Secara etimologis, kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti adat kebiasaan atau watak kesusilaan. Sedangkan secara terminologi etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang persoalan baik dan buruk yang didasarkan kepada akal dan pikiran manusia. Sedangkan menurut Ahmad Amin dalam Abudin Nata, etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbaiki. Sedangkan dari sudut pandang filsafat, etika adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang tingkah laku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia.
Menurut etimologis, moral berasal dari bahasa latin “mores”, bentuk plural dari more, artinya adat atau kebiasaan. Sedangkan secara terminologi, menurut Sidi Gazalba, adalah kesesuaian dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang buruk, mana wajar, dan tidak wajar, mana pantas dilakukan, dengan tidak pantas dilakukan. Jadi, moral adalah tindakan yang umum sesuai dengan dan diterima oleh lingkungan tertentu atau kesatuan sosial tertentu. Dalam pengertian yang lain, moral adalah aturan baik buruk yang didasarkan kepada tradisi, adat budaya yang dianut oleh sekelompok masyarakat juga bertujuan untuk terciptanya keselarasan hidup manusia.
Adapun pengertian akhlak, secara bahasa kata akhlak berasal dari bahasa Arab, أخالق yang merupakan bentuk plural dari kata khuluq (خلق) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, tabiat, tata krama atau karakter. Kata akhlak juga berasal dari kata khalaqa atau khalaqun artinya kejadian, serta erat kaitanya dengan “khaliq” yang artinya menciptakan tindakan atau perbuatan. Sedangkan pengertian akhlak secara terminologi, ada beberapa pendapat sebagian ulama. Menurut Ibnu miskawaih, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pemikiran dan pertimbangan sebelumnya. Sedangkan Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai segala sifat yang tertanam dalam hati, yang menimbulkan kegiatan-kegiatan dengan ringan dan mudah tanpa memerlukan pemikiran sebagai pertimbangan. Jadi, akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul di setiap ia bertindak tanpa merasa sulit karena sudah menjadi budaya sehari-hari.
Dari segi sifatnya, akhlak dibagi menjadi Akhlak yang terpuji (Al-Akhlaq Al Mahmudah) dan tercela (Al-Akhlaq Al Madzmumah). Jika perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan itu sejalan dengan ajaran Islam atau bersumber kepada al-Qur’an dan al-Hadits, disebut akhlak yang baik, bila bertentangan, maka itu tercela. Menurut Imam Al-Ghazali, berakhlak mulia atau terpuji artinya menghilangkan suatu adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam ajaran Islam, serta menjauhkan diri dari perbuatan tersebut, kemudian membiasakan kebiasaan baik, melakukannya dan mencintainya. Sedangkan akhlak tercela Menurut Imam al-Ghazali, merupakan akhlak yang dikenal dengan sifat-sifat muhlikat (yang membinasakan). Yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawa kepada kebinasaan dan kehancuran diri sendiri yang bertentangan dengan fitrahnya. Akhlak memiliki bentuk hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Dimensi vertikal berupa akhlak terhadap Allah, sedangkan dimensi horizontal berupa akhlak kepada sesama dan akhlak kepada lingkungan (ekologi).
Akhlak Terhadap Allah SWT
Akhlak dalam Islam terbangun dari kesadaran manusia bahwa Allah SWT adalah tuhan yang telah menciptakan manusia dari ketiadaan sebelumnya, beserta alam semesta dengan segenap isinya. Atas kesadaran inilah diwujudkan dalam bentuk akhlak kepadanya. Setiap muslim wajib berakhlak kepada Allah SWT dengan akhlak yang mulia dalam bentuk perilaku sebagai berikut:
1. Mentauhidkannya (mengesakan)
Mentauhidkan artinya mengesakan Allah tanpa ada kesyirikan di dalamnya. Meyakini bahwa hanya Allah sebagai maha pencipta alam semesta beserta isinya sehingga hanya ia yang berhak untuk disembah. Seperti tercantum dalam Q.S Al-Ikhlas ayat 1-4, yang jika disimpulkan berisi bahwa Allah SWT merupakan dzat yang Esa,semua makhluk di alam semesta ini bergantung kepada-Nya, dan tidak ada suatu apapun yang kedudukannya setara dengan dia.
2. Beribadah
Manusia adalah seorang “Abid” atau hamba yang memiliki tanggung jawab kepada tuhannya untuk beribadah sebagai bentuk komitmen dan loyalitas keimanan. Seperti tercantum dalam Q.S Adz-Dzariyat ayat 56, yang jika disimpulkan berisi bahwa Allah SWT menciptakan jin dan manusia hanya bertujuan agar mereka taat beribadah kepada-Nya.