“Menempuh hidup baru” adalah kalimat pertama yang kutulis di Facebook setelah hari kedua di Belanda. Banyak hal yang musti kulakukan pertama kali menginjakkan kaki di “Negeri Kincir Angin” ini sehingga tidak bisa langsung tersambung dengan internet ataupun menggunakan telefon. Padahal teman dan saudara sudah menunggu kabar dari perjalanan terjauhku ini. Pernyataan kedua di akun Facebook-ku menyatakan bahwa aku mengalami banyak hal baru, seperti membeli barang-barang dengan harga lebih mahal, bertemu orang yang tinggi-tinggi, mengatasi udara yang dingin menusuk, serta menikmati lingkungan yang lebih rapi, bersih dan indah. Semua hal baru itu menuntutku memperbarui kebiasaan hidupku, terutama yang tidak teratur dan disiplin di ruang publik. Secara fisik, aku harus beradaptasi dengan udara yang sangat dingin dan sering berubah dengan cepat, perubahan waktu yang lebih lambat 5 jam dari Jakarta, dan siang yang lebih panjang. Hal ini merubah kebiasaan berpakaian, serta waktu istirahat dan sholat khususnya. Itulah hidup baruku!
Maastricht adalah kota kedua dimana aku menginjakkan kaki di “Negeri Bunga Tulip” ini setelah dari Bandara Schipol di Amsterdam. Di kota ini aku tinggal sementara untuk memperdalam Bahasa Inggris untuk selanjutnya meneruskan studi master di Wageningen University. Aku beruntung bisa merasakan kota terindah di Belanda ini karena udaranya paling hangat dibanding kota-kota lainnya, begitu juga masyarakatnya. Maastricht juga merupakan kota tertua sehingga masih terdapat banyak bangunan tua yang terawat dan berfungsi dengan baik. Saat aku tiba di bulan April, ini saat yang paling tepat untuk menikmati pemandangan khas Belanda, yakni bunga-bunga warna-warni bermekaran. Selain itu aku juga dipameri asyiknya bersepeda di jalan raya, indahnya sungai yang jernih, serta rapinya rumah yang penuh sentuhan seni. Maka itu selama di kota ini aku sering berkata, “Indahnya hidup ini!”
Bukan artinya aku melupakan negeriku sendiri saat mengatakan itu. Justru tiap kali takjub dengan keindahan kota-kota di “Negeri Oranye”, aku selalu ingat kota-kota Indonesia yang tentu saja Jakarta, Surabaya, dan Kediri yang paling sering kutinggali.Jakarta: panas, sumpek, macet, polusi, tapi segala barang dan jasa serba ada dan murah, meski makanannya mahal dan nggak enak. Surabaya: macet dan polusi juga tapi banyak makanan enak sesuai selera. Kediri: bisa dipastikan adalah kota yang paling nyaman kutinggali karena satu alasan saja, aku tak banyak mengeluarkan biaya untuk hidup karena banyak bantuan juga, maksudnya banyak teman dan saudara. Hanya di Kediri lah aku bisa hidup dengan sewajarnya.
Sudah sebulan aku meninggalkan kota-kota itu untuk tinggal di Belanda dan sudah banyak tempat menarik kukunjungi. Ada taman bunga Keukenhof dimana dipamerkan bunga tulip terindah dan beraneka ragam, yang membuatku teringat suasana di daerah Besuki Desa Jugo Mojo Kabupaten Kediri. Ada jalan-jalan yang bernama pulau dan kota di Indonesia di dekat tempat tinggalku di Guesthouse Maastricht University, seperti Bataviastraat, Celebesstraat, Javastraat, Borneostraat, Sumatrastraat, Floresstraat, bahkan Palembangweg. Sayangnya tidak ada Kediriweg. Beberapa lokasi penting di Maastricht sendiri yang sudah kukenal antara lain Vritjhof dimana aktivitas hiburan sering dilangsungkan, Centrum yaitu tempat kantor administrasi berada, dan yang paling penting adalah tempat-tempat belanja murah seperti C1000, Hema, Aldi, Asian Supermarket, Media Markt, Kruidvart, Zeeman, dan Action. Perayaan Koninginnedag atau Queensday pada tanggal 30 April sangat dinantikan oleh banyak orang yang turun ke jalan dengan baju dan aksesoris serba oranye karena dibuka vrije markt dimana dijual barang-barang second-hand sangat murah dengan kondisi baik. Ada pantai Scheveningen, Istana Ratu, Institute of Social Studies, dan Gedung Parlemen di the Hague atau Den Haag yang merupakan kota pusat administrasi yang sangat ramai. Ada benteng Sint Pietersberg yang berada di perbatasan antara Belanda dan Belgia di pinggiran Maastricht. Ada Drielandenpunt yang merupakan titik pertemuan 3 negara: Belanda, Jerman, dan Belgia, juga dataran tertinggi di Belanda, setinggi 327m dpl, yang membuatku langsung teringat lagi dengan daerah Besuki yang berada sekitar 700m dpl.
