Â
Public Space. Ruang Publik di Demak. Lengang. Saya sampai mau mati rasanya saat kembali ke kota kecil ini setelah terbiasa gedebag gedebug lari-larian dan sibuk juga menikmati keriuhan selama tinggal di Semarang. Kota yang cocok untuk pensiunan. Atau ya.....resi yang mau jadi sakti :D
Begitu kesan awal ketika saya kembali pulang untuk tinggal lagi di kota kelahiran. Kecuali pada masa-masa ramai musim ziarah, jalan-jalan dan juga wilayah public kota Demak tak tampak ada keramaian. Alun-alun hanya untuk olahraga pagi beberapa sekolahan terdekat. Jalan raya sepi. Masjid agung sepi. Kantor pos sepi. Bahkan swalayan sebelah kantor pos juga sepi. Pi. Pi. Pi. Sepi.
Padahal alun-alun Demak sebagai public space kota wali dulunya di jaman kejayaan kerajaan Demak menjadi tempat mempertontonkan kebolehan beberapa prawira.  Sehingga kita kemudian mengenal Joko Tingkir Juga Aryo Penangsang diangkat menjadi salah satu prajurit pilihan kerajaan. Walaupun di kemudian hari mereka saling berhadap-hadapan.
Alun-alun Demak juga menjadi arena grebeg besar dan sekaten, tradisi yang digagas para wali sebagai bentuk inkulturasi budaya dan agama. Hal ini berlangsung beberapa waktu. Sampai kemudian lokasi grebeg dipindah ke daerah Tembiring, di kawasan terminal bis pariwisata. Sehingga alun-alun kembali sunyi. Nyi. Nyi. Nyi.
Untung saja di waktu-waktu tertentu masyarakat dengan kreatifitasnya menggelar pasar tiban di sekitar alun-alun. Ada yang jual penganan, jajan, makanan, minuman, sandang, sampai dengan hiburan macam arena lompat untuk anak-anak dan lain-lain. Ramai memang, tapi kemproh. Proh. Proh.
Susah memang untuk bisa menemukan formula yang tepat untuk ruang publik di kawasan wisata dan sekaligus ruang utama kota seperti alun-alun Demak ini. Pasalnya waktu dulu digunakan oleh publik dan masyarakat secara luas, oleh siapa saja dan untuk aktifitas apa saja, yang terjadi kemudian adalah alun-alun menjadi sangat jorok. Sampah di mana-mana, bau busuk menyengat, pemandangan yang tidak asyik sama sekali bagi penduduk kota apalagi para wisatawan yang berkunjung ke kawasan masjid agung Demak.Â
Walhasil untuk memperbaiki hal ini, kawasan alun-alun termasuk bagian pelataran dan jalan di depan serta sekitaran masjid agung demak pun mengalami beberapa kali renovasi. Yang tentu saja memakan anggaran yang sangat banyak. Baru beberapa tahun direnovasi, kemudian direnovasi lagi. Begitulah situasinya.Â
Ketika akhirnya renovasi yang paling baru menyingkirkan semua pedagang kaki lima, asongan maupun pasar tiban yang biasa ada di alun-alun, akhirnya public space ini kembali spi nyenyet. Nyet. Nyet. Nyet.
Kini, alun-alun Demak dengan pohon beringinnya ditata cantik sebagai bagian dari wisata masjid Agung Demak. Walaupun sayangnya ternyata rumputnya itu entah bagaimana tidak bisa menyerap air hujan. Sehingga ketika terjadi hujan, air mengambang. Dan sejenak alun-alun menjadi serupa danau tak dalam.
Lantai kawasan masjid Agung dan jalan depannya digranit dan marmer. Â Yang dimaksudkan agar menyerupai kawasan masjidil haram dan masjid nabawi. Sayangnya tidak dilengkapi dengan mesin dan petugas kebersihan, sehingga lantaipun kotor dan tak terawat dengan baik.