Ada 4 elemen kesehatan: fisik, mental, spiritual dan sosial. Tidak ada elemen yg boleh diabaikan dari keempatnya untuk bisa disebut sehat.
Tanggal 10 Oktober adalah Hari Kesadaran Kesehatan Jiwa Sedunia (Mental Health Awareness Day) yang diperingati sejak tahun 1992. Tema tahun ini adalah "Living with Schizophrenia"
Data WHO tahun 2001 menunjukkan 1 dari 4 orang di dunia mengalami masalah kejiwaan atau neurologis pada titik tertentu dalam kehidupannya (http://www.who.int/whr/2001/media_centre/press_release/en/)
Ini berarti siapa saja bisa terkena, bisa anda atau orang yg anda cintai, ini berarti isu kesehatan jiwa adalah isu kita semua. Tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa, there is no health without mental health.
Yang termasuk masalah kejiwaan sangat luas spektrumnya. Mulai dari depresi klinis, skizofrenia, berbagai jenis gangguan atau disorder seperti anxiety, obsesif-kompulsif, bipolar, pasca-trauma depresi dll. Gangguan neurologis seperti epilepsi dan spektrum autisme.
Masalah atau gangguan kejiwaan merupakan salah satu penyebab utama disabilitas dan menurunnya produktivitas dan kualitas hidup. Namun penanganan dan pengobatan masalah ini juga menghadapi berbagai hambatan berupa stigma, diskriminasi dan pengabaian/penelantaran.
Stigma yg melekat pada masyarakat luas seumpama tembok besar yg mentertawakan orang yg berjuang menghadapi masalah kesehatan jiwa dan akhirnya menghambat efektivitas penanganan dan pengobatan. Penyakit kejiwaan dianggap aib, sesuatu yg harus disembunyikan. Atau sebaliknya, begitu mudah orang melontarkan cap 'sakit jiwa'pada pelaku kejahatan. Kita harus berhati-hati dalam hal ini jangan menyamaratakan kriminal murni alias orang yg memang berniat jahat dengan orang yg memiliki gangguan kejiwaan, yg akhirnya justru akan menjustifikasi sang kriminal.
Diskriminasi dan pengabaian juga kenyataan yg harus dilawan dan didobrak. Diskriminasi dalam dunia kerja atau pendidikan, atau bahkan kehidupan sehari-hari. Pengabaian atau penelantaran menganggap orang dengan gangguan kejiwaan sebagai tidak berharga/warga kelas sekian atau bahkan tidak layak hidup sehingga banyak kasus pemasungan. Dua pertiga dari jumlah orang dengan kondisi atau  penyakit kejiwaan tidak memiliki akses atau tidak tahu atau merasa tidak perlu akan pertolongan tenaga kesehatan/profesional.
Hambatan lain adalah belum ada atau masih minimnya kebijakan negara yg memberi prioritas pada penanganan masalah kejiwaan. Target yg dicanangkan seharusnya adalah mengurangi peran institusi jiwa yg bersifat massal dan lebih fokus menyediakan pelayanan pemeriksaan kesehatan jiwa di tingkat primer, sebanyak dan seluas mungkin, ditambah dengan informasi dan edukasi baik untuk pasien maupun keluarganya.
Sebagian besar orang dg masalah kejiwaan sebenarnya jika ditangani dan mendapat terapi yg tepat bisa tetap produktif dan berkarya seperti biasa dg kualitas hidup yg baik, walau memang ada yg bisa pulih dan ada juga yg harus menjalani pengobatan jangka panjang.
Di Indonesia akhirnya RUU Kesehatan Jiwa baru digolkan menjelang akhir masa kerja parlemen sebelumnya (Juli 2014) buah perjuangan seorang dokter spesialis kesehatan jiwa (http://novariyantiyusuf.net/kesehatan-jiwa/ruu-kesehatan-jiwa/item/196-naskah-akademik-ruu-kesehatan-jiwa-final-26-juni-2014#.VDdQQGQayc1) setelah kebijakan pertama dulu ditetapkan pada jaman presiden Soekarno.
Sekian lamanya institusi mental identik dengan 'orang gila', seram dan menyedihkan. Kini perlahan ada perbaikan pada fasilitas tsb.
Semoga masyarakat Indonesia semakin sadar dan faham bahwa masalah kejiwaan bukanlah aib dan juga semakin bisa mendapat akses penanganan dan perawatan yang semakin baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H