Mohon tunggu...
dian kusumanto
dian kusumanto Mohon Tunggu... pegawai negeri -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Kenapa Aren Tidak Berkembang Seperti Kelapa Sawit

25 Agustus 2012   01:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:21 1189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pohon Aren ini pernah menghasilkan nira sekitar 40 liter/hari, yang disadap dari 2 (dua) tandan bunga betina. Kalau diamati memang jumlah daun pohon ini masih banyak, beda dengan beberapa tanaman Aren yang berproduksi sedikit, karena daunnya juga banyak yang dipotong dan tinggal sedikit.

Foto di atas menunjukkan bahwa tanaman Aren bisa hidup berdampingan tanaman lainnya. Pohon Aren ini termasuk jenis Aren Genjah yang berumur pendek, sebab pada saat tinggi pohon mencapai sekitar 3 meter sudah mengeluarkan tandan bunga, baik tandan bunga betina atau tandan bunga jantan. Sehingga Aren Genjah ini cepat menghasilkan, namun demikian umurnya juga lebih pendek.

Inilah pekerjaan rutin para petani Aren, naik pohon, iris tandan bunga, memasang wadah penampung nira, atau memukul-mukul calon tandan yang akan disadap sampai tandan ada tanda-tanda sudah mengeluarkan niranya. Petani Aren memang orang yang terpilih, sebab tidak semua orang bisa menjalani kehidupan yang rutin setiap hari, bahkan setiap pagi dan sore. Oleh : Ir. Dian Kusumanto Pertanyaan yang sangat menggelitik ini begitu saja terlontar dari teman saya dari Jakarta yang berkunjung di Nunukan Kaltim. Dalam perjalanan kunjungannya begitu banyak saya jelaskan dan uraikan kelebihan dan prospek tanaman Aren ini kepadanya, malah pertanyaan seperti di atas lah yang terlontar. Kemudian saya mencoba memahami juga, pasti ada sesuatu yang menyebabkan hal itu bisa terjadi. Hukum seleksi alam akan terjadi, dimana yang bisa bertahan hidup akan eksis dan yang tidak mampu mempertahankan dirinya akan punah atau tidak berkembang. Artinya kalau komoditi itu memang menjanjikan, kenapa kemudian tidak berkembang dan bahkan lembaga-lembaga penelitian pun tidak meliriknya sebagai bahan kajian. Apalagi Lembaga-lembaga resmi Pemerintah juga belum menempatkannya sebagai komoditi yang dianjurkan untuk dikembangkan. Apakah sesungguhnya yang terjadi pada tanaman Aren ini? Memang ironis sekali. Tulisan ini mencoba menganalisa apa saja yang dicurigai sebagai penyebab sehingga Aren kurang diperhatikan. Beberapa hal di bawah ini bisa jadi merupakan penyebabnya. 1. Perubahan Pola Konsumsi Gula karena berkembangnya industri Pabrik Gula Kalau pada jaman pra industri maju dulu gula rakyat adalah gula merah yang dibuat dari Aren, Tebu dan Kelapa. Gula merah yang beredar di pasaran waktu itu adalah dalam bentuk cetakan (sering disebut gula batok, gula kotak, gula bumbung), dan dalam bentuk serbuk atau sering disebut gula semut. Kalau melihat penampilan dari gula tradisional ini memang ada kesan yang kurang menarik, yaitu mutu yang tidak seragam, warna yang tidak seragam, pada umumnya kemasan juga tidak menarik, telihat kotor dan kurang hiegenis. Kalau dikonsumsi atau diseduh dijadikan pemanis minuman biasanya masih ada kotoran yang tertinggal. Beda dengan gula putih yang dihasilkan oleh pabrik yang modern, penampilannya putih bersih, gampang disimpan, cara penyajiannya juga praktis, tinggal sendok dan tuang di gelas. Kalau gula merah ada kesan kurang praktis, apalagi gula merah cetakan, kalau akan menggunakan harus diiris-iris dulu, atau dipecah dulu. Karena bentuknya yang tidak bisa beraturan maka ukuran banyaknya gula juga tidak bisa dipastikan untuk mencapai tingkat kemanisan minuman yang dikehendaki. Keragaman mutu inilah salah satu yang mungkin menyebabkan para konsumen lebih memilih