Mohon tunggu...
Dian Suryaningsih Kusumawardani
Dian Suryaningsih Kusumawardani Mohon Tunggu... -

Seorang mahasiswi semester 8 program studi perikanan Fakultas Perikanan Universitas Padjadjaran, Jatinangor

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peran Strategis Perempuan dalam Mencetak Peradaban Mulia

21 April 2014   13:31 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:24 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

B

ulan April kerap diidentikan dengan bulannya perempuan, karena di bulan tersebut terdapat momentum peringatan hari lahirnya R.A Kartini yang sering dianggap sebagai pejuang emansipasi perempuan. Para kalangan feminis pun tidak lupa mengangkat momen ini sebagai ajang untuk menyuarakan ide-ide mereka tentang persamaan hak kaum perempuan dan laki-laki. Pada akhirnya tidak sedikit masyarakat awam yang terjebak pada logika berpikir pengusung feminisme sehingga mereka secara perlahan namun pasti, mulai membenarkan ide tersebut, bahkan ikut mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka. Hal ini didukung pula oleh pemerintah yang berupaya menerapkan kebijakan-kebijakan bernafaskan ide-ide feminisme. Sebut saja seperti RUU KKG (Keadlian dan Kesetaraan Gender) yang telah diusulkan sejak tahun 2011 dan hingga saat ini masih terus dirombak oleh Komisi VIII DPR RI karena menuai pro-kontra dari berbagai pihak.

Ide feminisme dengan konsep emansipasinya seolah menjadi kebutuhan mendasar bagi kaum hawa jika ingin menjadi sosok yang berperan di masyarakat. Sikap yang lahir pada sebagian besar kaum perempuan belakangan ini mencerminkan paradigma berpikir yang cukup kental akan ide feminisme. Mulai dari cara berpenampilan yang ‘bebas’ di depan publik, keinginan menjadi wanita karier (pekerja) yang semakin meningkat –tanpa mempedulikan peran dan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga—, hingga tuntutan kuota keterlibatan perempuan di ranah politik sebagai anggota legislatif. Tanpa sadar, perempuan dalam sistem kapitalis saat ini seolah mengizinkan, bahkan menginginkan dirinya dieksploitasi dari berbagai aspek untuk memenuhi keinginan segolongan pemangku kepentingan. Kebangkitan perempuan pun dinilai oleh sebagian pihak, hanya dapat diraih apabila perempuan dapat berperan total di ranah publik tanpa ada aturan khusus yang membatasi ruang geraknya. Betulkah demikian?

***

Salah Kaprah Konsep Pemberdayaan Peran Perempuan

Sejatinya, jika kita menganalisis lebih mendalam terkait peran perempuan dalam perubahan kondisi suatu bangsa, ide feminisme dan emansipasi justru merupakan konsep yang salah kaprah dalam memandang posisi perempuan itu sendiri. Bagaimana tidak, dengan landasan konsepnya yaitu persamaan hak perempuan dan laki-laki secara equal (setara), menjadikan porsi peran perempuan yang sesuai dengan fitrahnya semakin kabur/tidak jelas. Masyarakat pun dibuat bingung terkait seperti apa implementasi dari konsep peran perempuan berdasarkan sudut pandang kaum feminis dalam sistem kapitalisme, dan sampai sejauh mana batasan-batasan persamaan hak kaum perempuan dan laki-laki yang seharusnya.

Konsep pemberdayaan perempuan dengan ide feminisme dan emansipasi lahir dari sistem kapitalisme-demokrasi yang berpilar pada 4 kebebasan, yaitu kebebasan berakidah, berpendapat, berperilaku dan berkepemilikan. Sejarah pun mencatat bahwasannya ide kesetaraan gender muncul pada saat penerapan sistem kapitalisme di Eropa, pasca Revolusi Perancis, dimana sebagian cendekiawan perempuan mulai merasa kaumnya berada di posisi yang lebih inferior ketimbang laki-laki dalam hal pemenuhan hak asasi dan peran strategisnya. Pada saat itu perempuan begitu direndahkan, hanya sebagai objek pemuas nafsu lelaki dan buruh-buruh pencetak uang bagi perusahaan para kapitalis. Seiring berkembangnya ide pemberdayaan peran perempuan ala feminisme hingga ke benua Amerika, di negara kampiun demokrasi tersebut semakin digencarkan seruan dan program-program yang menuntut kontribusi perempuan dalam perubahan kondisi bangsa melalui sistem demokrasi. Bahkan, sebagai negara adidaya-imperialis, Amerika dengan ideologi kapitalismenya, berusaha mencengkramkan kukunya di negeri-negeri mayoritas muslim, seperti di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan dalam rangka menancapkan ide feminisme di benak kaum muslimin, seperti diadakannya konvensi CEDAW, maupun program MDG’s (Millenium Development Goals) yang berhasil mengaburkan pandangan masyarakat terhadap peran hakiki dari perempuan.

Hingga hari ini, problematika yang menjadi realita kaum perempuan belumlah usai, bahkan seolah tidak berujung. Kemiskinan, lemahnya daya beli akibat kenaikan harga berbagai komoditas bahan pokok, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan, serta ketidakberdayaan perempuan untuk berperan sesuai fitrahnya di tengah masyarakat,merupakan hal yang lazim dijumpai pada sistem kehidupan saat ini. Sebagian pihak menilai bahwa satu-satunya jalan perubahan hakiki bagi permasalahan kaum perempuan adalah dengan memaksimalkan peran strategisnya melalui sistem demokrasi. Para pengusung ide feminisme pun mendorong pemerintah untuk memenuhi hak perempuan dalam menyuarakan aspirasinya di badan legislatif (DPR). Mereka yakin, apabila keberadaan anggota legislatif perempuan semakin besar jumlahnya, maka permasalahan kaum perempuan dapat dituntaskan melalui pelegislasian aturan/UU yang memihak perempuan. Keinginan kaum feminis akhirnya seiring selangkah dengan pemerintah Indonesia yang mengesahkan kuota 30% partisipasi perempuan di ranah politik sebagai anggota parpol dan anggota legislatif. Apakah upaya ini berhasil mengubah kondisi perempuan menjadi lebih baik dari sebelumnya? Ternyata tidak sama sekali.

Terbukti, penerapan ide feminisme dalam sistem kapitalisme-demokrasi gagal menjadikan perempuan sebagai sosok mulia yang patut dilindungi kehormatannya, lengkap dengan peran strategisnya di ranah masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada negara-negara yang telah menerapkan ide tersebut, dimana yang terjadi adalah kekacauan dan kerusakan tatanan masyarakatnya. Misalnya yang terjadi di negara-negara Eropa, dimana kaum perempuan diposisikan setara dengan kaum laki-laki, yang terjadi adalah eksploitasi dan ketidakpedulian terhadap perempuan. Ekspolitasi terhadap perempuan sebagai hasil penerapan sistem kepitalis-sekulerisme, disadari atau tidak, terjadi pada berbagai lini kehidupan perempuan. Di aspek ekonomi, keindahan perempuan dijadikan sebagai objek penarik minat konsumen laki-laki untuk berbagai produk di pasaran. Perempuan pun diperlakukan sebagai mesin pencetak uang karena sifatnya sebagai pekerja yang ulet dan rela diupah lebih rendah daripada laki-laki.

Di aspek yang lain, terkait peran strategis perempuan untuk perubahan, terjadi distorsi peran yang sangat besar dan menghancurkan tatanan keluarga bahagia. Peran perempuan dalam sistem demokrasi diposisikan tidak sesuai dengan fitrahnya, karena perempuan dituntut untuk beraktivitas di ranah publik secara maksimal tanpa mengingat peran yang sesungguhnya. Ketika fenomena wanita karier dan politisi semakin marak, maka perpecahan keluarga tidak dapat terelakkan lagi. Suami dan istri sudah kehilangan peran yang sesungguhnya, suami menjadi pengurus anak-anak di rumah, sementara istri berambisi mengejar karier di luar rumah hingga urusan rumah terbengkalai dan kemudian anak-anaklah yang menjadi korbannya. Permasalahan tersebut berujung pada terbentuknya generasi muda yang tumbuh dengan karakter lemah, mudah putus asa akibat kurangnya curahan kasih sayang dari sosok seorang ibu dan menjadikan mereka menjalani kehidupan tanpa arah yang jelas. Tidak heran jika yang terjadi adalah pergaulan bebas, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, hingga kriminalitas pada anak, semuanya menunjukkan hancurnya tatanan hidup keluarga akibat penerapan sistem kapitalisme.

