Pernah mendengar jajanan atau kuliner khas Kutoarjo "Dawet Ireng Jembatan Butuh Kecamatan Butuh"? Jika Anda melintasi jalan raya Kebumen-Kutoarjo-Purworejo-Yogyakarta, tak ayal jika sepanjang perjalanan acapkali Anda melihat tulisan "Dawet Ireng Kutoarjo". Lebih tepatnya kuliner ini dikenal sebagai jajanan pelepas dahaga di siang hari, berbentuk dawet atau cendol berwarna hitam (hitam=ireng; dalam bahasa Jawa).Â
Dawet atau cendol bukan hanya ada dan terkenal di Kutoarjo saja, tetapi juga daerah lainnya seperti Bandung, Banjarnegara, Jepara, dan Ponorogo. Sebetulnya cendol dan dawet berbeda dalam penyebutannya saja. Sebagian masyarakat di Jawa Barat menyebutnya dengan cendol, dan masyarakat Jawa Tengah menyebutnya dengan dawet.Â
Salah satu cendol terkenal di Bandung, Jawa Barat yang sangat terkenal adalah "Cendol Elizabeth", di Banjarnegara ada "Dawet Ayu Banjarnegara", di Ponorogo ada dawet terkenal yaitu "Dawet Jabung", dawet Jepara tidak kalah terkenal juga yaitu "Dawet Mentingan", tetapi tidak kalah hits dan menggelitik jika Anda pernah mendengar "Dawet Ireng Jembut Kecabut".Â
Untuk penikmat kuliner yang baru mendengarnya, mungkin terdengar tabu dan menggelitik dengan dawet dari Kecamatan Butuh Kutoarjo. Eits...jangan dulu berpikir negatif dengan "Dawet Ireng Jambut Kecabut". Dawet yang berwarna ireng ini memang sedikit berbeda dengan dawet Jawa Tengah seperti Banjarnegara, dan jepara apalagi Ponorogo Jawa Timur.
Jika dawet lainnya berwarna hijau karena terbuat dari daun suji dan pandan, dawet ini berwarna hitam karena pewarnanya terbuat dari merang. Untuk penamaan yang menggelitik dan aneh, mungkin hanya sebuah kebetulan saja karena secara letak geografis dawet ireng ini  memang berada di kecamatan Butuh dan di depan Jembatan Butuh. Dua akronim dawet yang diambil dari jembatan Butuh, dan kecamatan Butuh itulah yang membuat dawet tersebut menggelitik bagi penikmat kuliner yang baru saja mendengarnya.
Akronim yang melekat pada dawet ireng ini memang tidak semua orang tahu, entah siapa yang pertama kali memviralkan akronim jembatan Butuh, kecamatan Butuh.
Bukan hanya sebagai orang asli dari kecamatan Butuh Kutoarjo yang membuat saya tergelitik untuk membuat artikel ini, akan tetapi jajanan sebuah kecamatan di Kutoarjo ini bisa membuat orang tersenyum-senyum ketika pertama kali mendengarkan dawet ireng dari desa Butuh. Banyak cara orang untuk menyebarluaskan kuliner di kotanya, market atau pemasaran yang paling cepat salah satunya adalah dengan cara membuat akronim yang unik dan menggelitik.Â
Untuk Anda pecinta dan penikmat kuliner daerah, jika melintasi kota Kutoarjo tidak ada salahnya jika Anda mencicipi dawet ireng Pak Wagiman ini, Anda bisa mencampur dawet ini dengan tapai ketan yang biasanya disandingkan oleh penjual ketika pembeli menikmati dawet ireng. Tak usah heran jika Anda ketagihan untuk menambah mangkuk kedua saat mencicipi dawet ireng Pak Wagiman.Â
Dawet ini disajikan di mangkuk kecil, jangan takut batuk ketika Anda menikmati dawet ireng jembatan Butuh, karena gula dalam dawet ireng ini terbuat dari gula aren yang dicairkan tanpa tambahan pengawet ataupun pemanis buatan. Rasanya belum afdol jika Anda melakukan perjalanan dan wisata kuliner di Kutoarjo jika belum mencicipi sensasi pelepas dahaga dawet ireng Pak Wagiman yang memiliki keunikan dengan akronim yang menggelitik
   Â
Guru SMAN 17 Kota Bekasi