gula putih atau gula hablur. Dengan takaran yang tetap dapat diperoleh tingkat kemanisan yang pas dan lebih mudah diperkirakan. Seiring dengan bergairahnya perdagangan gula internasional yang berbasis pada tebu, Pemerintah Kolonial membangun pabrik-pabrik gula dengan kapasitas yang sangat besar. Kondisi ini memaksa tradisi konsumsi gula berubah karena kemudahan memperoleh gula putih dibanding dengan gula merah. Perubahan yang termasuk drastis demikian hanya bisa terjadi karena adanya lingkungan psikologis masyarakat yang memang telah berubah. Perubahan ini memang dimulai dari Jawa karena basis industri gula ini berada di Jawa. Pusat perdagangan gula selama itu juga berada di Pulau Jawa, namun pengaruhnya hampir menyeluruh ke semua penjuru di Nusantara. Bahkan saat itu juga perdagangan internasional gula memang didominasi oleh gula hablur yang berwarna putih jernih. Perubahan pola hidup masyarakat dari tradisional ke arah pola hidup modern ini juga yang menyebabkan pola konsumsi gula mengalami perubahan. Ciri-ciri pola hidup modern terhadap konsumsi gula diantaranya adalah : Praktis Serba cepat Standard atau kepastian Bersih dan Sehat Menarik karena bentuk dan kemasan Prestise dan gengsi Harga standar atau murah Tersedia dimana-mana Dll. Perubahan pola konsumsi terhadap gula ini menjadikan gula aren atau gula merah semakin berkurang di pasaran. Aren semakin tidak diperhatikan . Dengan demikian pohon Aren tidak terlalu diarahkan menjadi pendukung industri gula. Aren mungkin hanya diambil niranya untuk pembuatan minuman seperti legen dan tuak. Bahkan di beberapa tempat di Jawa banyak ditebangi karena diambil pati sagunya. Pemanfaatan lainnya adalah diambil buahnya untuk kolang-kaling, ijuknya untuk kerajinan sapu, dll. Sedangkan bagian-bagian tanaman Aren ini selama ini tidak terlalu menjanjikan secara ekonomis, karena pasarnya belum berkembang. Sehingga pada saat diketahui nilainya mulai bagus, tanaman Aren yang ada tidak memenuhi harapan untuk bisa dikelola secara industri. Dengan dominannya tebu sebagai komoditas sumber bahan baku gula, atau bisa disebutkan industri gula berbasis tebu, maka komoditas yang lain menjadi tenggelam. Aren sebagai komoditi sumber bahan pemanis menjadi tidak diperhatikan lagi. Tebu menjadi pusat perhatian, yang menyedot partisipasi dari berbagai lembaga dan pelaku usaha untuk mengambil peran. Program besar-besaran digelontorkan untuk pengembangan tebu dan industri gula berbasis tebu. Apalagi pada saat tebu sudah semakin ”bermasalah”, justru berbagai pihak ingin mengatasi masalah tebu dan pabrik gulanya. Semangat untuk menggelontorkan anggaran besar terjadi lagi. Kue anggaran menjadi rebutan lagi, banyak pihak ingi mendapatkan kue itu, tetapi masalah akan tetap menjadi masalah. Masalah yang kunjung bisa teratasi, selain mereformasinya dengan komoditi Aren yang unggul yang produktifitasnya mengalahkan beberapa suber bahan baku gula yang lain (seperti tebu, lontar atau siwalan, kelapa, nipah, bit, jagung, ubi-ubian, dll.). 2. Umur pemeliharaan hingga menghasilkan cukup lama Mungkin ini bisa jadi yang pertama sebagai alasan tidak berkembangnya Aren. Dibandingkan dengan Kelapa Sawit yang pada saat umur sekitar 3 tahun sudah mulai menghasilkan, sehingga lebih cepat bisa dinikmati hasilnya. Penelitian-penelitian terhadap tanaman Kelapa Sawit sudah demikian majunya, sehingga sudah hampir bisa dipastikan hitungan-hitungan prospek hasilnya. Perkembangan industri hilir yang berbahan baku dari minyak sawit juga berkembang sedemikian pesat, menjadikan beberapa negara termasuk Indonesia juga ikut memanfaatkannya. Perhatian yang sangat besar pada komoditi Kelapa Sawit ini semakin menenggelamkan perhatian Pemerintah dan Lembaga Penelitiannya terhadap tanaman Aren. Sebenarnya banyak sumber plasma nutfah tanaman Aren yang bisa menghasilkan tanaman Aren yang Genjah sekaligus berproduksi tinggi. Hanya karena belum tergali oleh lembaga-lembaga penelitian yang ada potensi asli Indonesia ini menjadi terlupakan. Dari sekian banyak masalah budidaya tanaman Aren yang paing dominan menyebabkan orang enggan membudidayakan adalah faktor perkecambahan. Biji tanaman Aren agak susah dikecambahkan, kalau toh bisa memerlukan waktu yang sangat lama, yang membuat orang menjadi tidak sabar. Kesulitan perkecambahan biji ini menjadi penyebab utama keengganan membudidayakan Aren, sehingga orang-orang lebih menyerahkannya pada perkecambahan alam. Celakanya pada saat mencabut bibit yang tumbuh secara alami ini, kemudian ditanam di lahan, banyak tanaman yang akhirnya mati. Biji yang berasal dari dalam buah yang dipanen atau yang dipungut di bawah pohon biasanya juga masih mengandung zat yang bisa menyebabkan rasa gatal pada kulit. Kalau tidak paham tentang kesulitan ini orang akhirnya tidak sabar dan kemudian meninggalkan tanaman Aren. Sebenarnya hal di atas tidak menjadi masalah kalau ilmu dan pengetahuan tenang Aren ini dipahami dengan baik. Sesuatu yang sulit itu biasanya pasti ada faktor yang sangat menguntungkan. 3. Penelitian tentang Aren belum intensif Seperti dikatakan di atas tadi bahwa penelitian terhadap Aren masih sangat sedikit, bahkan belum diagendakan secara teratur. Peneliti mungkin kesulitan literatur dari luar negeri, yang barangkali kalau ditunggu juga tidak begitu banyak. Karena memang Aren tidak ada di luar negeri, adanya yang sangat banyak hanya di Indonesia dan beberapa negara tropis yang kebanyakan juga tidak terlalu memperhatikan Aren. Kalau peneliti kita bergantung dari hasil penelitian dari luar negeri, barangkali selamanya Aren tidak akan jadi bahan kajian penelitian para ”ahli” kita. Saya sengaja memberikan tanda kutip pada kata ahli, bukan karena kita skeptis dengan para ahli kita. Namun sebenarnya kita sangat kecewa kenapa mereka tidak sanggup membuka prospek yang masyarakat petani di beberapa daerah sudah mengembangkannya. Dalam hal Aren yang termasuk tanaman palem ini sebenarnya ada Lembaga Penelitian Kelapa dan Palma yang ada di Manado, Sulawesi Utara. Makanya Sulawesi Utara termasuk yang paling besar potensinya dalam pengembangan tanaman Aren ini. Namun yang disayangkan, kenapa hal ini belum direspon secara luas untuk diterapkan di seluruh Indonesia??? Ini yang menjadi tanda tanya besar. Kalau dilihat fungsi lain tanaman Aren yang menghasilkan bahan pemanis sebagai alternatif bahan industri gula, mestinya lembaga penelitian seperti P3GI yang ada di Pasuruan Jawa Timur harusnya melirik ke tanaman Aren. Ternyata ini semua tidak terjadi. Karena tebu banyak masalahnya sehingga penelitian hanya terfokus ke tanaman tebu. Banyak masalah berarti banyak anggaran untuk penelitian. Kalau misalnya hanya karena anggaran kemudian hanya meneliti tebu, sampai nanti pun Aren tidakakan menjadi perhatian yang serius. Penelitian akan sesuatu hal atau komoditi harusnya tidak berdasarkan adanya anggaran atau tidak, atau adanya masalah potensial atau tidak. Sudah seharusnya kita memilih tujuan penelitian itu adalah yang menjadi alternatif, sehingga masalah yang banyak pada komoditi tebu itu bisa selesai. Kalau suatu komoditi tidak bisa lagi diharapkan untuk menjadi alat mengangkat kesejahteraan petaninya, seharusnya kita cari alternatif baru. Aren adalah alternatif bahan pemanis yang sangat menjanjikan. (Silakan baca tulisan saya di ”Pabrik Gula berbasis Aren, kenapa tidak?” di http://kebunaren.blogspot.com/) 4. Adanya mitos bahwa pohon Aren tempatnya hantu Mitos ini ternyata mempengaruhi pola sebaran tanaman Aren. Karena adanya anggapan yang keliru tersebut jarang kita temui pohon Aren di sekitar pekarangan rumah. Aren banyak terdapat di kebun-kebun yang jauh dari rumah, di pinggir-pinggir sungai, di lereng-lereng gunung atau bukit yang relatif jauh dari pemukiman, bahkan di dalam areal hutan. Maka ada anggapan bahwa Aren termasuk kategori tanaman hutan. Karena sebaran tanaman Aren jauh dari rumah, maka sangat jarang orang memperhatikan potensi dan keunggulannya. Maka untuk menanam Aren di lahan dekat pemukiman mendapat tentangan dari pihak keluarga atau para tetangga. Ada anggapan juga bahwa orang yang akan mengelola pohon Aren, apakah akan diambil ijuknya, buahnya, lidinya, atau akan diambil niranya, harus bisa mengalahkan hantu yang ada di pohon Aren tersebut. Maka ada cara khusus untuk ”merayu” pohon Aren agar mau mengeluarkan niranya. Selain para calon penyadap ini memukuli secara pelan dan bertubi-tubi, meliuk-liukkan tandan bunga, menepuki dengan tangan dengan perasaan tertentu, serta biasanya diikuti dengan nyanyian atau siulan atau bahkan mantra tertentu. Maka bisa dikatakan bahwa untuk mengelola pohon Aren ini tidak semua orang bisa, hanya orang yang ”khusus” lah yang bisa mengambil nira pohon Aren ini. Akibat dari anggapan tersebut di atas jarang atau bahkan tidak pernah kita temui penyadap nira Aren ini orang-orang muda, pemuda atau apalagi anak-anak. Yang biasa kita temui adalah para ”pekerja” tanaman Aren ini adalah orang-orang yang sudah tua dengan penampilan yang seadanya saja yang terkesan adalah petani yang agak susah hidupnya atau bahkan petani yang miskin. 5. Aren identik dengan tuak, cap tikus dan orang mabuk Anggapan ini memang sebagian ada benarnya, karena dibeberapa daerah seperti di Sulawesi Utara sampai sekarang masyarakat disana mengelola nira Aren untuk dijadikan minuman yang disebut tuak, atau cap tikus. Di daerah seperti Sulawesi Utara hal ini sudah menjadi tradisi, karena sebagian daerahnya memang berhawa dingin. Tuak atau cap tikus ini menjadi minuman yang bisa menghangatkan tubuh serta memberi gairah pada saat orang bekerja di lahan dengan hawa yang dingin atau sedang begadang di malam hari dengan hawa udara yang sangat dingin. Akhirnya minum tuak menjadi tradisi masyarakat yang turun menurun. Ternyata hal ini terjadi pula di daerah Sumatera Utara, yaitu di daerah dengan julukan Tanah Batak. Kalau diamati ternyata dua daerah ini masyarakat dominan beragama nasrani atau kristen. Nah ternyata di dua daerah seperti diatas tadi meminum tuak tidak terlalu menjadi sesuatu yang ”tabu”. Beda dengan daerah yang mayoritasnya muslim, apalagi muslim yang ”fanatik” atau militan, wah jangan harap ini bisa berkembang. Nah.. karena dikhawairkan bisa membuat banyak orang meminum tuak yang terbuat dari nira Aren, maka seolah ini menjadi penilaian yang buruk pada saat Pemerintah membuat keputusan pengembangan Aren secara besar-besaran. Meskipun banyak juga daerah yang merupakan kantong-kantong muslim ternyata Aren juga bisa berkembang, seperti di daerah Sulawesi Selatan, mulai dari Pinrang, Sidrap, Bulukumba, Wajo, Sopeng sampai ke Tana Toraja. Namun di daerah dimana umat muslim dominan, pengelolaan nira Aren diarahkan menjadi gula merah. Hal demikian juga terjadi di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan lain-lain. Barangkali masih ada faktor-faktor lain yang menyebabkan pengembangan Aren belum terjadi seperti Kelapa Sawit, yang belum terungkap pada tulisan di atas. Bagaimana menurut para pembaca sekalian ? Mohon komentarnya !?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun