Memiliki teman yang sangat dekat atau biasa kita sebut sebagai sahabat, memang sangat menyenangkan. Banyak hal yang bisa dilakukan bersama-sama, bahu membahu saling membantu satu sama lain.Â
Namun sisi lain dari sebuah persahabatan, yaitu kita harus benar-benar menerima segala kekurangan dan kelebihan sahaba kita. Kita adalah orang yang paling memiliki kewajiban untuk selalu memaklumi semua kesalahan yang dia buat.Â
Sahabat seolah-olah merupakan tempat yang paling aman untuk seseorang menjadi dirinya sendiri dengan segala bentuk sikap, tidak terkecuali sikap menyebalkan sekalipun.
Dalam persahabatan, Â yang biasanya paling dijunjung tinggi adalah nilai solidaritas. Tentu saja solidaritas yang seharusnya adalah sesuatu yang yang mengarah kepada kebaikkan.Â
Rasa empati, saling membantu dalam kesusahan dan kekurangan. Namun terkadang yang terjadi dewasa ini, solidaritas yang dimaksud lebih kepada kekompakkan negatif. Terutama dalam hal kedisiplinan.Â
Disiplin, selalu identik dengan tepat waktu. Bebeberapa kelompok geng persahabatan, atau bahkan sepasang sahabat masih salah kaprah dalam hal kedisiplinan.Â
Banyak sahabat yang sebetulnya sudah terbiasa disiplin, harus mengorbankan kedisiplinannya demi sahabatnya yang tidak bisa tepat waktu. Jika alasan keterlambatan yang dikemukakan itu bisa diterima dan logis, maka kita wajib memaklumi.Â
Akan tetapi, jika terlambat sudah menjadi kebiasaan teman kita? Masihkah kita mau terus menerus memakluminya? Menjadikannya terus bersikap demikian tanpa mengambil pelajaran?
Dengan alasan kekompakan dan solidaritas, akibatnya semua orang memutuskan menunggu orang tersebut. Akibatnya semuanya terlambat dan tertinggal oleh keretanyang berangkat tepat waktu.Â
Contoh akibat lain, sekelompok mahasiswa dipinta menemui dosen pembimbing pada pukul delapan pagi. Sebagian orang sudah berkumpul di depan ruangan kerja sang dosen.Â