Â Tidak lupa ia sertakan emoticon senyum dengan pipi merona merah. Ah, seketika aku jadi membayangkan senyumnyayang manis. Entah, semua kesal dan amarah menghilang seketika.Â
Namun tiba-tiba jemari nakal, menari di layar ponsel. "Iya, aku gak marah kok. Tapi aku ingin bertemu." Kalimat itu telah dibacanya, centang dua biru di pesanku. Ah, celaka, aku tak mungkin menarik pesan. Malu rasanya.
"Baik, nanti selepas magrib aku tunggu di tempat makan. Bisa?" Bagai dihipnotis, dengan sigap aku mengetik lagi pesan, "ya, aku bisa". Ia pun menyebutkan sebuah nama tempat makan yang cukup asik, dan dekat dari tempat tinggalku. "Sekitaran sana saja, biar aku yang mendekat. Gadis cantik tidak boleh pulang terlalu malam. Jangan lupa ajak adikmu, lalu izin sama Ayah Ibu, kalau kau pergi bersamaku" ujarnya.Â
Setelah itu, sore hari yang semula terasa muram, berubah menjadi senja yang begitu indah. Aku akan bergegas mandi dan mempersiapkan diri. Ayah tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Ibu pun sama. Keduanya saling pandang. Kemudian menertawakan kelakuanku yang tidak berhenti membujuk adikku agar bisa ikut pergi.Â
"Boleh kan, Yah, Resa menolak? Lagi males nih ...," rengek jail adikku. Ayah tertawa, terbahak. Â
"Ikutlah, temani kakakmu!" katanya. Lalu, "sesekali, ajak Ali main ke sini, Ayah ingin bertemu," tanpa melepaskan pandangannya dari bacaan, ayah meminta sesuatu yang membuat hatiku semakin tidak karuan.Â
Benarkan yang aku dengar barusan? Ayah memintaku mengajak Ali datang ke rumah? Pokoknya, akan aku kabarkan nanti kepadanya, ketika kami bertemu.Â