“Krasan Mbak, disana!”, tanya beberapa teman saat chatting di Facebook. “Tetep, masih lebih krasan di Kediri”, jawabku itu saja selama dua bulan disini. Bukan hanya soal makanan dan lingkungan sebabnya, tetapi teman seperjuangan yang bisa diajak berdiskusi dengan bidang dan pemikiran yang sejalan belum banyak kutemukan selama di Maastricht sehingga jawabanku selalu seperti itu. Di Universitas Maastricht sendiri juga tidak ada jurusan terkait pertanian dan pembangunan pedesaan.
Aku pun merindukan berbagi cerita dengan teman-teman petani dan warga pedesaan. Semoga setelah berada di Wageningen tempatku belajar bidang studiku, keinginanku itu bisa terpenuhi. Aku sangat sadar diri kalau pengetahuan dan kemampuanku untuk bisa berkontribusi terhadap pembangunan pedesaan bangsaku masih terbatas sehingga otakku harus terus diasah melalui diskusi-diskusi terarah, selain mempelajari banyak literatur tentunya. Maka aktivitas berdiskusi via internet menjadi rutinitasku sekaligus untuk bertukar kabar berita.
Selama masa penantian menuju universitas tujuan sembari terus memperdalam kemampuan berbahasa Inggris, aktivitas bersepeda terus berlanjut. Oya, satu hal belum kuceritakan adalah di Belanda semua kendaraan, termasuk sepeda, berjalan di sisi kanan jalan. Ini berbeda dengan di Indonesia yang pada sisi kirinya. Pernah suatu hari berbekal keinginan mencari informasi tempat donor darah, aku bersepeda seorang diri menuju kampus Universitas Maastricht di Randwyck dengan menyeberangi Sungai Maas. Kampus Universitas Maastricht sendiri terbagi dua. Selama ini aku belajar di kampus yang berada di pusat kota, satu kompleks dengan kampus Fakultas Hukum, Fakultas Seni, serta Fakultas Bisnis dan Ekonomi.
Tempat yang kutuju bernama Sanguin Bloedroorziening di lingkungan kampus Fakultas Ilmu Kesehatan. Perjalanan cukup sulit kutempuh bukan karena jauh dan mendaki tetapi karena harus berputar-putar dulu sebelum berhasil sampai di tempat. Dengan memiliki peta sebenarnya sangat mudah mencari lokasi tujuan, yang sulit adalah mencari jalur sepeda. Bukan juga karena tidak tersedia di tiap jalan, tetapi karena selalu ada jalur khusus yang tidak mudah ditemukan karena berada dalam terowongan dibawah jalan raya. Ternyata dalam kemudahan masih bisa ditemukan kesulitan juga ya?
Dengan sepeda bekasku yang tetap membuatku mencari pijakan ketika harus berhenti, kuteruskan petualangan mengeksplorasi wilayah-wilayah pedesaan. Oya, gambar sepeda yang dimuat di koran ini sebelumnya adalah sepeda temanku yang bertubuh mungil yang harus rela mendapatkan sepeda anak-anak namun berbahagia karena harganya 5 euro saja. Bersama teman-teman Indonesia dan India kami menuju kota Kanne yang masuk wilayah Belgia pada suatu akhir pekan. Kami melewati ladang gandum, jagung, dan sayur mayur yang luas dan berbukit, serta peternakan sapi, domba, dan kuda. Ditengah perjalanan selalu saja ada bangunan tua serupa puri dan gereja. Yang pasti, tujuan ke Belgia juga untuk merasakan es krim yang katanya terkenal lezatnya di dunia. Aku sendiri selalu mencoba es krim di tiap tempat yang baru kudatangi dengan harga 1-1.7 euro tiap macam rasa. Kami juga mampir di Eben Emael Fort, sebuah benteng tua yang luas sampai-sampai diatasnya sudah berupa padang rumput dataran tinggi.
Di akhir pekan yang lain kami bersepeda ke kota Lanaken, masih di wilayah Belgia, menelusuri Kanaalenweg atau jalan sepanjang kanal karena kami sengaja ingin menikmati keindahan Albert Kanaal yang mengingatkanku pada Sungai Brantas dengan beberapa perbedaan. Kanal sendiri adalah sungai buatan yang lebih banyak digunakan untuk keperluan transportasi air. Tidak heran kalau kanal tersebut sangat lebar dan dilintasi beberapa jembatan yang sangat tinggi dan kokoh. Sepanjang pinggir kanal dipenuhi bukit-bukit yang ditambang untuk pembuatan batu bata, pepohonan rimbun, dan pabrik besar. Kami juga melihat beberapa turbin angin, yaitu bangunan yang lebih modern daripada kincir angin dan berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik. Habis bersepeda, badan sehat dan pikiran segar!
Saat berada di Centrum Lanaken, aku terhibur oleh suara musik yang ternyata berasal dari speaker yang menempel bersama pot-pot bunga yang indah pada tiap tiang lampu jalan. Jalanan dan pertokoan agak sepi karena kebanyakan orang berlibur keluar kota di long weekend saat itu. Suasana terasa tentram apalagi didukung adanya jalan dan perumahan yang rapi yang salah satunya berkat penempatan kabel-kabel listrik dan telefon, serta pipa-pipa air dan gas dibawah tanah. Bahkan di Centrum Maastricht tempat parkir mobil pun berada dibawah tanah. Tata ruang kota-kota di Belanda dan Belgia memang bagus, termasuk pengelolaan sampah dan limbahnya. Mungkin ini juga yang membuat sebagian besar warganya sudah cukup puas memiliki rumah kecil karena lebih senang menghabiskan waktunya diluar rumah dengan menikmati lingkungan yang nyaman.
Pada awal tiba dua bulan lalu, aku dan teman-teman bertemu pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia atau PPI Maastricht. Perkenalan dengan mereka berlanjut pada kebersamaan dalam mepersiapkan Maastricht Cup, yaitu kejuaraan bulutangkis antar mahasiswa Indonesia se-Belanda, serta berfoto dengan memakai pakaian tradisional Belanda di Volendam. Kami sangat berterima kasih kepada mereka yang melibatkan kami dalam acara-acara tersebut, serta bantuannya dalam mengurus laporan ke KBRI dan hal-hal teknis lainnya. Sepasang suami istri, si istri asli Indonesia namun berkewarganegaraan Belanda, juga sangat membantu aku dan teman-teman dalam hampir semua hal terkait kebutuhan hidup sehari-hari. Kami pun sudah banyak dikenalkan kepada orang-orang yang punya kedekatan darah ataupun sejarah hidup dengan Indonesia disini. Mereka pasti dengan senang hati mengundang kami makan malam dan membantu keperluan kami. Cerita mereka tak habis-habis tentang Indonesia dan keluarga mereka. Terima kasih kami tak terkira atas segala keramahan dan kebaikan mereka semua.
Maastricht, 4 Juni 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H