Bicara tentang moda transportasi, sebelum mengenalnya dengan baik aku dan teman-teman lebih sering berjalan kaki kemana pun pergi. Menjadi pejalan kaki sangat nyaman karena seperti menjadi “Raja Jalanan” kedua. Ya, “Raja Jalanan” yang sebenarnya adalah sepeda. Segala jenis kendaraan bermotor akan menyingkir dan berhenti begitu ada sepeda lewat. Namun tidak mudah mendapat sepeda yang cocok bagiku, baik dengan isi dompet ataupun ukuran tubuh. Sebelumnya aku naik bis memakai strippenkaart sebagai karcisnya untuk perjalanan dalam kota saat tidak sanggup berjalan kaki. Akhirnya kudapatkan sepeda tidak baru yang murah meski tetap saja aku tidak mampu menjejak bumi saat menaikinya. Aku beruntung bisa menemukan sepeda seharga 20 euro, sementara harga rata-rata sepeda bekas 50 euro dan baru 100 euro (1 euro setara dengan 12.250 rupiah). Yang paling penting saat punya sepeda adalah punya dua kunci yang kuat untuk mengunci ban depan dengan tempat parkir dan mengunci ban belakang dengan rangka sepeda. Ini sangat penting mengingat angka pencurian sepeda sangat tinggi, termasuk pencurian salah satu atau kedua bannya. Betapa sepeda menjadi barang sangat berharga! Kemudian sepeda harus dilengkapi lampu depan dan belakang kalau tidak mau dikenai denda, serta harus selalu berjalan di jalurnya yang kebanyakan di jalan yang bercat merah atau bersimbol sepeda. Setelah itu, aku amat menikmati menjadi “Raja Jalanan” kemana pun pergi dengan sepedaku dan benar-benar seperti raja saat bisa menaiki sepeda di atas trotoar, di tengah pasar, di atas rumput, bahkan memasuki jalan yang ada larangan bagi sepeda.
Mengapa barang-barang di Belanda harga lebih mahal? Selain karena kurs mata uang yang lebih tinggi, aku belum menemukan satu pun barang ataupun makanan berkualitas rendah seperti di Indonesia. Semuanya dibuat dengan bahan yang bermutu dan rancangan yang fungsional dan estetis, setimpal dengan harganya. Teman Indonesia disini jarang sakit karena makanan dan lingkungannya sehat. Semua orang pun punya asuransi kesehatan, bahkan asuransi jiwa dan harta benda umum dimiliki. Tidak heran pula kebanyakan orang disini berbadan tinggi, rata-rata 180cm, terutama para remaja dan mahasiswanya. Mereka selalu mengkonsumsi makanan bergizi, terutama susu.
Aku pun menjadi sering makan keju, coklat, yoghurt, es krim roti, dan minum susu tentunya. Hal-hal yang jarang kulakukan di Kediri. Ini penting untuk mempersiapkan musim dingin agar badan kita cukup hangat akibat adanya lemak dari makanan. Saat musim semi begini aku masih merasa kedinginan dan ini tidak mengherankan karena suhu udara antara 6-210C. Untuk mengatasinya aku harus menggunakan pakaian berbahan khusus yang tidak ditemukan di Indonesia. Aku juga harus rajin memakai pelembab, sabun dan sampo yang cukup lembab pula, untuk mencegah kulit dan bibir kering dan pecah-pecah, serta rambut berketombe. Terpaksalah kemana pun pergi aku selalu memakai sepatu, serta menyiapkan syal, topi, kaus tangan, dan jaket pastinya agar tidak membeku.
Apa yang menyebabkan lingkungan yang lebih rapi, bersih dan indah? Hal pertama adalah penggunaan teknologi. Semua fasilitas umum berdesain canggih dan rancangan rapi sehingga praktis digunakan. Tiket bis dan kereta, karcis parkir, kasir toko, pintu masuk dan keluar, bahkan lampu dan pemanas ruangan pun semua terkomputerisasi. Semua bangunan dibangun sangat kokoh, bahkan pintu toilet pun sangat berat dibuka karena terbuat dari besi yang bagus, tanpa meninggalkan nilai estetika dan ciri khas budaya Belanda. Semua fasilitas yang dibangun mendukung kesadaran masyarakat untuk berdisiplin dan mencegah tindakan kriminal. Meski tidak terlihat ada polisi, jangan coba-coba bertindak melanggar hukum karena kamera pengintai ada dimana-mana. Buang air sembarangan termasuk yang sangat dilarang dan dendanya cukup tinggi, 50 euro. Lebih baik cari toilet dan bayar 60 sen saja.
Hal kedua adalah kesadaran masyarakatnya. Semua orang terbiasa membuang sampah pada tempatnya, lalu dipilah untuk didaur ulang. Hanya puntung rokok yang bertebaran, sampah lain jarang ditemukan. Kemudian kebiasaan tertib mengantri sangat membuat lega disini, tidak perlu diingatkan apalagi dibentak oleh petugas. Semua petugas penyedia jasa dan barang ramah dan bisa berbahasa Inggris, begitu juga hampir semua orang. Aku tidak lagi merasa kuatir tiap kali menghadapi kesulitan.
Kebiasaan pengguna jalan yang mengutamakan pejalan kaki dan pengendara sepeda, merupakan kebudayaan positif yang dibangun dari kesadaran individu. Ini adalah satu contoh bahwa masyarakat terbiasa mengutamakan pihak yang lebih lemah. Contoh lain yaitu adanya fasilitas khusus bagi penyandang cacat di seluruh fasilitas umum, bahkan pada beberapa barang tercantum huruf Braille. Budaya positif lainnya adalah kemandirian. Masyarakat terbiasa melakukan pekerjaan rumahnya sendiri sehingga jarang ditemukan pembantu rumah tangga disini. Jangan harap banyak ditemukan bengkel mobil atau sepeda disini, jadi kalau ada kerusakan kecil silahkan diperbaiki sendiri, karena yang ada pun biaya servisnya cukup menguras kantong.
Para lanjut usia pun bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, seperti berbelanja dan berwisata. Aku beberapa kali mengulang perkataanku pada salah seorang temanku saat tiap kali melewati lingkungan perumahan yang terlihat begitu nyaman bahwa sudah terbayang bagaimana aku akan menghabiskan masa tuaku, saat aku sudah tidak aktif bekerja, disini. Hal lain yang membuat suasana terlihat begitu indah adalah tiap sudut selalu nampak detail rancangan bangunan atau dekorasinya yang penuh sentuhan seni yang meski sederhana tapi enak dipandang. Sebagian besar bangunan berpola tradisional Eropa meski ada pula yang sangat modern. Yang tidak pernah ditinggalkan di tiap tempat adalah adanya tanaman, baik pepohonan ataupun bunga. Tidak ada lahan kosong disini, bahkan di jendela pun dipasang pot bunga yang indah dan di rumput pun tumbuh bunga-bunga.
Di sisi lain, tidak banyak hal-hal negatif kutemukan di negeri baruku ini. Yang aku herankan pertama kali, mengapa tanah kosong ditanami rumput untuk dipakai sebagai tempat anjing buang kotoran, terus dari manalah bisa nyaman kalau berniat ke taman untuk mencari udara segar nyatanya menghirup bau tak sedap? Yang kedua, yang kutemukan di vrij markt adalah barang-barang yang kalaupun diberikan orang lain tidak mau menerimanya, mengapa dijual juga? Mengapa tidak disumbangkan saja? Nampaknya kelihatan kalau orang Belanda itu penuh “perhitungan”. Uang-uang euro recehan yang dibenci oleh teman-temanku karena sulit untuk dibelanjakan akhirnya habis juga di vrij markt.
Satu hal yang paling membuatku iri di Belanda adalah fasilitas pendidikan. Semua anak usia sekolah mendapat subsidi dari pemerintah untuk menyelesaikan pendidikan sampai tingkat master. Fasilitas sekolah tidak perlu ditanya lagi, yang jelas rata-rata memiliki koneksi internet gratis serta perpustakaan yang lengkap. Pantas saja tidak kutemukan anak jalanan berkeliaran. Orang miskin yang terlihat hanya pengemis, itu pun berpenampilan masih cukup layak dan jarang sekali. Tidak perlu diinstruksikan lagi, memori di otakku langsung terbayang negeri tempat kelahiranku. Hal-hal indah lain dari Belanda terlupakan semua. Tak puas aku mengagumi fasilitas pendidikan disini. Bilakah ini terjadi di Indonesia?
Maastricht, 20 Mei 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H