Mohon tunggu...
Dian Pratiwi Pribadi
Dian Pratiwi Pribadi Mohon Tunggu... -

Bekerja dan belajar bersama rakyat www.kibar-kediri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sosok Petani Perempuan Mandiri

13 Desember 2011   08:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:23 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Profil Ibu Warsu’in menggambarkan seorang petani perempuan yang mandiri ditengah kehidupan yang makin sulit bagi petani Indonesia. Bu Su’in, begitu dia biasa dipanggil, sekarang berusia 40 tahun dan mempunyai dua orang anak. Anak laki-laki pertamanya baru saja menikah dan anak perempuannya masih duduk di bangku SD. Bu Su’in bersama suami dan anak-anaknya hidup tenteram di Lingkungan Pesantren, Dukuhan Petungsewu, Dusun Besuki, Desa Jugo, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri. Sebelum menikah, Bu Su’in tinggal bersama kedua orang tuanya di Dusun Klethak, Desa Kanyoran, Kecamatan Semen yang bertetangga dengan Kecamatan Mojo. Kehidupan Bu Su’in sungguh tenang dan nyaman di kaki Gunung Wilis dengan ketinggian kurang lebih 700 dpl yang sejuk dan segar udaranya, sejauh 25 km dari Kota Kediri. Sebagai seorang petani yang hidup turun-temurun dari bertani, Bu Su’in belajar dari orang tuanya, dari masyarakatnya, dari alamnya. Dinamika kehidupan manusia juga dialami oleh Bu Su’in, meski hidup jauh dari perkotaan dimana perubahan dan arus informasi berlangsung dengan cepat.

Berbekal tanah seluas kurang lebih 1/8 hektar, Bu Su’in membangun kehidupan bersama keluarganya dengan bertani. Karena Desa Jugo hanya berjarak sekitar 10 km dari ibukota kecamatan, maka teknik bertani yang dipraktekkan relatif sama seperti informasi dari Penyuluh Pertanian setempat dan yang diterapkan oleh mayoritas petani di desanya. Revolusi Hijau yang mendasari Kebijakan Pembangunan Pertanian Pemerintah Indonesia sejak tahun 1980-an masih diterapkan dalam praktek bertani sekarang ini, meski makin lama dirasakan makin sulit meraih keuntungan bagi petani akibat makin tingginya biaya produksi. Apalagi dampak atas penggunaan input kimia buatan ke lahan pertanian makin membuat lahan tandus atau ‘bantat’.

Suatu saat Bu Su’in mengikuti pertemuan kelompok ibu-ibu Dukuhan Besuki yang biasanya diisi dengan tahlilan dan arisan, namun saat itu disisipi pemaparan tentang Pertanian Organik oleh seorang staf LSM di akhir pertemuan. Atas dasar kesadaran akan keberlanjutan kehidupan yang lebih baik dengan menerapkan pola bertani yang lebih ramah lingkungan, maka kelompok sepakat mensolidkan diri menjadi kelompok tani perempuanWilis Tani. Aktivitas selanjutnya di kelompok ini adalah mengembangkan Pertanian Organik yang berkelanjutan, yaitu pada awalnya praktek berbagai macam resep pembuatan pupuk dan pestisida organik kemudian menerapkannya di lahan dan tanaman. Ada juga ide untuk mengolah hasil pertanian mereka menjadi makanan dengan nilai ekonomi lebih tinggi.

