Masyasmara, membuktikan bahwa realita hari ini adalah realita media, dan itu jagat maya yang eksistensinya tanpa batas primodial serta menerabas dimensi ruang dan waktu. Batas menjadi nisbi, persepsi menjadi imaji-realiti. Sementara rasa akankah mendapat ruang eksistensinya juga? Padahal rasa itu selama ini telah mendapat posisi yang begitu nyaman dan berkembang sebagai esensi terdalam seseorang. Adalah Mayana Astari, putri sulung dari tiga bersaudara yang perempuan semua, dari keluarga yang merasa posisi sosialnya sebagai keluarga terhormat. Mayana gadis penurut yang tumbuh dalam kepatuhan kultur Timur yang telah dididik dan bergaul dalam kancah global. Maka Timur dan Barat, Utara dan Selatan menjadi samar eksistensi dan perannya. Sebagai penerus keluarga, entah dia sadar atau tidak, telah menjadi begitu patuh pada hampir semua ketentuan keluarga, sebagai institusi yang agung dan luhur, maka inginnya dipuja-puja sepanjang masa oleh setiap generasinya. Ketetapan keluarga telah menjadi sabda yang tak boleh disanggah. Ketika menjadi dewasa, Mayana pun ditentukan jodohnya oleh keluarga. Tak ada energi berontak sedikitpun. Seolah semua memang begitu adanya. Pematakudaan seluruh pandangan dan aspirasinya, selama ini telah terjadi di keluarga itu berabad silam. Demikian cerita para tetua keluarga, telah diinsulinkan ke dalam benak bawah sadar Mayana. Ketika menghitung hari menuju pernikahannya, Mayana tersangkut pada pergaulan media sosialita dunia maya, yang sekian bulan ini menjadi bagian kehidupan pribadi dan sosialnya. Subyek yang selama ini berkonektiifitas itu telah memercikan sesuatu yang membuatnya terperangah. Keterperangah itu telah menyengat seluruh eksistensi kemanusia, dan memberi wacana baru yang membuat dirinya gelojotan. Kekaguman? Bukan hnya itu, walau telah merebakan begitu banyak kebaruan yang semestinya sudah tak boleh dibatahkan. Kebaruan itu menjadi hidup dan menghidupkan sebuah daya, daya yang sungguh eksplosif, mungkin bagai keperkasaan Krakatau pada jaman purba dulu. Terpana? Bukan juga, walau dalam dirinya begitu banyak energi yang bersinergi tentang pandangan masa depan peran-peran subyek dan sosial yang nyaris tanpa batas horizon. Mayana lemas, bukan lemah. Malah perkasa. Dalam keterperangahan itu pun, rasa dalam diri Mayana tiba-tiba membenih berkecambah. Setiap yang hidup adalah dihidupkan oleh yang Mahahidup. Apakah rasa itu juga? Mayana tak peduli, ini sikap yang mulai mewarnainya. Padahal sejak kecil dia diajarkan untuk selalu menghitamputihkannya, maka mengambil peduli adalah sikap yang membatukannya. Mayana telah melakukan pergeseran. Keyakinan pada eksistensi peran dirinya yang jauh lebih luas dari sekadar batas keluarga meleleh Sinopsis Novel Mayasmara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H