Mohon tunggu...
Dian Mardhika
Dian Mardhika Mohon Tunggu... Guru - An English Teacher at SMAN 1 Kotabaru, Kalimantan Selatan.

An English Teacher at SMAN 1 Kotabaru, Kalimantan Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mbok Duwet

22 Oktober 2012   08:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:32 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Horee! Asyik! Mbok Duwet hilang!” teriak beberapa bocah lelaki yang kegirangan setelah tak sengaja mendengar kabar menghilangnya Mbok Duwet dari emak mereka yang sedang ngobrol sambil mencari kutu rambutdi bawah pohon Sono.

“Hush! Jangan teriak keras-keras nanti kamu didatangi Mbok Duwet, baru tahu rasa!” bisik emaknya mengancam dengan mata setengah melotot. Hampir semua anak kecil di daerah Kali Klombo sangat takut dengan Mbok Duwet. Takut dipijat karena rasa sakit yang harus ditanggung selama delapan jari Mbok Duwet menekan dan mengurut tubuh mereka.

Hampir setiap sore terdengar jerit tangis anak-anak di rumah Mbok Duwet. Suara kesakitan itu sangat menakutkan melebihi suara lolongan anjing penjaga kebun salak kang Jono. Suara isak tangis itu lebih mistis dari suara cericit ratusan kelelawar yang menghuni rumah neng Katmini yang lama kosong karena ditinggal bekerja menjadi TKW di Hongkong.

Suara tawa Mbok Duwet yang pendek dan terputus-putus terdegar sangat mengerikan bagi anak-anak di daerah Sungai Klombo, seperti suara sundel bolong yang kerap ditonton emak mereka dalam sinetron yang tayang di setiap malam Jum’at Kliwon. Segala hal tentang Mbok Duwet adalah bayangan paling menakutkan yang mengendap-endap dalam kepala anak-anak. Tentu hal itu hanya berlaku bagi anak-anak, tidak bagi para gadis muda, pejabat, dan orang-orang dewasa yang ada di dusun Kali Klombo dan sekitarnya. Tapi sekarang Mbok Duwet hilang entah kemana.

Orang-orang di Kali Klombo sangat menghormati Mbok Duwet. Pertama, karena dulu suami Mbok Duwet adalah seorang kepala dusun yang sangat disegani penduduk dan ditakuti para maling atau perampok. Suaminya dikenal sebagai seorang kepala dusun yang tegas dan cepat mengambil keputusan walaupun wataknya sedikit kaku dan cepat naik darah. Kedua, karena anak semata wayang Mbok Duwet, Suijah, adalah perempuan pertama yang menjadi pahlawan bagi masyarakat Kali Klombo. Banyak orang tua yang bisa membangun rumah, membeli sawah atau kebun dari hasil kiriman anaknya yang bekerja di luar negeri. Dan Suijah adalah perempuan yang pertama kali menginspirasi mereka untuk merubah nasib di luar negeri dengan menjadi TKW.

*****

Mbok Duwet bekerja dengan cekatan. Minyak kelapa yang dicampur rempah-rempah dipercikkan ke kaki kang Karman yang bengkak. Lalu delapan jemarinya memijat kaki kang Karman dengan terukur dan gesit. Kang Karman berteriak kesakitan untuk beberapa saat tapi Mbok Duwet tak menghiraukan jeritannya.

“Sudah selesai! Nanti tiap pagi oleskan ramuan ini ke kakimu yang bengkak itu. Dalam dua hari kamu akan sembuh” kata Mbok Duwet sambil menyerahkan ramuan yang baunya mirip bau kentut kang Karman.

Mbok Duwet belajar mengurut dari siapa?” tanya kang Karman penasaran.

“Dari mimpi” jawabnya singkat.

“Dari mipi? Kok bisa begitu?” kang Karman bertambah heran.

“Dulu aku bermimpi nenekku yang sudah meninggal menyuruh aku memijat kang Suro yang sedang sakit parah. Awalnya aku tak percaya. Tapi mimpi itu datang berulang-ulang. Lalu kuberanikan diri untuk mengurut kang Suro. Aku diberi amalan-amalan agar bisa menyembuhkan orang sakit urat dengan cepat” jelasnya.

“ Emm...terus...”, kang Karman yang masih bingung beralih melirik ke arah jari tangan Mbok Duwet.

“Jari tangan si Mbok maksudmu? Dulu suamiku, kang Sulo, memotong kedua jari kelingkingku karena menuduhku selingkuh. Aku sudah bersumpah tapi dia tetap tidak percaya. Entah siapa yang menghasutnya sampai dia tega memotong jari istrinya sendiri” kisahnya dengan mata berkaca-kaca.

Kang Karman menjadi serba salah karena telah mengungkit kepahitan hidup Mbok Duwet.Kang Karman mencoba mengalihkan arah pembicaraan

“Suijah kabarnya piye?

“Sudah sepuluh tahun ini tak pernah memberi kabar. Kalau dulu waktu masih baru kerja di sana gendhuk masih sempat kirim kabar lewat temannya yang pulang kampung. Kata temannya yang baru pulang dari luar negeri, Suijah baik-baik saja. Dia cuma pesan agar si Mbok tak usah khawatir dan katanya belum bisa ngirim duit, padahal aku kan tidak perlu duitnya yang penting anak seger waras Si Mbok sudah senang” lalu mengalirlah air mata Mbok Duwet di pipinya seperti bongkahan es yang meleleh di tanah pekarangan yang kering. Kang Karman semakin terjebak dalam perasaan bersalah.

Percakapan mereka pun berakhir saat dua orang pasangan muda-mudi masuk ke rumah Mbok Duwet. Kang Karman menyodorkan uang dua puluh ribuan tapi Mbok Duwet menepisnya. Mbok Duwet seringkali tidak mau menerima uang pemberian pasiennya apalagi kalau mereka masih warga Kali Klombo, kecuali memang jika pasien Mbok Duwet itu memang benar-benar orang kaya. Mbok Duwet hanya ingin bisa bermanfaat bagi orang di sekelilingnya. Mbok Duwet tak butuh barang mewah. Asalkan ada sirih, pinang, dan gambir untuk nginang bagi Mbok Duwet sudah cukup.

Kang Karman meninggalkan rumah Mbok Duwet dibantu kang Poniman yang sudah menunggu di teras depan rumah Mbok Duwet. Untunglah masih ada orang-orang seperti Mbok Duwet. Menyisihkan waktu dan tenaga untuk mengurusi masalah yang kelihatannya sepele. Puskesmas di Kali Klombo pasti tak sanggup mengatasi pasien salah urat, keseleo, keram, atau pegal-pegal. Bayangkan saja, kang Karman adalah buruh bangunan yang tiap hari mengangkat pasir dan batu bata. Ototnya sering pegal-pegal. Dia sudah menjadi pelanggan tetap pijatan Mbok Duwet. Dan ada ratusan orang seperti kang Karman di Kali Klombo ini.

Sedangkan kang Poniman adalah tukang becak yang mengayuh becaknya mulai subuh hingga senja dan ada ratusan tukang becak seperti kang Poniman di Kali Klombo. Bisa dihitung berapa banyak ibu rumah tangga yang terlambat pergi ke pasar karena tukang becaknya tidak bekerja. Lalu berapa banyak suami yang marah pada istrinya karena istrinya terlambat memasak. Pastilah hal seperti itu sangat mengganggu keharmonisan rumah tangga.

Mbok Duwet membuat aktifitas perekonomian wong cilik di Kali Klombo terus berputar. Gara-gara Mbok Duwet, semakin banyak warung nasi dan warung kopi yang buka di pinggir jalan. Orang-orang di luar Kali Klombo bisa singgah di warung sambil menunggu giliran dipijat Mbok Duwet.

*****

“Sssttt...! Dengarkan! Ada berita di radio, ada mayat perempuan ditemukan di pinggir sungai Bondet” kata kang Poniman yang sedang menikmati kopi pahitnya di warung Mbok Karjo.

“Sudah biasa namanya orang mati itu bisa dimana saja. Mati itu tidak bisa milih tempat” sahut Mbok Karjo.

“Bukan itu masalahnya, Mbok. Sampeyan kan tahu, Mbok Duwet menghilang. Bisa saja kan itu mayat Mbok Duwet” papar kang Poniman. Mbok Karjo langsung terdiam. Ia tersadar dan mulai gelisah mendengar ucapan kang Poniman.

“Kita kan belum tahu, jangan berpikir yang aneh-aneh” sahut kang Karman menengahi.

Setelah mendengar berita kematian seorang perempuan yang tak dikenal, orang-orang di Kali Klombo menjadi gempar. Mereka pun mulai berandai-andai bila mayat perempuan itu adalah mayat Mbok Duwet. Di warung-warung kopi, pos ronda, dan semua tempat berkumpulnya orang selalu membicarakan kematian perempuan yang dihubungkan dengan hilangnya Mbok Duwet.

“Jangan-jangan itu memang Mbok Duwet yang mati” kata lek Pono serius.

“Kalau memang benar mayat itu adalah Mbok Duwet, lalu siapa yang tega membunuhnya?” tanya kang Kardot.

“Ya, orang yang tidak suka dengan Mbok Duwet” jawabnya singkat.

”Yang tidak suka dengan Mbok Duwet kan cuma bocah-bocah itu, Lek. Apa iya, Mbok Duwet dibunuh bocah cilik?” sahut kang Kardot.

“Bisa saja kan Mbok Duwet itu bunuh diri” celetuk Mbok Kinem sang pemilik warung.

“Ah, masak iya? Mbok Duwet tidak mungkin bunuh diri. Mbok Duwet itu orangnya sabar, tabah menerima cobaan Gusti Allah. Kalau Mbok Duwet bukan orang penyabar, pasti sudah lama Mbok Duwet bunuh diri saat disiksa kang Sulo. Ditambah lagi anak satu-satunya, si Suijah yang tidak pernah pulang kampung, sampai sekarang tidak ada lagi kabar beritanya”. Semua orang yang ada di warung kopi Mbok Kinem terdiam. Mereka terus menduga-duga segala kemungkinan yang terjadi pada Mbok Duwet.

Keesokan harinya, tepat pada hari Senin Pahing bulan Jumadil Awal, warga Kali Klombo geger kembali. Pakde Kunto membuat geger. Pakde Kunto memberitahu bahwa Suijah, anak Mbok Duwet, akan di hukum pancung di Arab Saudi.

“Suijah akan dipancung!” teriak pakde Kunto.

“Yang benar, Pakde?!” sahut orang-orang di warung kopi Mbok Karjo dengan wajah tak percaya. “Makanya lihat berita di TV, punya TV kok hanya untuk nonton sinetron saja” sindir pakde Kunto.

Sebenarnya memang hampir semua warga Kali Klombo mempunyai TV tapi karena tingkat pendidikannya yang rendah, maka hanya beberapa orang saja yang menyempatkan diri untuk melihat berita di TV. Kata mereka melihat berita itu membuat kepala mereka semakin pusing saja. Banyak yang pintar bicara tapi masalahnya tidak pernah selesai juga. Akhirnya, sinetron klenik dan mistislah yang menjadi pelarian mereka.

“Kenapa bisa sampai dihukum pancung? Benar-benar malang nasib keluarga kang Sulo” kata Mbok Karjo.

”Suijah dituduh membunuh anak majikannya. Begitu kata bapak yang pakai dasi di TV tadi” papar pakde Kunto.

“Tidak mungkin Suijah tega membunuh anak orang” bela Mbok Karjo.

“Siapa tahu kejadiannya seperti Mbok Karsinah yang memijat anak orang sampai mati, salah urut kan bisa mati. Suijah kan anak dukun urut pasti dia mewarisi keahlian Mbok Duwet. Atau jangan-jangan Suijah menanggung karma Mbok Duwet karena sering membunuh jabang bayi perempuan yang hamil tanpa suami itu. Aborsi!” sahut kang Tego.

“Husst! Jangan sembarangan kalau ngomong. Buktinya apa? Itu kan cuma kata orang yang tidak suka dengan Mbok Duwet saja” sahut pakde Kunto.

Warga Kali Klombo sangat berduka mengetahui berita di TV mengenai hukuman pancung yang akan dijatuhkan pada Suijah. Apalagi emaknya juga menghilang tanpa jejak. Suijah adalah pahlawan bagi warga Kali Klombo bahkan mungkin bagi orang-orang di luar Kali Klombo. Warga Kali Klombo hanya mampu mengadakan acara doa bersama untuk mendoakan agar para pejabat yang sering dapat uang jasa pengiriman TKW atau yang suka minta pijat Mbok Duwet mau berganti membantu keluarga Mbok Duwet.

Sebagai bentuk empati, orang-orang—yang tadinya tidak pernah mengikuti berita di tv—sekarang terus mengikuti perkembangan berita mengenai Suijah di tv. Tapi seperti biasa, berita tragis tentang Suijah tidak pernah bertahan lama. Orang-orang memang mudah sekali lupa. Seminggu kemudian topik berita di tv pun mulai berganti. Berita akan dipancungnya Suijah sudah digeser dengan berita si Udin yang harus operasi karena tidak bisa kentut. Berita artis yang baru pasang bulu mata di Korea. Ada juga berita video heboh pejabat yang tidur di kursi buatan Jerman sampai ngiler saat rapat.

Malam itu warga dusun Kali Klombo berkumpul di balai desa untuk mengadakan acara doa bersama atas akan dipancungnya Suijah dan menghilangnya Mbok Duwet. Suasana hikmat saat pak Modin memimpin doa bersama itu. Di saat yang bersamaan dari arah kegelapan jalan desa, terdengar sirine mobil ambulan meraung-raung di kesunyian malam. Cahaya merah lampu sirine berkelebat di kegelapan seperti mata malaikat maut. Mobil itu berhenti di depan balai desa. Seorang berpakaian seragam putih turun dari mobil dan menghampiri kerumunan orang. Sebuah peti kayu dikeluarkan dari dalam mobil ambulan.

“Jadi warga sudah menunggu kedatangan jenazah Duwet binti Daud? Kalau begitu kami serahkan jenazah beliau, mohon dari pihak keluarga untuk menanda tangani berita acara serah terimanya” kata petugas berseragam putih itu.Warga dusun Kali Klombo yang hadir malam itu terkejut bukan kepalang.

“Mbok Duwet?! Kenapa Mbok Duwet meninggal? Apa ini mayat yang ditemukan di sungai Bondet” tanya pak Modin.

“Maksudnya? Eee..bukankah beliau meninggal karena hukuman pancung di Arab Saudi? Kabar berita yang saya dengar, beliau bekerja di sana sekaligus untuk mencari anaknya yang lama tidak pulang kampung. Beliau dihukum pancung karena dituduh membunuh anak majikannya.” terang salah seorang lelaki berseragam putih.

Semua terdiam, larut dalam keheningan malam dusun Kali Klombo yang tengah menanggung duka berkepanjangan. Belumlah tuntas kasus Suijah yang sedang menanti hukuman pancungnya, tapi ibunya sudah datang lebih dahulu dalam sebuah peti. Warga sangat kehilangan dan tak mampu berkata-kata tentang betapa murahnya harga sebuah nyawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun