14 Tahun Berdiri, Ciptakan Kesenjangan Politik?
Berbicara Banten, sebenarnya ini mengatakan wilayah yang cukup potensial akan kekayaan alam, keberagaman budaya, bahasa, maupun kegiatan ekonomi tersendiri. Namun, setelah 14 tahun berdiri, jurang kesenjangan masyarakat Banten tak dapat dihindari. Selain kemiskinan sosial dan ekonomi, Banten tajam dengan kesenjangan politiknya.
Hal sederhana ini bermula dari segi pendidikan. Tengok saja Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sukatani 2, yang berada di Desa Sukatani, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Banten yang kondisinya masih sangat memprihatinkan, seperti dilansir Merdeka.com (17/09/14), dan SMP Satu Atap Ranca Labuh, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, Banten. Melihat lokasinya yang berada di Kabupaten Tangerang, sebenarnya SMP Satu Atap Ranca Labuh tidak terlalu jauh dari Jakarta. Namun, kondisi sekolahnya sungguh memprihatinkan. Belum lama, kondisi jalan menuju ke sekolah tersebut yang masih berlapis tanah, yang terasa sangat licin jika musim hujan. Dilansir oleh suarakarya-online.com (12/01/11).
Itu merupakan contoh dari gagalnya pemerintah menjangkau element penting dalam pembangunan daerah. Masyarakat Banten memiliki kebutaan politik, karena sampai sejauh 14 tahun bahkan masalah pendidikan saja masih sulit dijamah. Entah saat berkampanye dulu, daerah daerah tersebut diatas mungkin lupa disambangi oleh para kaum politik. Aspek rendahnya pendidikan dan kemiskinan menjadi penyumbang terbesar terhadap kebutaan paham politik. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik serta kebutuhan ekonomi sesaat menjadi peluang yang empuk bagi elit politik.
Terdapat sebuah hipotesis, bahwa setiap rezim yang berkuasa akan dengan sengaja menciptakan kondisi keterbelakangan tersebut, sehingga memudahkan bagi sebuah rezim untuk melanjutkan kekuasaannya baik bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya. Kemiskinan dan kebodohan menjadi lumbung suara bagi rezim untuk kembali dan terus berkuasa. Inilah yang menjadi sorotan kesenjangan politik dalam provinsi potensial kekayaan alam dan budayanya.
Pemerintahan di Banten yang bersifat dinasti, tidak memberikan pendidikan politik yang baik bagi rakyat. Prinsip fairness dalam demokrasi banyak yang dilanggar misalnya saja money politics, mobilisasi birokrasi, kampanye terselubung, dan beberapa praktek lainnya yang memang melemahkan esensi dari demokrasi itu sendiri. Orang lain tidak memiliki akses yang sama untuk menjadi pemimpin dan memiliki kekuasaan yang seharusnya diperebutkan secara jujur dan terbuka ini. Karena sumber daya politik dan ekonomi sudah dikuasai oleh sekelompok orang, sehingga orang lain menjadi tidak berdaya untuk melakukan perlawanan secara politik. Jelas hal demikian membuat kesan bahwa politik hanya menjadi milik kaum penguasa sebelumnya atau yang sering disebut dinasti politik. Seketika, pihak lain menjadi lemah, dan ini jelas menggambarkan kesenjangan politik yang kental di Banten.
Politik hanya menjadi milik oknum yang sudah berkuasa, dan akan diturunkan pada keturunan penguasa, masyarakat yang lain sejak awal sudah tidak memiliki modal sebesar yang telah dikumpulkan pihak penguasa pada rezimnya, maka masyarakat biasa mutlak lemah secara politik.
Praktek dinasti politik yang menciptakan kesenjangan politik ini mulai dapat dihentikan, diantaranya melalui pendekatan kultural yaitu dengan adanya kesadaran bagi para elit politik beserta keluarganya untuk menahan diri terhadap nafsu berkuasa, serta melalui pendekatan struktural yaitu dengan adanya aturan negara yang memantau dan membatasi praktek dinasti politik ini. Setelah dua hal itu, baik jika pemerintah inisiatif untuk memulai membangun sektor pendidikan, agar generasi Banten dapat membuka jendela pengetahuan tentang sistem politik yang baik guna membangun Banten lebih baik. (di)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H