Islam Datang untuk Memuliakan Peran Perempuan

Peran seperti apakah yang semestinya dijalankan oleh seorang perempuan, khususnya muslimah ketika ingin mengubah kondisi suatu bangsa? Jelas, ketika kita pada fitrahnya adalah manusia yang diciptakan oleh Zat Yang Maha Pencipta, maka segala permasalahan hendaknya dikembalikan kepada panduan hidup yang diberikan oleh Zat Yang Maha Mengatur pula, yakni Allah Azza wa Jalla. Otomatis, untuk mencari penjelasan mengenai peranan yang hakiki dari seorang manusia pun, baik laki-laki maupun perempuan, tentu tidak lain hanyalah bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup.

Dalam Islam, Allah subhanahu wa ta’ala tidak membeda-bedakan kedudukan perempuan dan laki-laki di hadapan-Nya kecuali berdasarkan tingkat ketakwaan masing-masing. Mengenai peran, kewajiban dan hak mendasar pun, Islam menempatkan laki-laki dan perempuan sesuai porsinya. Adil bukan berarti sama/setara dalam segala hal, tetapi keadilan dapat dirasakan ketika setiap pihak ditempatkan secara proposional sesuai dengan fitrah yang telah Allah swt. ciptakan sedemikian rupa. Islam menjadikan perempuan dan laki-laki bukan sebagai rival/saingan untuk mencapai posisi yang superior satu sama lain. Akan tetapi, justru Islam melalui al-Qur’an memerintahkan manusia, baik laki-laki maupun perempuan sebagai partner yang saling tolong-menolong dalam kebenaran. Sebagaimana firman Allah ta’ala,

Orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kemakrufan dan mecegah kemungkaran.” (QS at-Taubah [9]: 71)

Terkait peran perempuan dalam perubahan, maka Islam memberikan peluang yang sangat besar bagi perempuan untuk berkontribusi aktif di tengah masyarakat, dengan tetap menjunjung tinggi kemuliaan mereka. Dalam Islam, secara garis besar peran hakiki perempuan terdapat pada dua ranah, yaitu ranah domestik (keluarga/rumah tangga) dan ranah publik. Pada ranah domestik, peran utama perempuan untuk mengubah kondisi ummat ialah sebagai ummu wa rabatul ‘bait (ibu manajer rumah tangga) dan ummu ajyal (ibu pencetak generasi). Sesungguhnya, peran sebagai ibu rumah tangga tidak dapat dipandang sebelah mata, bahkan dijadikan stereotip bagi kaum hawa. Mengapa demikian? Sebab, hakikatnya yang menentukan kualitas generasi penerus bangsa tidak lain adalah seorang ibu yang menjalankan perannya sebagai madrasatul ‘ula (sekolah pertama dan utama).

Di ranah publik, seorang muslimah bukan berarti tidak dapat beraktivitas secara optimal dan produktif. Islam pun mewajibkan bagi kaum muslimin, laki-laki dan perempuan untuk menjadi seseorang yang berpikir politis dan melakukan berbagai aktivitas politis. Tentu, politik di sini bukan dari sudut pandang kacamata demokrasi, dimana politik identik dengan kekuasaan dan jalan meraih kekuasaan untuk meraup keuntungan materi semata. Akan tetapi yang perlu dipahami bahwa politik dalam Islam adalah ri’ayatun syu’unil ‘ummah (mengurusi urusan masyarakat). Oleh sebab itu, aktivitas yang dapat dilakukan seorang muslimah untuk berperan dalam mengubah kondisi masyarakatnya bukan dengan jalan demokrasi sebagai anggota dewan legislatif. Melainkan, aktivitasnya tidak lain dan tidak bukan ialah senantiasa melakukan dakwah untuk ber-amar ma’ruf nahyi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran) di tengah masyarakat. Dakwah pun tidak sembarang dakwah, akan tetapi dakwah dalam rangka mencerdaskan masyarakat untuk berjuang bersama mengubah sistem demokrasi yang bathil saat ini, menjadi satu-satunya sistem yang diridhoi oleh Allah subhanahu wa ta’ala, yakni Islam dalam naungan Khilafah. Perjuangan mengubah sistem tersebut dapat dilakukan dalam sebuah partai/kelompok yang memiliki landasan ide berupa Islam yang kaffah (menyeluruh) denganmetode perjuangan untuk perubahan yang meneladani seutuhnya perjuangan dakwah Rasulullah saw. [Wallahu ‘alam bi shawwab]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun