Mohon tunggu...
Dian Purnomo
Dian Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Seorang penulis lepas yang mengaabadikan beberapa praktik baik, biografi dan menulis non fiksi di sela-selanya. Crime-enthusiast, praktisi perlindungan anak, pejalan dan pemburu beasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sudahkah Kita Memeluk Orang Tua Kita?

30 Mei 2014   01:03 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:58 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seberapa sering anda berkomunikasi dengan orang tua yang tidak lagi tinggal bersama? Saya termasuk yang tidak terlalu sering. Seminggu dua sampai tiga kali. Itupun lebih sering ibu saya yang menelepon. Keempat anak ibu dan bapak saya lebih dekat pada ibu, karena beliau sangat ceriwis dan selalu ada bahan pembicaraan. Sementara bapak yang tidak seceriwis ibu, memaksa kita untuk menciptakan tema pembicaraan. Kami kadang punya masalah dengan hal tersebut. Sampai suatu masa, ibu saya memaksa kami untuk berbicara dengan bapak lebih sering. Alasannya adalah, karena suatu hari bapak bilang, “Iya, sekarang kalau ada apa-apa kan kamu. Aku kan udah nggak punya uang lagi, udah nggak dibutuhkan.” Tentu saja ini membuat saya merasa sangat berdosa. Tentu saja kami anak-anak mereka tidak bermaksud mengabaikan bapak, apalagi sampai membuatnya merasa seperti habis manis sepah dibuang. We love them both equally. Kalau kami berbicara lebih banyak dengan ibu, itu karena ibu memang sangat suka berbicara. Kami menanyakan kabar bapak kok, walaupun tidak berbicara dengannya secara langsung. Kami segera membuat pembenaran-pembenaran tersebut.

Saya rasa ilustrasi tentang bapak saya di awal mewakili perasaan banyak orang tua lain di muka bumi ini. Diabaikan, disepah setelah habis manisnya, atau perasaan-perasaan lain lagi yang mungkin muncul.

Hari ini, 29 Mei adalah Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN). Namun ada beberapa hal yang selama ini sering luput dari perhatian kita, bahkan lembaga sebesar PBB-pun luput memperhatikan hak-hak lansia. Ketika mereka dengan gigih membuat konvensi hak asasi manusia, di mana beberapa diantaranya secara spesifik disebutkan kategorinya, seperti perempuan, anak, orang dengan disabilitas dan orang yang berada di dalam pemenjaraan, lansia tidak disebut secara spesifik. Padahal lansia adalah salah satu kelompok rentan yang berpotensi menjadi korban kekerasan, baik secara fisik, psikologis, finansial dan bentuk kekerasan lain. Kita juga sering terpapar pemberitaan tentang kekerasan terhadap lansia. Orang tua yang dibunuh oleh anaknya sendiri, karena mereka malu pada beberapa perbuatan orang tuanya yang mulai ‘aneh-aneh’, orang tua yang ditelantarkan oleh anaknya sementara harta warisan dikuasai oleh anak-anak. Name it, kalau kita klik google dengan kata kunci kekerasan terhadap lansia, kita akan menemukan jauh lebih banyak berita dari yang kita harapkan.

Lalu apa yang harus kita lakukan untuk tidak menjadi bagian dari pelaku kekerasan terhadap orang tua? Well, saya yakin anda pasti lebih tahu apa yang harus dilakukan di lingkungan terdekat. Tetapi untuk skup yang lebih besar, kita harus bersama-sama membantu mendorong pemerintah dan swasta untuk berbuat lebih banyak untuk melindungi hak-hak lansia, memfasilitasi mereka dengan fasilitas yang ramah lansia. Hak-hak seperti kesehatan, fasilitas transportasi, pekerjaan, hak untuk didengarkan pendapatnya, dan sebagainya. Yang saya tahu, beberapa kota sudah berencana untuk menjadikan kota mereka ramah lansia, termasuk Jakarta. Tetapi memiliki kota ramah lansia saja tidak cukup. Berkaca dari orang-orang terdekat saya, ketika memasuki masa pensiun dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan, maka kemampuan otak untuk berpikir juga melambat, secara mental dan fisik orang-orang yang sudah lansia menjadi tidak aktif lagi. Sementara di negara-negara maju lain, negara memberi ruang untuk lansia melakukan kegiatan yang membuat mereka aktif secara mental dan fisik, sekaligus memberikan penghasilan tambahan bagi mereka. Sementara di Indonesia, fasilitas tersebut tidak ada. Maka tidak heran, kalau kasus orang tua merasa diabaikan karena tidak lagi menjadi penopang keuangan keluarga memang memiliki alasan.

Hal lain lagi, di Indonesia masih ada kultur yang menganggap bahwa anak yang menitipkan orang tuanya ke panti wreda adalah anak yang careless. Anak yang tidak mau mengurus orang tua, tidak tahu terima kasih, anak durhaka. Padahal menurut saya tidak selalu seperti itu. Berapa banyak kasus dimana orang tua tetap tinggal bersama anak, tetapi diperlakukan dengan buruk. Jauh lebih bijaksana menempatkan orang tua bersama dengan orang-orang sebayanya di panti wreda, mengunjungi mereka beberapa kali seminggu dan menunjukkan kasih sayang, dibandingkan bertemu setiap hari dengan wajah masam atau perkataan kasar. Yang menjadi masalah di Indonesia, jumlah panti wreda tidak memadai, kalau toh ada, fasilitasnya kurang bagus. Panti wreda dengan fasilitas baik, biasanya mematok harga yang mahal untuk menitipkan orang tua di dalamnya. Sementara tidak semua orang memiliki akses terhadap keuangan.

Masalah lansia yang tidak kalah pentingnya adalah masalah kesehatan. Bahwa semakin tua, tubuh akan semakin lemah, tentu tidak dapat disangkal. Tetapi memaklumi semua penyakit orang tua adalah hal yang tidak wajar, pengabaian. Ingat bahwa tidak semua orang tua selalu renta dan sakit. Artinya, ketika ada orang tua kita yang mengeluhkan sakit tertentu, maka mereka harus mendapatkan diberikan akses terhadap pengobatan atau perawatan. Karena pengabaian terhadap satu penyakit, akan mendorong terkumpulnya penyakit-penyakit yang lain.

Nah, untuk itulah saya dan teman-teman dari yayasan Among Lansia dan Alzheimer Indonesia ingin mengajak anda bergerak memberikan dukungan untuk mendorong pemerintah melakukan perubaha untuk perbaikan kondisi lansia di Indonesia. Kita tidak akan selamanya muda. 20 tahun yang lalu saya baru lulus dari bangku SMA, dan rasanya masih segar sekali di ingatan saya masa-masa itu. Yang artinya, 20 tahun yang akan datang ketika saya bisa disebut lansia awal juga akan datang begitu cepat, right before we know it. Kita semua akan menjadi lansia jika Tuhan mengijinkan, suka atau tidak suka. Sekarang kakek-nenek mungkin ayah-ibu kita sudah menjadi korban dari keterbatasan akses yang bisa memberikan fasilitas kemudahan bagi mereka, apakah kita akan menjadi korban berikutnya? Kalau kita tidak bergerak sekarang, kalau kita menunggu anak cucu kita, maka akan butuh waktu lebih lama lagi. Perubahan memakan setidaknya 10 – 30 tahun. Semakin cepat kita memulai, semakin cepat kita menciptakan kemudahan bagi diri kita sendiri.

Sekali lagi, selamat Hari Lansia, sudahkah anda peluk orang tua anda hari ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun