Sejenak kemudian, kau bangkit dari dudukmu, penat menguasai, membuatmu ingin melakukan sesuatu. Menghisap rokok adalah teman akrabmu di kala penat. Kau menyalakan rokok yang kau ambil dari dashboard mobilmu. Namun, ah, kemudian kau urung, tidak jadi menyalaknnya.
"Yessi ...," kau bergumam menyebut nama perempuan itu dengan hati yang bergetar. Matamu memejam, lagi-lagi kau menghela napas panjang, "baiklah, aku tidak akan merokok lagi!" kau berbisik kepada dirimu sendiri. Kemudian kau melemparkan rokok itu jauh-jauh. Bersama bungkusannya yang baru kau nikmati satu dua batang sebelumnya.
"Akang, kalau sayang sama calon istri sayangi diri sendiri dulu, ah!" kalimat itu meluncur dari bibir Yessi yang merah muda, begitu sulit kau lupakan, bahkan suaranya yang khas selalu terngiang di telingamu.
Seat kemudaian kepalamu disibukan dengan pertanyaan, "kenapa bukan Sofi yang mengatakannya kepadaku?" Selama ini tunanganmu itu baik-baik saja, tidak pernah mengingatkanmu tentang rokok dan rusaknya kesehatanmu sebagai akibat dari merokok itu sendiri. Kini, ketika kau merindukan Yessi, rokokmu mendadak terasa pahit di mulut, kau tidak lagi berselera.
Ingatanmu pun berselancar. Di tengah-tengah Situ Lengkong kalian bersenda gurau. Di atas perahu menuju Nusa Pakel. Perempuan cantik itu tidak berhenti menceritakan semua hal yang bisa ia katakan. Memanjakan telingamu. Suaranya yang khas sedikit serak membuatmu semakin mudah mengingatnya, kemudian kau benar-benar tidak mampu melupakannya. Apalagi setelah mendengar cerita Mang Darman tadi. Ada Yessi di rakit itu, ada Yessi di seluruh hamparan air yang tergenang di Situ Lengkong, ada Yessi di Nusa Pakel, dan ada Yessi di pikiranmu, di seluruh aliran darahmu.
 Perempuan itu awalnya bukan siapa-siapa. Hanya sebatas rekan kerja yang masuk lebih akhir daripada kamu. Namun nyatanya kalian sering sekali pergi bersama dalam satu tim. Membuatmu merasa bahwa dia bukan lagi siapa-siapa. Pulang Kau antarakan dia, kemudian semakin akrablah kalian.
Yessi begitu sopan, menjaga jarak denganmu, menghormatimu sebagai atasan. Namun entah kenapa, justru sikapnya yang pandai menjaga perasaan dan mengatur jarak itulah yang membuatmu kagum kepadannya.
Teleponmu yang kau tinggalkan di dalam mobil berdering, membuyarkan lamunan. Entah kenapa, kau begitu malas menjawabnya. Kau sudah tahu, dari siapa panggilan itu berasal. Sofi pasti akan memberitahumu bahwa ia sudah ada di salon Shanty, salon khusus perwatan perempuan. Ia akan memberitahumu bahwa ia melakukan treatment khusus demi hari bahagia kalian nanti.
"Akang jangan begitu!" Ucap Yessi di jam makan siang dua minggu lalu. Kalian makan bersama dengan tiga orang rekan. Ketika yang lain belum datang berkumpul di meja, tidak sengaja kau dan Yessi mendapatkan kesempatan duduk berhadapan. Kau tentu senang bukan?
"Kenapa, Yessi?" tanyamu kemudian, sambil dada berdebar itu adalah kali pertama kalian duduk hanya berdua di sebuah meja restoran.
"Akang jangan suka perhatian sama saya. Saya tidak enak." Jawabnya sambil senyum begitu manis, kemudian perempuan itu pura-pura sibuk memilih menu makan. Kau dengan leluasa bisa memandang rona pipinya yang bersemu merah.