Pada prosesnya kemudian, dari sekian anggota kelompok Wilis Tani, Bu Su’in lah yang paling rajin dan telaten dalam menerapkan Pertanian Organik di lahannya bersama keluarganya serta mengembangkan pengolahan produk pertanian. Pembuatan dan pemakaian Pupuk Ragi Kusno, berbagai pestisida dari bahan alami, benih jagung buatan sendiri, pengembangan ternak sapi dan kambing serta pengolahan keripik gothe menjadi andalan peningkatan pendapatan bagi Bu Su’in dan keluarganya.. Bu Su’in akhirnya sering mengikuti berbagai pertemuan dan pelatihan terkait pengembangan pertanian bersama LSM sehingga bermanfaat bagi peningkatan kapasitasnya sebagai seorang petani, mulai di tingkat desa sampai keluar kota. Dalam bertani, Bu Su’in sudah bisa mencapai 100% pemakaian input organik di lahannya dengan peningkatan produksi yang cukup signifikan Bu Su’in mulai dipandang oleh warga di lingkungannya sebagai seorang petani yang sukses dan maju. Bahkan karena posisi rumah tempat tinggalnya cukup strategis, menjadi jalan persimpangan bagi banyak petani untuk bertanya dan menggali ilmu yang dimiliki Bu Su’in sehingga dia bisa berhasil seperti itu.

Mulai terlihat perubahan dari sisi kepribadian Bu Su’in. Kalau sebelumnya dia adalah seorang yang pendiam, rendah diri, susah bicara, bahkan sampai sakit-sakitan saking groginya bila berada didepan publik, Bu Su’in menjadi sosok yang penuh percaya diri, bicara lantang, tegas dan teratur, pemberani serta berkemauan keras dan penuh optimisme. Bu Su’in terasah oleh semangat kerja kerasnya mengelola usaha taninya dan tempaan oleh masyarakat yang sering berinteraksi dengannya. Ditengah lingkungan pedesaan yang masih menomorduakan suara perempuan, Bu Su’in menjadi bunga diantara rerumputan. Dalam forum yang didominasi oleh laki-laki, Bu Su’in memberi warna hingga mampu mempengaruhi pengambilan keputusan.

Ketangguhan Bu Su’in makin tampak pada saat terjadi kasus penggusuran tanah oleh Pemkab Kediri dengan tujuan untuk pelebaran jalan menuju akses tempat wisata. Pada tahun 2005 itu mulai ramai kontroversi penerapan Perpres 36 mengenai pengambilan tanah masyarakat untuk kepentingan umum. Kebijakan ini mengancam kedaulatan petani sehingga bisa menurunkan taraf hidupnya. Implementasinya di Desa Jugo pun ruwet, berbeda antar dusun satu dengan lainnya sehingga terlihat seperti mengadu domba masyarakat. Sebagai seorang perempuan yang hak penguasaannya atas salah satu aset produksi yaitu tanah diabaikan, Bu Su’in membela diri diantara para laki-laki Kepala Keluarga. Bersama beberapa warga yang menjadi korban penggusuran, Bu Su’in mengorganisir diri dalam satu kelompok untuk melakukan advokasi ke pemerintah. Puncaknya terjadi pada momentum Hari Tani 2005 dengan melakukan peringatan sekaligus aksi massa dan Hearing ke DPRD Kabupaten Kediri bersama kelompok-kelompok tani dari desa lain mengangkat berbagai permasalahan terkait petani, kasus yang terjadi di Jugo mencuri perhatian. Pasca aksi massa, kasus tersebut mulai ditangani oleh Camat dan anggota DPRD setelah sebelumnya mereka diam.

Meski begitu, harapan dari para korban banyak yang tidak terpenuhi. Hal ini juga dialami Bu Su’in yang menjadi berpikir bahwa tidak bisa mengandalkan pihak lain bila kita ingin memperbaiki taraf hidup. Atau dengan kata lain Bu Su’in sudah memiliki pola pikir kemandirian. Berbekal kesadaran kritis seperti ini, Bu Su’in kini mampu membangun kehidupan keluarganya dengan cara menjual pupuk organik, memelihara ternak, membuka warung makanan dan sebagai pengelola program peningkatan ekonomi oleh Pemerintah Desa. Apa yang dilakukan Bu Su’in menjadi inspirasi bagi warga desanya yang mulai meninggalkan pertanian bahkan menjual tanahnya ke orang luar desa, tetap bertahan sebagai seorang petani perempuan dengan kemandiriannya.

Kediri, Juni 2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun