Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengeja Dunia dengan Emak

7 Desember 2019   15:15 Diperbarui: 7 Desember 2019   15:18 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pedomanbengkulu.com

"Yun, jangan pernah berhenti berharap. Kalaupun Abahmu sudah tiada, Emak akan berjuang membawakan bintang-bintang buat kamu," ujar Emak sambil tersenyum. Tangannya sibuk mengipas-ngipas wajah dengan ujung kain karembongnya. Keringatnya bercucuran. Wajahnya yang selalu riang dipenuhi titik bulir air yang siap meluncur bebas dari dahinya.

Emak duduk di hadapanku. Kakinya selonjor di atas tikar pandan yang digelar di saung sawah. Saung ini tempat peristirahatan Emak kalau sudah lelah bekerja. Satu-satunya warisan peninggalan Abah yang didapatkan turun temurun dari Aki dulu. Tempat kami menyandarkan kehidupan. Dari sawah inilah kami mendapatkan beras untuk makan, Sayuran yang ditanam di beberapa pematangnya. Buah pisang serta pepaya berbuah ranum pada sepetak tanah di belakang saung.

Kata Abah, sawah ini adalah sisa kerakusan saudaranya yang berebut harta. Begitulah cerita Abah saat beliau masih hidup dulu. Aki adalah orang paling kaya di desa Cinyasag. Sawah dan ladangnya paling luas di antara penduduk desa yang lain. Hasil panen padi melimpah, palawija pun demikian adanya. Lumbung padi yang dibangun di samping rumah nyaris selalu ramai dengan para pembeli yang datang silih berganti untuk membeli beras, eceran atau untuk dijual kembali.

Aki pun memiliki mesin pemisah gabah, karena itu tetangga antre membeli beras. Usaha Aki sangat maju. Banyak orang yang memuji keberhasilannya ketika itu. Bukan hanya karena Aki kaya raya, melainkan karena ia tetap dermawan. Aki tidak pernah keberatan membantu orang-orang yang kesusahan.

Hasil panen tidak lupa dikeluarkan zakatnya. Kalau ada orang miskin membeli beras dan uangnya kurang, Aki malah menambahkan jumlah timbangan beras bagi mereka. Abah cerita, kalau Aki semakin kaya, itu karena Aki sering sekali bersedekah.

Empat anak Aki semuanya laki-laki. Abah adalah anak bungsu. Abah pula satu-satunya anak Aki yang merasakan bangku kuliah, dari hasil panen sawah dan ladang Aki membiayai keempat anaknya. Namun hanya Abah yang tetap gigih melanjutkan sampai selesai kuliah.

Abah lulus sebagai sarjana pertanian dari IPB Bogor demi memenuhi keinginan Aki, karena ketiga kakaknya putus di tengah jalan. Kakak pertama Abah hanya lulus SMP, kakak kedua lulus SMA, dan yang ketiga putus di tengah jalan semester tiga DO karena sering bolos kuliah.

Aki ingin sekali lahan tanahnya dikelola oleh orang yang paham. Aki dan Nini bercita-cita jika anak-anaknya menjadi juragan tanah selama hidupnya. Tanah yang produktif menghasilkan padi dari sawah dan palawija dari ladang. Karena itu Abah berjuang untuk kuliah di jurusan pertanian, walaupun sejatinya Abah ingin kuliah jurusan Agama Islam.

Seminggu setelah Abah lulus kuliah, Aki jatuh sakit. Selama berbulan-bulan bergeming di atas tempat tidur. Abah lah yang mengurusinya selama itu. Dengan telaten merawat Aki hingga tiada. Karena dua tahun sebelumnya Nini sudah meninggal lebih dulu.

Dari semenjak Aki sakit lah ketiga saudara Abah mulai bertingkah aneh. Menjual sawah-sawah Aki tanpa sepengetahuan. Dengan alasan untuk modal usaha, sekolah anak, sampai alasan untuk tambahan uang untuk membeli kendaraan. Sementara Abah, tetap fokus kepada kesembuhan Aki.

"Yun, Emak turun lagi, ya!" ujar Emak bersiap kembali ke sawah. Matahari semakin terik. Nyaris tepat di atas ubun-ubun. Emak menyingsingkan lengan baju. Dudukuy pun telah ia kenakan.

"Aku ikut ya, Mak!" aku bergegas turun dari saung.

"Tidak usah, bukankah besok kamu sekolah? Nanti tanganmu hitam sama air sawah." larang Emak.

Tetapi larangan itu tidak mengurungkan niatku. Aku sudah lebih dulu turun ke sawah. Celana panjang yang aku gunakan langsung tenggelam bersama masuknya kakiku ke lumpur. Emak hanya geleng kepala melihat anak perempuanya turun ke sawah. Emak adalah satu-satunya harta berhargaku, begitupun aku, menjadi anak semata wayangnya Emak.

Setelah Aki meninggal, Abah mencoba menekuni profesi sebagai petani. Mengaplikasikan ilmu yang ia dapat di bangku kuliah. Tanah peninggalan Aki ia kelola sebisanya bersama beberapa tukang yang biasa bekerja selagi Aki dan Nini masih hidup.

Ketiga kakaknya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mengelola toko, kolam pemacingan, dan ada pula yang memiliki pabrik pemotong kayu.

Namun misi Aki yang menginginkan Abah mengolah lahan hanya sebatas mimpi. Gagasan Abah untuk menpraktikan ilmu ditolak mentah-mentah oleh ketiga kakaknya. Sampai hari pembagian warisanpun tiba, Abah mendapatkan bagiannya.

Tahun ketiga dari kepergian Aki, abah menikah dengan Emak. Abah yang semula hanya berprofesi sebagai petani, mengolah tanah bagiannya, terpaksa harus merantau demi menghidupi keluarga kecilnya dengan kehiduan yang lebih layak. Abah pulang setiap dua minggu sekali dari Bandung.

Aku selalu menjadi anak yang paling bahagia ketika itu. Abah selalu membawakan oleh-oleh buku bacaan yang paling keren. Teman-temanku di SD IV Cinyasag tidak ada yang memilikinya. Jika Guru bertanya sesuatu tentang pelajaran yang belum kami pelajarai, aku sering menjawabnya. Dari buku-buku yang kubaca lah pengetahuan itu kudapatkan. Abah memang hebat.

Namun nasibku dan Emak tidak selalu mulus, kebahagaiaan itu hanya kami rasakan samapai aku duduk di bangku kelas dua sekolah Menengah Pertama. Abah mengalami kecelakaan maut ketika perjalanan mudik lebaran. Kakinya lumpuh tidak bisa digerakan. Selama setahun Abah hanya duduk di kursi roda, sampai akhirnya mengembuskan napas terakhirnya tepat di hari terakhir aku Ujian Akhir Nasional.

Hatiku begitu koyak. Harapan untuk membuat Abah sembuh musnah sudah, Allah lebih sayang kepada Abah dan mengambilnya. Abah pun tidak tahu, jika anak tunggalnya mendapatkan nilai NEM tertinggi di SMPN I Panawangan.

"Hari sudah terlalu terik. Kita harus berhenti dulu, membersihkan diri untuk siap-siap solat zuhur," ujar Emak mengingatkan. Kakinya beranjak dari sawah. Benih-benih yang ditandur sedikit lagi rampung. Ada satu petak kecil lagi yang belum kami tanami.

"Tanggung, Mak. Kenapa tidak kita selesaikan saja?" Aku berteriak agar terdengar Emak yang sudah melangkah menyusuri pematang menuju saung.

Tanpa menoleh, "gak boleh begitu, Allah saja tidak pernah terlambat memberikanmu napas."

Ah, ucapan Emak membuatku takut. Benih padi di genggamanku kulemparkan. Aku bergegas beranjak mengejar Emak.

**

Badanku terasa begitu remuk. Ikut Emak tandur membuat pinggangku jadi sedikit kaku. Bangun dari tidur seperti robot. Punggung dan pinggang terasa sakit. 

Beginilah perjuangan Emak di sawah. Memang ini bukan kali pertama aku melakukannya. Di SMK Pertanian Cipaku tempat aku belajar pun ada mata pelajarannya. Semua siswa diberi lahan yang harus dikelola sendiri. Namun lahannya kan hanya berukuran 10x10. Terus dilakukan bersama-sama dengan teman, sambil main-main, balapan menanam, atau apa saja yang membuat kami lupa pada rasa lelah.

Sama Emak kemarin, lumayan juga lahannya. Aku sedih, selama ini aku tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya badan Emak. Sebagai perempuan Emak memang paling kuat. 

Mengolah sawah hanya ketika harus mencangkul saja Emak menggunakan jasa orang. Membayar operator traktor dan menyewa traktor yang dekelola oleh kelompok tani Desa. Selebihnya Emak selalu bisa melakukannya sendirian walalupun dicicil sedikit demi sedikit.

Tanah kami juga tidak banyak. Kembali lagi kepada cerita Abah, sedikit demi sedikit tanah Abah pun dijual oleh saudaranya.

"Kamu jangan terlalu lama di kamar mandi ya, Yun. Hari sudah siang. Nanti kamu terlambat!" teriak Emak dari dapur. Jam menunjukkan pukul 04:30. Aku harus bergegas, selesai solat subuh berangkat kembali ke sekolah. Meninggalkan Emak sedirian di rumah, karena aku ngekost di sekitaran sekolah.

"Mak, doakan Yuni sekolahnya lekas selesai ya, biar bisa selalu menemani Emak." Teriakku ketika selesai solat. Sambil melipat mukena aku ingin tetap bercakap-cakap sama Emak yang sedang sibuk di dapur. Biasaya Emak sedang berkemas bekal untuk aku bawa senin pagi ke tempat kost.

"Ngomon apa, Yun, ...? Kamu gak boleh diam di rumah. Lanjutkan sekolah sampai jadi sarjana, sana!" Emak sambil melipat bungkusan berisi serundeng dan kentang mustofa.

"Aku sedih lihat Emak kerja keras di sawah membiayai sekolah Yuni," Aku memelas. Mataku mulai berkaca-kaca. Ini tahun terakhirku sebagai anak SMK.

"Justru karena agar Kau tidak seperti Emak, sekolahlah yang tinggi! Agar seperti Abah mendapatkan pekerjaan bagus di kota. Genggam dunia dengan ilmu pengetahuan, Yun. Kalau berhasil, Emak akan sangat bangga dan berbahagia." Senyum emak merekah, bersamaan dengan dua genangan air yang leuncur dari sudut matanya.

Aku berhambur memeluk Emak erat-erat, tidak peduli kerudung dan seragam sekolahku kembali kusut.

Suara klakson motor memaksa kami untuk melepaskan pelukan. Mang Ahmad ojek langganan sudah menjemput. Siap mengantarkanku ke pinggir jalan, menunggu bis jurusan Tasik-Cirebon yang akan tiba dalam beberapa menit.

"Mak, Yuni pergi dulu." Kucium punggung tangannya yang kasar karena bekerja keras menghidupiku.

Aku akan belajar sunguh-sunguh, Mak. Biar kubawakan dunia ini untuk Emak, gumamku sambil berurai air mata.  

Panawangan, Desember 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun